BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Larangan atas Kekerasan Seksual dalam Surah An-Nur Ayat 33

Tafsir Ahkam: Larangan atas Kekerasan Seksual dalam Surah An-Nur Ayat 33

Kasus kekerasan seksual yang menjadi salah satu fokus utama para pemikir feminis dan lembaga perlindungan perempuan sejatinya telah menemukan pijakan normatif sejak Al-Quran diturunkan. Antara lain pada Surah An-Nur ayat 33. Secara singkat, ayat ini menyiarkan larangan pemaksaan untuk melakukan pelacuran. Berikut redaksi ayat dan terjemahnya:

…وَلَا تُكۡرِهُواْ فَتَيَٰتِكُمۡ عَلَى ٱلۡبِغَآءِ إِنۡ أَرَدۡنَ تَحَصُّنٗا لِّتَبۡتَغُواْ عَرَضَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَمَن يُكۡرِههُّنَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ مِنۢ بَعۡدِ إِكۡرَٰهِهِنَّ غَفُورٞ رَّحِيمٞ

“Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa”

Konteks ayat

Terdapat beberapa versi mengenai konteks turun penggalan Surah An-Nur ayat 33 ini. Tetapi, menurut mayoritas mufasir, penggalan ayat ini turun berkenaan dengan pemaksaan Abdullah bin ‘Ubay terhadap dua budak perempuannya, Mu’adzah dan Musaykah untuk melakukan pelacuran, dan menyerahkan bayaran mereka kepada ‘Ubay. Al-Wahidi menyebutkan dalam Asbabun Nuzulnya:

وقالَ المُفسِرونَ: نزلتْ في معاذةَ ومسيكةَ جاريتَيْ عبدِ اللهِ بن أبَي المنافقِ كان يكرِهُما على الزنا لضربيةٍ يأخذُها منهما‘ وكذلك كانوا يفعلون في الجاهليةِ يُؤاجِرون إماءَهم فلما جاء الإسلامُ قالت معاذةُ لمسيكةَ : إن هذا الأمرَ الذي نحنُ فيهِ لا يخلُومِن وجهَيْنِ : فإن يكُ خيرا فقد استكثَرنا منه وإن يَكُ شرا فقد آنَ لنا (أن)نَدَعَهُ. فأنْزَلَ اللهُ تعالى هَذهِ الآيَةَ

“Para mufasir berpendapat bahwa ayat ini turun dalam konteks Mu’adzah dan Musaykah, dua budak perempuan Abdullah bin ‘Ubay, yang ia paksa untuk melacurkan diri, dengan tujuan mengambil tarif dari pelacuran itu. Praktik ini menjadi kebiasaan masyarakat Jahiliyah, yang mereka lakukan terhadap budak perempuan. Dan, sejak Islam datang, Mu’adzah berkata kepada Musaykah: “permasalahan yang kita hadapi saat ini (pemaksaan untuk melacurkan diri) memiliki dua kemungkinan. Bila berupa kebaikan, maka kita perbanyak melakukakannya, namun bila berupa keburukan, maka sudah barang tentu untuk kita tolak” Kemudian, Allah menurunkan ayat ini (Surah An-Nur ayat 33)”

Baca juga: Surah al-Maidah 89: Sumpah Palsu dan Kafarat Ausath Al-Tha’am

Dari sabab nuzul tersebut dapat dimengerti bahwa, penggalan ayat ini melarang pemaksaan terhadap budak perempuan untuk menjadi pelacur. Bahkan dalam redaksi sabab nuzul lain, yang dituliskan Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahrir wa al-Tanwir, begitu pula Al-Baghawi dalam Ma’alimut Tanzil, penggalan ayat ini turun sebagai respons terhadap protes budak perempuan Abdullah bin ‘Ubay sendiri kepada Baginda Nabi, atas paksaan untuk menjadi pelacur.

Larangan praktik kekerasan seksual

Pada penggalan ayat sebelumnya, Allah memberikan ketentuan perjanjian pembebasan budak atau dalam terminologi Fikih diistilahkan dengan mukatab. Sementara dalam penggalan ayat ini Allah menunjukkan larangan memaksa budak perempuan untuk menjadi pelacur. Hal ini termasuk larangan melakukan tindak kekerasan seksual. Dibuktikan dengan pemilihan diksi laa tukrihuu (janganlah kalian memaksa) dan in aradna tahassunan (jika mereka menginginkan untuk menjaga diri –untuk tidak menjadi pelacur-). Dua diksi ini tentu saja cukup menjadi bukti sarih atas larangan ‘memaksa’ budak perempuan untuk melacurkan diri.

Mengutip World Health Organization (WHO), kekerasan seksual (sexual violence) adalah setiap tindakan seksual melalui cara kekerasan atau paksaan, seperti tindakan memperdagangkan seseorang atau tindakan yang diarahkan terhadap seksualitas seseorang. Dengan pengertian ini, tentu saja, apa yang dilakukan Abdullah bin ‘Ubay terhadap budak perempuannya termasuk kategori kekerasan seksual, karena ada unsur paksaan (ikrah).

Lalu, pertanyaan yang muncul kemudian ialah, bagaimana bila budak itu tidak terpaksa, alias mau menjadi pelacur secara suka rela? Tentu saja, hal ini tidak dibenarkan dalam Islam, karena identik dengan zina. Seperti yang difirmankan Allah dalam berbagai ayat, Surah Al-Isra’ ayat 32 misalnya. Akan tetapi, praktik zina adalah satu persoalan, sedangkan ‘pemaksaan’ untuk menjadi pelacur sebagaimana penggalan surah An-Nur di atas adalah persoalan yang lain.

Baca juga: Makna-Makna Sighat Amar (Perintah) dalam Al-Quran (Bagian 2)

Praktik pelacuran dalam penggalan ayat itu diistilahkan dengan al-bigha’. Ibnu ‘Asyur mengartikannya sebagai zina dengan adanya imbalan (az-zina bil ujrah). Dalam Bahasa Indonesia hal ini disebut dengan pelacuran. Sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Asyur, Praktik ini merupakan tradisi Masyarakat Arab Jahiliyyah, baik di kalangan perempuan merdeka mau pun budak, setidak-tidaknya sampai Islam datang.

Surah An-Nur ayat 33 cukup menjadi pijakan normatif yang kuat bagi kita atas larangan melakukan kekerasan seksual. Bahkan, dari latar turunnya ayat itu kita mengerti bahwa seseorang sekalipun hidup dalam kasta yang rendah, seperti budak perempuan, tetap berhak untuk dilindungi dari praktik kekerasan seksual.

Wallahu a’lam[]

Halya Millati
Halya Millati
Redaktur tafsiralquran.id, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...