Menghadap kiblat merupakan salah satu dari syarat sah shalat. Arah kiblat umat Islam seluruh dunia adalah Ka’bah yang berada di Mekah. Syarat sah ini tentunya dikecualikan bagi orang yang berada di kondisi tertentu, seperti berada di atas kendaraan atau shalat dalam keadaan khauf (takut).
Pada saat baginda Nabi saw hijrah ke Madinah, Allah sempat memerintahkan untuk menghadap kiblat ke Baitul Maqdis ketika mengerjakan shalat, sebab mayoritas penduduknya saat itu adalah Yahudi. Namun, Nabi merasa lebih senang jika kiblatnya adalah Ka’bah yang merupakan kiblat moyangnya, yakni Nabi Ibrahim. Akhirnya, Allah mengabulkan keinginan Nabi tersebut dengan menurunkan ayat:
قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ
“Sesungguhnya Kami melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah masjidil haram. Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah wajah kalian ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi al-kitab memang mengetahui bahwa berpaling ke masjidil haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 144)
Baca Juga: Dalil Teologis Waktu-Waktu Salat Fardu
Kata kiblat diambil dari lafal muqabalah yang berarti menghadap. Kemudian kata ini dijadikan istilah untuk nama arah yang dituju umat Islam saat melaksanakan shalat. Perintah menghadap kiblat ini merupakan keputusan yang bersifat final, sehingga tidak dibenarkan jika shalat mengahadap ke selainnya tanpa ada uzur yang diperbolehkan syara’.
Pada redaksi ayat di atas, yang dimaksud ‘palingkanlah wajahmu kearah masjidil haram’ adalah hadapkanlah wajahmu pada Ka’bah. Syathrun dalam ayat ini memiliki arti al-nahiyah atau al-jihah yakni arah. Menariknya, redaksi ini menimbulkan perdebatan di kalangan ulama, apakah orang yang shalat harus menghadap Ka’bah atau cukup menghadap kiblat, yakni arahnya?
As-Shabuni menjelaskan bahwa terdapat beberapa ulama yang berpendapat bahwa yang diharuskan adalah menghadap Ka’bah-nya. Mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang wajib adalah menghadap Ka’bah.
Namun al-Muzani, murid Imam as-Syafi’i meriwayatkan pendapat lain dari gurunya tersebut yang memperbolehkan mushalli (orang yang shalat) menghadap ke arah Ka’bah, bukan wujud Ka’bah.
Selanjutnya, mazhab Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa yang wajib adalah menghadap arah Ka’bah untuk mushalli yang dapat menyaksikan Ka’bah. Jika tidak, maka cukup baginya menghadap arahnya saja. Alasannya, tidak mungkin bagi orang yang jauh keberadaannya dari Ka’bah untuk menghadap pada dzatiyah (wujud) Ka’bah itu sendiri.
Andaikata keharusannya adalah menghadap Ka’bah, maka itu akan berpengaruh pada keabsahan shalat seseorang yang lokasinya jauh dari Ka’bah.
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Salat Jumat dan Alasan Pemilihan Harinya, Keutamaan Shalat Tahajud, Tafsir Surat Al-Isra Ayat 79
Al-Qurthubi memberikan keterangan mengenai pendapat yang mengharuskan untuk menghadap Ka’bah telah ditentang oleh Ibnul ‘Arabi bahwa pendapat tersebut lemah. Sebab, yang demikian itu dianggap membebani seseorang pada sesuatu yang tidak bisa dicapai. Sehingga, pendapat yang dipilih adalah keharusan menghadap kiblat. Terdapat tiga alasan yang dikemukakan oleh Al-Qurthubi mengenai pendapat yang dipilih ini:
Pertama, menghadap arah kiblat adalah hal yang memungkinkan untuk dilakukan oleh mushalli di mana pun lokasi keberadaannya. Maka, taklif (pembebanan hukum) ini lebih maslahat bagi umat.
Kedua, perintah Allah yang tertera pada ayat di atas jelas menggunakan lafal syathral masjidil haram seperti yang telah dijelaskan di awal pembahasan.
Ketiga, ulama memberikan gambaran seperti barisan shalat jamaah yang panjang yang luasnya akan berkali lipat dari baitullah. Sehingga, mushalli yang berada di barisan paling belakang bisa jadi terhalang untuk menghadap Ka’bah secara langsung. Maka, kondisi seperti ini tidak akan sesuai dengan keharusan menghadap Ka’bah.
Tentunya, perbedaan di kalangan ulama ini tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Sebab, masing-masing memiliki argumentasi yang jelas dan berdasar. As-Shabuni dalam tafsirnya menuturkan bahwa pengambilan dalil mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah dalam kasus ini berasal dari al-Qur’an, hadis, dan qiyas.
Sedangkan Hanafiyah dan Malikiyah mengambil dari al-Qur’an, hadis, amaliyah sahabat, dan rasionalitas. Bahkan As-Shabuni memaparkan secara rinci dari masing-masing sumber pengambilan dalil tersebut.
Wallahu A’lam.