Tafsir ‘Bayt al-‘Ankabut’: Kritik Bint asy-Syāṭi’ atas Tafsir Sains

tafsir bayt al-'ankabut
tafsir bayt al-'ankabut

Tafsir sains merupakan salah satu model tafsir yang berkembang di era ini, mengingat pada saat ini tren pengetahuan mengarah kepada ilmu-ilmu STEM (science, technology, engineering, mathematic), maka tidak heran jika sebagian pakar tafsir Alquran seperti Ṭanṭāwī Jauharī, Zaghlul an-Najjar atau di Indonesia ada Agus Purwanto yang mencurahkan pemikirannya untuk mengurai nilai-nilai sains dalam Alquran.

Apalagi memang dalam berbagai literatur ulumul qur’an, seperti Al-Itqān fi Ulūm al-Qur’ān yang ditulis oleh as-Suyūṭī menyebutkan bahwa Alquran merupakan sumber dari segala pengetahuan (manba’ kull ‘ulum) atau Mabāḥits fi Ulūm al-Qur’ān yang ditulis oleh al-Qaṭṭān yang mengasumsikan bahwa segala bentuk kemajuan zaman hanya akan memperkuat kemukjizatan Alquran.

Dengan segala problematika dan dinamika pro-kontra yang meliputi tafsir sains, setiap perspektif memiliki argumentasinya masing-masing namun semuanya sepakat jika menafsirkan Alquran tanpa ilmu itu tidak diperkenankan.

Baca Juga: Zaghlul al-Najjar, Geolog Asal Mesir Pakar Tafsir Sains Al-Quran

Kritik Bint asy-Syāṭi’ atas tafsir sains

Adalah Bint asy-Syāṭi’, seorang mufasir perempuan yang menuliskan keresahannya atas tafsir sains yang semakin ramai dewasa ini. Dalam bukunya yang berjudul al-Qur’an wa Qadhāyā al-Insān, beliau menulis satu segmen khusus dengan tajuk bayt al-‘ankabut (hlm. 353-361) yang berisi kritiknya terhdap tafsir sains yang dilakukan dengan serampangan.

Bunyi lengkap ayat tersebut, yaitu surah al-‘Ankabut ayat 41,

مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا ۖ وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ ۖ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.

Hanya laba-laba betina yang membuat sarang

Tafsir bayt al-‘ankabut pertama yang dikritisi Bint asy-Syāṭi’ adalah pernyataan sebagian mufasir sains bahwa hanya laba-laba betina yang membuat sarang. Tafsir ini didasarkan pada lafal ‘ankabut yang dalam bahasa Arab merupakan bentuk mu’annats (bentuk yang merujuk pada makna perempuan) yang ditandai dengan fi’il (kata kerja) sesudahnya yang menggunakan ta’ ta’nits yaitu ittakhadzat.

Berdasarkan argumentasi ini sebagian mufasir sains abad ini mengklaim bahwa ini adalah satu bentuk kemukjizatan Alquran, yakni bagaimana Alquran turun pada masa tidak ada teknologi canggih kepada Nabi yang ummi, namun memuat informasi yang sangat jeli mengenai laba-laba. Sayangnya klaim ini tidak tepat, karena ternyata laba-laba jantan juga bisa membuat sarang.

Menurut Bint asy-Syāṭi’ argumentasi yang digunakan juga tidak tepat, karena kata ‘ankabut telah dianggap mu’annats dalam bahasa Arab sejak zaman jahiliyah sebagaimana kata an-naml, an-nahl dan ad-dūd yang juga dianggap mu’annats secara kebahasaan, sehingga argumentasi di atas yang menyatakan hanya laba-laba betina yang membuat sarang itu keliru, karena penggunaan kata ganti perempuan untuk kata ‘ankabut hanyalah ta’nits lughawi (sebagai fitur kebahasaan) bukan ta’nits biologis.

Baca Juga: Dua Poin Utama Kritik Abbas Al-Aqqad terhadap Tafsir Ilmi 

Sarang laba-laba lebih kuat dari sutra

Tafsir bayt al-‘ankabut kedua yang dikritisi oleh Bint asy-Syāṭi’ adalah klaim sebagian mufasir yang menyatakan bahwa anyaman atau jaring laba-laba itu tiga kali lebih kuat dari jaring semisalnya yang keluar dari tulang sulbi. Selain itu ia juga lebih kuat dan lebih lentur daripada jaring sutra.

Klaim ini menurut Bint asy-Syāṭi’ justru lebih jauh lagi, karena ayat tersebut dengan sangat jelas menyebutkan rumah laba-laba dengan sifat awhan yang merupakan bentuk superlatif yang menunjukkan pada makna rumah atau sarang laba-laba adalah rumah yang paling lemah. Penafsiran seperti di atas justru tidak relevan dan kontradiktif dengan perumpamaan yang dibawakan ayat tersebut.

Tafsir sains bukan ajang apologi dan cocoklogi

Sebagai penutup, gerakan tafsir sains memang didasari oleh niat yang baik untuk membuka mata umat Islam akan keagungan Alquran dan untuk lebih giat mempelajari sains. Sayangnya, ada beberapa kajian tafsir sains masih banyak yang bersifat apologetik dan hanya cocoklogi saja, artinya niat yang baik tersebut belum ditopang oleh ilmu dan metodologi yang mumpuni untuk menghasilkan sebuah kajian ilmiah.

Seperti poin-poin yang telah dikritisi Bint asy-Syāṭi’ di atas, tafsir sains yang awalnya muncul untuk menunjukkan kemukjizatan Alquran justru menjadi bumerang yang membuat “malu” Alquran dan bahkan mengguncang iman sebagian pemeluknya, karena mereka menganggap Alquran telah salah serta tidak sesuai dengan sains.

Hal ini sangat mungkin yang menjadi pertimbangan beberapa mufasir yang tidak begitu setuju dengan tafsir Alquran yang didekati dengan sains. Wallah a’lam