Memelihara kucing adalah sebuah hal yang lumrah di masyarakat. Kucing biasa berkeliaran di dalam rumah dan makan sekaligus minum di dalam rumah. Namun kadang prilaku kucing menimbulkan problem tersendiri bagi orang-orang yang amat menjaga diri dari najis. Misalnya kucing minum di gelas minum manusia atau di baskom maupun timba tempat penyimpanan air, yang kebetulan saat itu terbuka. Bagaimana hukum sisa air minum kucing tersebut? Apakah najis sebab mengingat kadang kucing memakan benda najis sebagaimana bangkai? Atau tidak najis mengingat sulit menghindarinya? Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:
Baca juga: Tafsir Ahkam: Kontroversi Hukum Air Musta’mal
Air Bekas Minum Kucing Di dalam Tafsir
Salah satu permasalahan tafsir ahkam yang diulas oleh para ahli tafsir adalah permasalahan sisa air minum kucing. Di antara yang menyinggungnya adalah Imam Al-Qurthubi dan Imam Ar-Razi, di sela-sela membahas ayat tentang air mutlak. Sisa air minum kucing cukup menyita perhatian karena memang Nabi secara khusus menyinggung kebiasaan hewan tersebut yang biasa hidup di sekitar manusia.
Imam Ar-Razi menyebut bahwa menurut Abi Hanifah, hadis tentang kesucian air sisa minum kucing adalah dasar, bahwa air yang telah mengalami perubahan tetap suci dan mensucikan. Sedang Imam Al-Qurthubi malah mengulas Panjang lebar tentang air sisa minum kucing. Ia menyebut bahwa mayoritas ulama’ dari kalangan sahabat, tabi’in dan dan ahli fiqih sezamannya, menyatakan bahwa air bekas jilatan kucing hukumnya suci. Dan tidak apa-apa berwudhu dengannya. (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/496 dan Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/47).
Dasar yang dipakai salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan dari Abi Qatadah dan berbunyi bahwa sesungguhnya Abi Qatadah masuk, lalu Kabsyah menyiapakan air wudhu untuknya. Lalu datanglah kucing. Abi Qatadah lalu memiringkan wadah ke kucing tersebut sampai ia bisa minum darinya. Melihat raut muka keheranan dari Kabsyah, Abi Qatadah lalu menerangkan pada Kabsyah bahwa Nabi bersabda (Al-Bayan/1/52):
إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ
Kucing tidaklah najis. Ia hanya hewan-hewan yang berkeliaran di antara kalian (HR. Imam Malik, Abi Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, para ahli fikih meyakini bahwa air sisa minum kucing hukumnya suci dan mensucikan. Hanya Imam Abu Hanifah yang menyatakan hukumnya makruh menggunakan air sisa minum kucing untuk bersuci. Dan ini, mengutip keterangan Imam Malik, sepertinya disebabkan hadis di atas belum sampai pada Abu Hanifah (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/47).
Baca juga: Moderasi dalam Islam dan Upaya Preventif Tindakan Radikal di Internet
Imam An-Nawawi menyatakan, menurut mazhab syafi’i, bekas air minum hewan lain selain kucing juga disamakan dengan kucing. Entah itu hewan yang dapat dikonsumsi dagingnya, maupun yang tidak dapat dikonsumsi. Imam An-Nawawi menyontohkan kuda, keledai, tikus dan ular. Hanya anjing dan babi yang dihukumi najis air bekas minumnya (Al-Majmu’/1/172).
Perlulah diingat bahwa permasalahan di atas di luar permasalahan apabila di mulut kucing tersebut tampak najis secara jelas. Sebab apabila tampak keberadaan najis secara jelas, maka yang membuat air bekas minum kucing menjadi najis adalah najis di mulut kucing itu sendiri.
Lalu bagaimana apabila kita memergoki kucing tersebut baru saja memakan benda najis? Apakah apabila meminum air maka air yang diminumnya menjadi najis. Imam Al-‘Umrani menerangkan berbedaan pendapat terkait hal ini. Ada yang menyatakan najis, ada yang menyatakan tidak najis sebab sulit menghindarinya. Adapula yang memberi rincian, apabila kucing tersebut pergi dan dimungkinkan najis di mulutnya menghilang, maka air bekas minumnya dihukumi suci. Apabila sebaliknya, maka najis (Al-Bayan/1/52)Wallahu a’lam bish showab.