BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Kontroversi Hukum Air Musta'mal

Tafsir Ahkam: Kontroversi Hukum Air Musta’mal

Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa salah satu yang menyebabkan air tidak lagi bisa dibuat untuk bersuci, adalah tatkala air tersebut sudah pernah dibuat bersuci dari hadas. Dalam khazanah kitab-kitab fikih, air tersebut dinamai dengan air musta’mal. Sehingga apabila kita berwudhu di sebuah baskom atau kolam air berukuran kecil di kamar mandi, dengan cara mencelupkan tangan ke baskom atau kolam tersebut semisal, maka air tersebut tidak lagi bisa dibuat untuk membasuh sebagian kepala maupun kaki.

Apa yang diyakini mazhab syafi’i tersebut bukanlah sesuatu yang disepakati oleh para ulama’. Kontroversi tentang keberadaan air musta’mal merupakan salah satu tema tafsir ahkam yang juga diulas oleh beberapa pakar tafsir di dalam tafsir mereka. Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Bersuci Dengan Air Musta’mal

Imam Ar-Razi menyatakan bahwa ulama’ yang tidak setuju dengan keberadaan air musta’mal adalah Imam Malik. Imam Malik meyakini bahwa air musta’mal atau bekas digunakan berwudhu, hukumnya tetap suci dan mensucikan. Dasar hukum yang dipakai adalah firman Allah:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا

Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu (QS. An-Nisa’ [4] :43).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Diperbolehkannya Berwudhu dengan Air Hujan

Imam Malik meyakini air musta’mal adalah air mutlak. Maka sudah seharusnya tetap bisa digunakan untuk bersuci sebagaimana diungkapkan dalam ayat di atas. Selain itu, sifat air mutlak bersifat suci dan mensucikan di dalam Al-Qur’an diungkapkan dengan istilah thahuurun. Dan istilah tersebut mengisyaratkan adanya proses berulang-ulang digunakan untuk bersuci (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/496).

Sedang dasar yang dipakai Mazhab Syafi’i salah satunya adalah sebuah hadis sahih yang diriwayatkan dari sahabat Abi Hurairah:

« لاَ يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ »

Janganlah salah seorang dari kalian mandi di air yang tidak mengalir, sementara ia sedang junub (HR. Imam Muslim).

Hadis di atas menunjukkan bahwa menghilangkan hadas besar dengan cara berendam dapat mempengaruhi air bekas berendam tersebut. Karena apabila tidak, tentu Nabi tidak melarangnya. Selain itu, belum ada riwayat sahabat tatkala dalam perjalanan mereka akan mengumpulkan air bekas wudhu untuk digunakan di lain kesempatan. Padahal keberadaan air sangat terbatas pada saat itu (Tafsir Mafatihul Ghaib/11/431).

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili di dalam Tafsir Munir menerangkan, mayoritas ulama’ meyakini bahwa air musta’mal sebab hadas dihukumi suci dan tidak lagi dibuat bersuci. Bersamaan dengan itu, sebenarnya ada dua pendapat yang berbeda terkait status hukumnya. Salah satunya adalah pendapat Imam Abi Yusuf dan sebuah riwayat dari Abu Hanifah yang menyatakan bahwa air musta’mal dihukumi tidak suci alias najis. Pendapat yang lain, yakni Imam Malik dan Dawud, meyakini bahwa air musta’mal adalah tetap suci dan mensucikan (Tafsir Munir/19/89 dan Al-Majmu’/1/151)

Namun Imam Al-Qurthubi menjelaskan, meski Imam Malik berpendapat bahwa air musta’mal tetap dapat digunakan untuk bersuci, beliau meyakini hukumnya makruh berwudhu dengan air musta’mal. Imam Al-Qurthubi meriwayatkan ucapan Imam Malik :”Tidak ada kebaikan dalam berwudhu dengan air musta’mal. Dan aku tidak menyukai seseorang berwudhu dengannya. Apabila ia ia berwudhu dengannya dan kemudian salat, aku tidak berpendapat bahwa ia perlu mengulangi salat dan berwudhu kembali” (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/48).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Ini Perbedaan Wudhu dan Tayamum yang Wajib Diketahui

Perlulah diketahui bahwa permasalahan di atas adalah permasalahan air bekas digunakan khusus dalam menghilangkan hadas, bukan najis maupun semacam wudhu sunnah. Para ulama’ fikih sendiri memiliki rincian yang berbeda-beda terkait air bekas menghilangkan hadas, menghilangkan najis dan bekas ibadah sunnah seperti bekas berwudhu yang sifatnya wudhu sunnah saja (Al-Hawi Al-Kabir/1/569).

Kesimpulan dari berbagai uraian di atas, berdasar keterangan Syaikh Wahbah, mayoritas ulama’ meyakini bahwa air musta’mal sebab hadas, hukumnya suci tapi tidak lagi dapat dibuat bersuci. Memang benar Imam Malik meyakini tetap dapat mensucikan, tapi beliau meyakini hukum makruh di dalamnya. Wallahu a’lam bish showab.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu....