BerandaTafsir TematikTafsir Al-Qalam 2-4: Pujian Allah terhadap Budi Pekerti Mulia Rasulullah

Tafsir Al-Qalam 2-4: Pujian Allah terhadap Budi Pekerti Mulia Rasulullah

Akhlak sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam ajaran Islam. Salah satu hal yang menjadi nilai lebih Rasulullah ialah kemuliaan akhlaknya. Hingga pada masanya, banyak dari kalangan musuh yang akhirnya masuk Islam karena melihat budi pekerti Nabi. Bahkan keluhuran akhlak Nabi mendapat perhatian dari Allah dan diabadikan dalam surat Al-Qalam ayat 2-4, yakni:

مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ

وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Berkat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila (2), dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang putus-putusnya (3), dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (4)”

Baca juga: Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 56: Perintah Bershalawat Kepada Nabi Muhammad Saw

Sebab turunnya ayat

Kerasulan Muhammad memang cukup mendapatkan pertentangan terlebih bagi kaum kafir Makkah. Imam al-Thabary dalam menerangkan bahwa orang-orang musyrik Makkah mengatakan kepada nabi saw dan menuduhnya sebagai orang gila hingga menyebutnya setan. Maka kemudian Allah menurunkan ayat ke duaturunlah ayat ke dua dari surat al-Qalam tersebut.(Imam at-Thabary, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran,23:528)

Adapun pada ayat ke empat diterangkan oleh Imam as-Suyuthi dengan mengutip riwayat Abu Nu’aim dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa tiada seorang pun dari kalangan sahabat dan keluarganya yang memanggilnya, kecuali beliau berkata “labbaika” (aku penuhi panggilanmu). Oleh karenanya Allah swt menurunkan ayat ke empat sebagai penjelasan tentang gambaran akhlak mulia yang dimiliki Rasulullah (Imam al-Suyuthi, ad-Durul Manthur,8:243)

Baca juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Nabi Muhammad Saw Adalah Suri Tauladan Bagi Manusia

Tafsir Al-Qalam ayat 2-4

Dalam ayat ke dua ini, Hamka memahaminya sebagai suatu hiburan yang amat halus dan penuh kasih sayang dari Allah. Setelah Nabi Muhammad berdakwah menyampaikan dan mengajarkan kaumya akan tauhid dan ma’rifat kepada Allah. Ternyata sangat besar reaksi yang disampaikan kepadanya. Bermacam tuduhan hingga dianggap gila dilemparkan kaum musyrik kepada Nabi Muhammad saw (Hamka. Tafsir al-Azhar)

Ar-Razi dalam Mafatih al-ghaib juga menambahkan bahwa lafad بِنِعْمَةِ dipahami bahwa nikmat Allah sangat terlihat pada diri Rasulullah. Dengan bahasa yang fasih, akal yang sempurna, kehidupan bahagia, selamat dari segala cobaan hingga berperilaku mulia. Semua sifat itu merupakan bentuk negasi dari sifat gila pada diri Rasul saw. Ini juga senada dengan pendapat Wahbah az-Zuhaili yang mengkaitkan dengan kecerdasan akal dan akhlak yang baik (Fakhruddin ar-Razi, ,30:600)

Adapun Pada ayat ke tiga ini Allah menganugerahkan pahala kepada Nabi saw secara terus menerus. Bagi al-Shabuni, siapa yang mengerjakan suatu kebaikan, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang ia ajar hingga hari kiamat tanpa mengurangi pahala orang yang diajar. Dari situ bisa dibayangkan banyaknya orang yang sudah diajar oleh Nabi saw bahkan sanad keilmuannya masih bersambung hingga sekarang. (Ali al-Shabuni, Shofwatut Tafasir,3:401)

Pada ayat ke empat, al-Qurthuby memaknai lafad خُلُقٍ sebagai budi pekerti yang luhur nan terpuji. Adanya lafad ­innaka kemudian tambahan huruf lam pada kata ‘ala menggambarkan keluhuran budi pekerti Nabi saw yang sampai pada puncaknya. Sifat عَظِيمٍ yang dikaitkan dengan khuluq semakin tak terbayangkan betapa agungnya akhlak Nabi Muhammad saw. (al-Qurthuby, al-Jami li Ahkam al-Quran,14:213)

Wahbah az-Zuhaili merinci makna khuluqin ‘adzim dengan sifat pemalu, dermawan, santun, pemberani dan segala akhlak terpuji dan mulia. Ini juga seperti sifat-sifat wajib yang dimiliki para Nabi dalam keyakinan Suni seperti al-Sidqu (jujur), amanah (dapat dipercaya), Fathanah (cerdas) dan tabligh (menyampaikan kebenaran).

Baca juga: Ikutilah Nabi Muhammad Saw Niscaya Allah Mencintai Dirimu

Rasulullah merupakan Al-Quran yang hidup

“Nabi Muhammad merupakan al-Quran yang hidup” bukan sekedar kalimat yang tak berdasar. Ini berdasar pada riwayat Aisyah yang ditanyai oleh seseorang sahabat.

يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَنْبِئِينِي عَنْ خُلُقِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَتْ: أَلَسْتَ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ؟ قُلْتُ: بَلَى، قَالَتْ: فَإِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ الْقُرْآنَ

“Wahai Ummu al-Mu’minin, beritahukanlah kepadaku tentang akhlaq rasulullah saw, maka Aisyah menanyainya kembali: apakah kamu tidak membaca al-Quran? maka aku menjawab: iya. Maka Aisyah menjawab : sesunggunnya akhlaq Rasaulullah saw ialah al-Quran” (HR. Muslim).

Maksud dari pernyataan Aisyah ra bahwa akhlak Rasul merupakan al-Quran ialah bahwa Rasul saw telah menjadikan perintah dan larangan al-Quran sebagai tabiat dan karakternya. Tiap al-Quran memerintahkan sesuatu, maka beliau lakukan. Begitu pula sebaliknya apabila turun ayat yang bersifat larangan, maka beliau akan meninggalkannya. Setidaknya itu yang dijelaskan oleh Hamka dalam tafsirnya.

Ar-Razi dalam tafsirnya juga memaparkan kisah Sayyidah Aisyah yang menceritakan akan keagungan akhlak Rasulullah saw. Suatu ketika Aisyah membuatkan makanan untuk Rasul, ternyata Hafsah juga membuatkan makanan untuknya. Lantas Aisyah meminta budaknya untuk melempar makanannya bila hafsah membawa terlebih dahulu. Ternyata Hafsah terlebih dahulu membawa makanan. Maka budak tersebut melakukan perintah Aisyah. Saat itu Rasul dalam keadaan kenyang namun tetap mengumpulkan makanan dan meminta mengambilkan piring sebagai pengganti.

Baca juga: Inilah Potret Perayaan Maulid Nabi dalam Al-Quran

Itu merupakan sedikit gambaran akan keagungan akhlak baginda Nabi Muhammad saw. Semoga umat Islam senantiasa bisa meniru semua akhlak Raslulullah saw. Walaupun semua itu nampaknya sulit bahkan hampir tidak mungkin, tetapi sebisa mungkin berusaha dan menjadikan Rasul sebagai Uswatun Hasanah merupakan suatu perkara yang bernilai kebaikan. Wallahu a’lam[]

Muhammad Anas Fakhruddin
Muhammad Anas Fakhruddin
Sarjana Ilmu Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...