BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Sumber Dana Perawatan Jenazah

Tafsir Ahkam: Sumber Dana Perawatan Jenazah

Dalam proses pemakaman seorang muslim, pemerintah hanya memfalitasi warga negaranya dengan petugas pendamping atau biasa dikenal modin. Pemerintah tidak memfalitasi penyediaan kafan serta keperluan perawatan jenazah lainnya yang cukup menyedot banyak biaya. Lalu, sebenarnya siapa yang bertanggung jawab atas segala keperluan perawatan jenazah? Apakah pemerintah yang harus menanggung semua biaya perawatan jenazah, kerabat yang merawat jenazah, atau malah diri jenazah sendiri? Berikut keterangan selengkapnya.

Sumber dana perawatan jenazah

Saat menguraikan tafsir surah Ali Imran ayat 185, Imam al-Qurthubi menjelaskan ulama sepakat bahwa mengafani jenazah hukumnya wajib. al-Qurthubi juga menerangan skema orang yang bertanggung jawab atas pembiayaan perawatan seorang jenazah.

Pertama, apabila si jenazah memiliki harta, maka biaya jenazah diambilkan dari hartanya sendiri. Kedua, apabila si jenazah tidak memiliki harta, maka yang menanggung biaya adalah orang yang berkewajiban menafkahinya, semisal orang tua bila anaknya meninggal, atau anak si jenazah apabila si jenazah adalah manula yang tidak sanggup bekerja. Ketiga, apabila si jenazah tidak memiliki harta atau orang yang menafkahi, maka biaya dibebankan pada kas umat muslim (baitul mal). Keempat, bila tidak tersedia, maka menjadi kewajiban umat muslim secara umum (Tafsir al-Qurthubi/4/299).

Baca juga: Pandangan al-Qurthubi tentang Hukum Memandikan Jenazah

Bagaimana bisa sumber dana pertama justru harta si jenazah sendiri dan bukan pemerintah atau kerabat yang mungkin kelak menjadi ahli waris? Ulama menentukan dana perawatan si jenazah pada harta pribadi si jenazah sendiri, berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ibn Abbas:

بَيْنَمَا رَجُلٌ وَاقِفٌ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَةَ إذْ وَقَعَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَوَقَصَتْهُ ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ

“Ada seorang lelaki yang melakukan wukuf bersamaan Nabi melakukan wukuf di Arafah. Lelaki itu tiba-tiba jatuh dari tunggangannya dan meninggal. Hal itu dikabarkan pada Nabi. Lalu Nabi bersabda: “mandikanlah dia dengan air dan daun bidara. Dan kafani dia dengan dua bajunya” (HR. Bukhari, Muslim, dan selainnya).” (al-Bayan/3/39)

Dalam Nailul Authar, Imam al-Syaukani mengutip penjelasan Ibn Mundzir, bahwa hadis ini menunjukkan sumber pertama dalam dana perawatan jenazah adalah harta milik si jenazah itu sendiri. Yaitu harta yang masih utuh dan belum dikurangi hutang yang mungkin ditanggung atau terbagi atas pembagian warisan yang ada. Dalam hadis di atas, harta tersebut berupa 2 baju yang dikenakan jenazah. Sebab, andai sumber dana pertama bukan murni milik si jenazah dan membutuhkan persetujuan pemiliknya, pasti sebelum Nabi memerintahkan agar menjadikan 2 baju orang tersebut menjadi kafan, tentu terlebih dahulu akan menanyakan si jenazah punya hutang atau tidak. (Nail al-Authar/6/157)

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengumumkan Berita Kematian

Imam al-Nawawi menjelaskan, penggunakan harta peninggalan jenazah untuk kebutuhan perawatan jenazahnya, harus didahulukan dari kebutuhan menutup hutang si jenazah. Entah apakah dia orang miskin atau kaya. Hal ini mencakup kebutuhan mebeli kain kafan, biaya mengubur, dan lain sebagainya.

Selain itu, andai sebagian ahli waris meminta agar biaya di tanggung oleh harta pribadinya, dan sebagian lain meminta agar biaya diambilkan dari tirkah atau harta peninggalan jenazah, maka hendaknya tetap diambilkan dari harta tirkah. Tujuannya agar tidak menjadi pemicu masalah di antara para ahli waris di kemudian hari (al-Majmu’/5/189)

Kesimpulan

Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil pemahaman, bahwa sebenarnya biaya perawatan jenazah tetaplah menjadi tanggung jawab jenazah sendiri. Pada praktiknya, biaya tersebut diambilkan dari harta yang ditinggalka, meskipun sebenarnya jenazah tidak patut disebut bertanggung jawab sebab tidak lagi bernyawa.

Hal ini mengajarkan pada kita untuk tidak menjadi beban hidup orang lain meski sudah meninggal. Selama dirinya masih bisa berusaha untuk merawat dirinya sendiri, maka hendaknya dia mengurus dirinya sendiri. Bahkan kalau bisa, meninggalkan jasa-jasa yang menguntungkan orang lain meski dirinya sudah meninggal. Wallahu a’lam.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU