Jelang momen hari raya, begitu menarik jika bersama-sama mengingat kembali serba-serbi tentang hari raya, Idul Fitri khususnya. Tentunya karena ini tafsiralquran.id, sajiannya akan dikemas dalam bingkai kajian tafsir dengan sedikit ‘polesan’ hukum dalam rubrik tafsir ahkam. Yakni perihal shalat ied pada hari raya Idul Fitri.
Tasyri‘ Salat ‘Ied
Pada tahun kedua hijrah, Rasulullah Saw. untuk pertama kalinya melakukan salat ‘ied, baik itu Idul Fitri dan Idul Adha secara berurutan. Hal ini sekaligus menandai bahwa awal pensyariatan salat ‘ied adalah di tahun tersebut. Namun demikian, tahukah pembaca jika dalil legitimasi (al-ashl) salat ‘ied ini telah ada jauh sebelum ia disyariatkan?
Dalam syarahnya atas kitab Fath al-Qarib, Syaikh Ibrahim al-Bajuriy (dalam satu naskah disebut Al-Bayjuriy) menjelaskan bahwa ashl pelaksanaan salat ‘ied adalah ayat kedua dari QS. Al-Kautsar, surat ke-108 dalam urutan tartib mushafiy,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).”
Al-Kautsar sendiri tergolong surat periode makkiyyah. Ia turun sebelum Rasulullah Saw. melakukan hijrah ke kota Madinah. Dari kronologinya, surat ini merupakan upaya takrim dan tasyrif (pemuliaan) serta tabsyir (pemberian kabar gembira) kepada Rasulullah Saw. atas peristiwa duka yang belakangan itu menimpa beliau, yaitu wafatnya Sayyid Al-Qasim, putra pertama beliau dengan Sayyidah Khadijah radliya Allahu ‘anha.
Syaikh ‘Ali al-Shabuniy dalam Shafwah al-Tafasir-nya menceritakan bahwa setelah kabar duka ini tersebar, Al-‘Ash bin Wa’il, salah seorang tokoh kafir Qurays, seolah menemukan ‘momen besar’ untuk menghancurkan Rasulullah Saw. Ia bersama kroni-kroninya lantas mengatakan, “Sungguh Muhammad adalah seorang yang abtar, tiada keturunan baginya sepeninggalnya. Ketika ia mati kelak, berakhir sudah kisah-kisah tentangnya (tidak akan ada seseorang yang membicarakannya)”.
Baca juga: Surah Al-Baqarah [2] Ayat 185: Anjuran Bertakbir di Hari Raya dan Bacaannya
Penjelasan Ayat Kedua QS. Al-Kautsar
Imam Al-Qurthubiy dalam Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an menyebutkan bahwa ada beberapa pemaknaan terhadap kata fa shalli dalam ayat kedua ini. Perbedaan makna ini muncul seiring dengan adanya perbedaan konteks yang melatar belakanginya.
Pertama, kata salat dimaknai sebagai salat-salat yang diwajibkan. Makna ini pada dasarnya merupakan konsepsi umum berkaitan dengan salat. Dimana ia adalah tiang agama dan pondasi terpenting dalam beribadah.
Kedua, secara khusus dimaknai dengan salat Shubuh di Muzdalifah. Pemaknaan ini didasarkan pada posisi Rasulullah Saw. yang saat ayat ini turun, beliau tengah berada di Muzdalifah. Dan di hari itu tidak ada ibadah salat yang ditunaikan sebelum melakukan penyembelihan kurban kecuali salat Shubuh.
Ketiga, fa shalli dimaknai dengan salat ‘ied. Alasannya sebagaimana pada pemaknaan sebelumnya, tetapi dengan adanya sedikit perbedaan. Yakni pelaksanaan salat ‘ied tidak diperuntukkan mereka yang berada di kota Mekah. Sementara Rasulullah Saw. kala itu tengah berada di Muzdalifah. Sehingga praktis tidak masuk dalam limitasi ini.
Baca juga: Masuk Masjid Aman Dari Virus? Berikut Tafsir Surah Ali Imran Ayat 96
Namun demikian, meski terdapat perbedaan makna dalam ayat kedua ini, literatur fikih kita lebih masyhur menjadikannya sebagai landasan tasyri‘ salat ‘ied (makna ketiga), Idul Fitri maupun Idul Adha. Kendati eksplisit redaksi yang digunakan spesifik mengarah kepada salat Idul Adha, bukan Idul Fitri, dikarenakan indikasi ibadah kurban pada redaksi setelahnya, wanhar!
Pesan Idul Fitri
Kata ‘ied semula terambil dari bentuk ‘awd yang berarti kembali. Pengambilan sumber kata ini dilakukan mengingat adanya keberulangan ‘ied di setiap tahunnya. Sementara kata fitri terambil dari kata fithrah yang berarti khilqah atau asal penciptaan. Gabungan dua kata ini, Idul Fitri, lantas menciptakan pemaknaan baru, yaitu satu kondisi dimana seseorang telah kembali ke fitri (suci sebagaimana ia dahulu dilahirkan).
Makna kembali ke fitri ini sesungguhnya memberikan pesan akan rujukan terhadap pola-pola konstruksi hari raya dalam Islam. Syaikh Al-Bajuriy dalam lanjutan ulasannya mengungkapkan bahwa, itu lah mengapa kemunculan hari raya selalu didahului dengan ritual peribadatan tertentu. Dalam Idul Fitri kita mengenal adanya ibadah puasa Ramadlan: menahan nafsu, lapar dan dahaga selama satu bulan penuh. Dan dalam Idul Adha kita mengenal ibadah nusuk, haji dan umrah.
Baca juga: Masuk Masjid Aman Dari Virus? Berikut Tafsir Surah Ali Imran Ayat 96
Sehingga predikat kembali ke fitri dapat diraih manakala seseorang telah menyelesaikan ‘tantangan-tantangan’ yang telah disiapkan sebelum hari raya. Sehingga pemaknaan lain dari kata ‘ied menurut Syaikh Al-Bajuriy adalah kembali-Nya Allah kepada hamba-Nya dengan balasan kebaikan dan kebahagiaan. Yang darinya melahirkan dhawuh,
لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ، إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْدُ. وَلَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالْمَرْكُوْبِ، إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْبُ.
“‘Ied bukan mengenakan segala sesuatu yang baru, sesungguhnya ‘ied adalah ketaatan yang bertambah selalu. ‘Ied juga bukan berhias dengan pakaian atau kendaraan, melainkan dosa-dosa yang telah mendapatkan ampunan.”
Itulah sebabnya kritik hari raya selalu diidentikkan dengan keberhasilan seseorang dalam menempuh ‘tantangan’ sebelumnya. Bagaimana mungkin seseorang merasa bahagia di hari nan fitri sementara sebelumnya ia tidak melakukan puasa, misalnya. Maka sungguh beruntung mereka yang benar-benar masuk dalam golongan dhawuh di atas, mereka yang benar-benar telah kembali ke fitri di hari nan suci. Wallahu a‘lam bi al-shawab.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1442 H.
Minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin.