Karya-karya intelektual dalam tradisi pesantren di berbagai bidang keilmuan, mulanya ditulis menggunakan Aksara Pegon. Seperti dalam penulisan tafsir, terdapat tiga jenis Aksara dalam tradisi tafsir pesantren. Pertama, tafsir yang ditulis dalam bahasa Arab seperti karya Tafsir al-Ayat al-Ahkam, karya KH Abul Fadhol Senori, Tafsir Bism Allāh al-Raḥmān al-Raḥīm, karya KH Ahmad Yasin bin Asymuni al-Jarauni, dan sebagainya.
Kedua, tafsir yang ditulis menggunakan Bahasa Indonesia, seperti Al-Muntaha. Dan ketiga, tafsir yang ditulis menggunakan Bahasa Jawa dengan Aksara Pegon, seperti tafsir al-Ibrīz li Ma’rifah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz, karya KH Bisri Mustafa, Tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl karya KH Misbah Mustafa, dan Tafsir al-Maḥallī Li Ma`rifat Āyāt al-Qur’ān wa Nuzūlihā karya KH Ahmad Mudjab Mahalli.
Baca juga: Tafsir Taj Al-Muslimin min Kalami Rabbi Al-Alamin: Karya Tafsir Kedua KH. Misbah Mustafa
Eksistensi Aksara Pegon di Nusantara tidak dapat terlepas dari syiar agama Islam, yang dilakukan oleh para ulama. Dalam perkembangannya, aksara ini dikenalkan di kalangan pesantren. Karena, kalangan pesantren membutuhkan formula bahasa untuk mempermudah dalam mempelajari kandungan Alquran dan Hadis, yang notabene berbahasa Arab.
Berikut beberapa contoh tafsir pesantren yang ditulis dengan menggunakan Bahasa Jawa dengan Aksara Pegon.
Tafsir al-Ibrīz li Ma’rifah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz
Kitab Tafsir ini ditulis oleh KH Bisri Mustafa (1915-1977), pengasuh Pesantren Raudlatut Talibin, Rembang, Jawa Tengah. Berdasarkan keterangan yang ada, KH Bisri Mustafa mulai menulis Tafsir al-Ibrīz pada 1369 H bertepatan dengan tahun 1951. Ia menyelesaikannya menjelang Subuh, tanggal 29 Rajab 1379 H, bertepatan dengan tanggal 28 Januari 1960. (al-Ibriz versi Latin: Tafsir al-Qur’an Bahasa Jawa)
Tafsir al-Ibrīz dicetak untuk pertama kalinya oleh penerbit Menara Kudus. Tafsir al-Ibrīz ditulis menggunakan bahasa Jawa dan Aksara Pegon. Mengenai tujuan menulis tafsir al-Ibrīz, KH Bisri Mustafa mengungkapkan dalam kata pengantarnya:
“Kangge nambah hidmat lan usaha ingkang sahe lan mulya punika, dumateng ngarsanipun para mitra muslimin ingkang ngertos tembung daerah Jawi kawula segahaken terjemah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz mawi coro ingkang persojo, entheng sarto gampil pemahamanipun” (al-Ibrīz fī Ma’rifat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz)
Dalam tafsir ini, Ayat-ayat Alquran diterjemahkan secara per-kata dengan makna gandul (makna yang ditulis dibawah kata ayat Alquran lengkap dengan kedudukan dan fungsi kalimatnya; sebagai subyek, predikat atau obyek, dan lain sebagainya).
Kitab tafsir ini terdiri atas 30 juz dan dicetak sebanyak 30 jilid. Setiap jilid berisi penafsiran terhadap satu juz dari Alquran. Jilid 1 merupakan penafsiran terhadap Alquran juz 1, jilid 2 untuk juz 2, dan seterusnya, hingga jilid 30, yang berisi penafsiran KH Misbah.
Tafsir al-Iklīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl
Tafsir al-Iklīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl ditulis oleh KH Misbah Mustafa (1916-1994), adik dari KH Bisri Mustafa. Nama al-Iklīl berarti mahkota, yang dalam Bahasa Jawa dinamakan kuluk atau tutup kepala seorang raja.
Hal ini dimaksudkan oleh KH Misbah dengan harapan dapat memberikan nama al-Iklīl bagi kitab tafsirnya ini, agar Allah Swt memberi kemudahan kepada umat Islam dan menjadikan Alquran sebagai pelindung hidup dengan naungan ilmu dan amal, sehingga akan dapat membawa ketenteraman di dunia dan akhirat.
Kitab Tafsīr al-Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl terdiri dari 30 juz dan dicetak sebanyak 30 jilid. Sebagaimana penulisan al-Ibrīz, kitab tafsir ini mempunyai teknik dan sistematika yang khas dalam penulisannya, yakni, menggunakan Bahasa Jawa dengan Aksara Pegon dan makna gandul, yang menjadi ciri khas karya-karya ulama di Pesantren Jawa.
Baca juga: Surah Al-Mumtahanah Ayat 8-9 dan Pesan Relasi Muslim-Non Muslim dalam Tafsir Al-Ibriz
Penulisan kitab tafsir ini dimulai pada tahun 1977 dan selesai tahun 1985. Setelah selesai, KH Misbah memberikan naskah kitab tersebut kepada percetakan Al-Ihsan Surabaya, Jawa Timur untuk diterbitkan. Namun, saat diterbitkan ternyata banyak penafsiran-penafsiran yang dihilangkan oleh pihak percetakan untuk menghindari terjadinya penafsiran KH Misbah yang kontroversial.
Mengetahui hal tersebut, KH Misbah kecewa dan membuatnya tidak puas dengan penerbitan tafsir al-Iklīl tersebut, hingga beliau menulis kitab tafsir lagi yang diberi judul Tāj al-Muslimīn min Kalām Rabb al-‘Ālamīn pada tahun 1987. Tafsir ini hanya terdiri dari empat jilid, karena di tengah penulisannya, KH Misbah meninggal dunia pada tahun 1994.
Tafsir al-Maḥallī Li Ma`rifat Āyāt al-Qur’ān wa Nuzūlihā
Kitab Tafsir al-Maḥallī Li Ma`rifat Āyāt al-Qur’ān wa Nuzūlihā ditulis oleh KH Ahmad Mujab Mahalli (1958-2003), pengasuh Pesantren Al-Mahalli Brajan, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Kitab ini diterbitkan oleh Penerbit Kota Kembang Yogyakarta, tahun 1989. Sebagaimana tafsir al-Ibrīz dan al-Iklīl, tafsir al-Maḥallī ini ditulis dengan Bahasa Jawa dengan Aksara Pegon.
Sebagaimana terlihat dalam judulnya, tafsir ini dilengkapi dengan Asbāb al-Nuzūl. KH Mudjab memberi nama kitab tafsir al-Maḥallī untuk mengingat dan bersyukur kepada ayahnya yang bernama Kiai Muhammad Mahalli. Mengenai alasan penulisan tafsir, KH Ahmad Mudjab Mahalli menyebutkan:
“Al-Qur’an mboten badhe saget dipun pahami tanpo migatosaken tafsiripun. Lan tafsir punika mboten badhe gamblang tanpo mangertos asbabun nuzulipun ayat. Sebab asbabun nuzul puniko minongko bahan (perkawis) ingkang langkung penting kagem tafsiraken setunggaling ayat-ayat Al-Qur’an. Kasunyatan dumugi wekdal punika kitab asbabun nuzul ingkang dipun serat kanthi khusus, langkung-langkung kanthi basa jawi, taksih longko sanget. Mila sangking punika kanthi dorongan lan anjuranipun ba’dhu al-masyayikh lan ba’dhu al-ashdiqo’, kawula nyempataken wekdal nyerat setunggalipun kitab kang ambeberaken isi kandunganipun ayat-ayat al-Qur’an lan asbabun nuzulipun.”Tafsīr al-Maḥallī li Ma`rifat Āyāt al-Qur’ān wa Nuzūliha. “
Baca juga: Tafsir Nusantara: Mengenal Tafsir Fatihah Karya Raden Haji Hadjid
Dalam kata pengantarnya, KH Ghazali Masruri menyebut tiga keistimewaan kitab ini. Pertama, menggunakan makna gandul, yang dinilai sebagai salah satu cara memaknai kitab dengan mengikuti kaidah Bahasa Arab, agar terhindar dari kesalahan. Selain itu, juga membantu pembaca dalam mempelajari Bahasa Arab.
Kedua, menggunakan makna murad, yaitu penjelasan naratif untuk memudahkan dalam memahami maksud dari makna gandul. Sehingga, mempermudah pembaca dalam memahami isi kandungan suatu ayat.
Ketiga, menyebutkan asbab nuzul, yang dapat membantu pembaca dalam meresapi makna hakiki, memperoleh hikmah dan menambah keimanan. Sehingga, ilmu yang sudah dimiliki tersebut mewujudkan al-`ilm li al-`amal wa li al-jadal, yaitu ilmu yang sudah diamalkan serta berguna untuk membela diri dari orang-orang yang ingkar dan menentang Alquran. Wallahu a’lam[]