Alquran sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya menjadi pedoman spiritual, tetapi ia juga menyentuh berbagai aspek kehidupan, termasuk fenomena alam. Salah satu ayat yang sering menjadi perhatian adalah tentang gunung sebagai pasak bumi. Allah berfirman:
وَجَعَلْنَا فِى الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِهِمْۖ وَجَعَلْنَا فِيْهَا فِجَاجًا سُبُلًا لَّعَلَّهُمْ يَهْتَدُوْنَ ٣١ (الانبياۤء/21: 31)
Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh agar bumi itu tidak goncang bersama mereka, dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas agar mereka mendapat petunjuk (Q.S. Al-Anbiya: 31).
Sebagai muslim yang hidup di zaman modern, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah konsep gunung sebagai “pasak” bumi memiliki landasan ilmiah, ataukah ia semata metafora spiritual? Bagaimana pula tafsir klasik dan penemuan geologi modern memaknai fenomena ini?
Para mufasir klasik seperti Imam Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir memaknai ayat tentang gunung ini secara harfiah, yaitu bahwa gunung berfungsi sebagai penyeimbang agar bumi tidak berguncang. Dalam Tafsir al-Jalalayn disebutkan bahwa gunung adalah “paku” yang menjaga bumi dari guncangan dahsyat yang bisa membahayakan kehidupan di atasnya.
Namun, penting dipahami bahwa ulama zaman dulu tidak memiliki akses terhadap data ilmiah seperti saat ini. Interpretasi mereka lebih banyak berakar pada pengamatan langsung terhadap alam dan keterbatasan ilmu pengetahuan kala itu. Walaupun demikian, pandangan mereka tetap relevan sebagai landasan spiritual dan filosofis.
Baca juga: Ketahui Manfaat Gunung sebagai Pasak Bumi, Ini Penjelasannya dalam Alquran
Ilmu geologi modern memberikan perspektif berbeda. Gunung terbentuk melalui aktivitas tektonik, yaitu ketika lempeng-lempeng bumi bertabrakan atau bergerak saling menjauh. Sebagai contoh, pegunungan Himalaya terbentuk dari tumbukan lempeng Indo-Australia dan Eurasia.
Dalam ilmu geologi, gunung memang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan kerak bumi. Gunung sering disebut sebagai bagian dari mekanisme “isostasi”, yaitu kemampuan bumi untuk mencapai keseimbangan melalui redistribusi massa. Dengan kata lain, keberadaan gunung dapat dianggap sebagai cara alam menstabilkan permukaan bumi.
Namun, konsep “pasak bumi” dalam arti mencegah goncangan secara harfiah tidak sepenuhnya sesuai dengan pengetahuan geologi. Faktanya, aktivitas gunung seperti gempa bumi dan letusan vulkanik justru menjadi salah satu penyebab utama ketidakstabilan di permukaan bumi.
Lalu, apakah ini berarti ayat Alquran salah? Tentu tidak. Ayat-ayat Alquran sering kali mengandung makna simbolik dan metaforis yang melampaui fakta-fakta material. Dalam konteks ini, gunung dapat dimaknai sebagai simbol kekokohan dan kestabilan, sebuah pesan yang relevan dalam kehidupan manusia.
Baca juga: Tafsir tentang Laut yang Tidak Bercampur: Mukjizat atau Fenomena Ilmiah?
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, menekankan bahwa ayat-ayat semacam ini tidak hanya berbicara tentang realitas fisik, tetapi juga mengundang manusia untuk merenungkan kebesaran Allah melalui fenomena alam. Sains modern, alih-alih menegasikan pesan ini, justru memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas ciptaan Tuhan.
Penemuan ilmiah tidak seharusnya dilihat sebagai ancaman terhadap ajaran agama. Sebaliknya, Islam selalu menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Allah berfirman:
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'” (Q.S. Az-Zumar: 9).
Dalam semangat ini, ilmuwan muslim seperti Al-Biruni dan Ibnu Sina menjadi bukti bagaimana Islam dan sains dapat berjalan beriringan. Al-Biruni, misalnya, adalah salah satu pionir dalam geologi dan geografi, yang melalui pengamatannya membantu kita memahami struktur bumi.
Lebih jauh, banyak ilmuwan Barat seperti John Playfair dan James Hutton, yang disebut sebagai bapak geologi modern, juga membuktikan bahwa memahami alam semesta adalah bagian dari memahami hukum-hukum Tuhan.
Baca juga: Tasbih Langit dan Bumi (Bagian I): antara Hakikat dan Majas
Indonesia sebagai negara yang berada di kawasan Ring of Fire sering menjadi saksi bagaimana gunung berapi memainkan peran ganda: sebagai sumber kehidupan melalui tanah suburnya, sekaligus sebagai ancaman melalui erupsi vulkanik. Letusan Gunung Tambora pada 1815, misalnya, mengakibatkan tahun tanpa musim panas di berbagai belahan dunia.
Dalam konteks ini, gunung bisa dimaknai sebagai “pengingat” bagi manusia untuk menjaga keseimbangan alam dan tidak tamak dalam mengeksploitasi sumber daya.
Ayat-ayat Alquran tentang gunung sebagai pasak bumi mengandung makna multidimensional yang dapat dipahami melalui lensa tafsir klasik, geologi modern, dan refleksi spiritual. Sains memberikan detail teknis tentang proses terbentuknya gunung, sementara Alquran mengajak kita untuk merenungi keberadaan gunung sebagai tanda kekuasaan Allah dan pengingat akan pentingnya keseimbangan.
Gunung adalah fenomena yang menghubungkan langit dan bumi, mencerminkan harmoni antara spiritualitas dan sains. Dengan memadukan wawasan agama dan pengetahuan ilmiah, kita dapat memperkaya pemahaman kita tentang dunia dan, pada akhirnya, tentang diri kita sendiri.
Sebagai penutup, marilah kita merenungkan firman Allah: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu benar.” (Q.S. Fussilat: 53).