Mencintai adalah fitrah manusia. Baik mencintai keluarga, pekerjaan, harta, dan berbagai hal duniawi lainnya. Akan tetapi, terkadang kecintaan pada dunia yang berlebihan akan berdampak negatif untuk manusia. Agar hal tersebut tidak berdampak negatif, Allah mengingatkan manusia, khususnya umat Muslim bahwa cinta yang sebenarnya adalah cinta di sisi Allah. QS. Ali Imran [3]: 14 berbicara tentang cinta
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ
“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak lelaki, harta yang tidak terbikang lagi berlipat ganda dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”
Dalam tafsir Kemenag RI dijelaskan, kecintaan terhadap wanita (istri), anak, harta, atau beberapa hal yang disebutkan dalam ayat tersebut bukanlah suatu hal yang dilarang, akan tetapi sebagai pengingat agar seseorang mencitai sewajarnya. Serta, menggunakan segala kecintaan kepada hal yang disebutkan di ayat tersebut hanya untuk Allah.
Kata Hubbus syahawaat dalam ayat tersebut, jika dipahami bahwa Allah yang memperindah syahwat, maka keseluruhan itu baik. Karena, hal tersebut menurut Quraish Shihab relevan dengan kalimat selanjutnya,” itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”
Kata mata’ yang diartikan kesenangan dalam ayat tersebut memiliki makna kesenangan yang hanya bersifat sementara. Maka, jelas jika apa sajanyang ada di dunia ini hanya sementara, hanya sebuah titipan yang nanti akan dipertanggungjawabkan.
M. Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan, bahwa syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat indrawi. Jika kecenderungan itu berasal dari Allah, maka kebajikan-kebajikan yang akan menyertainya. Seperti keimanan yang dijadikan indah oleh Allah dalam hati orang yang beriman (baca QS. al-Hujurat [49] : 7).
Sedangkan, jika kecederungan hati, kecintaannya yang diperindah syaitan, akan dijadikan indah dalam bentuk kecintaan yang berlebihan, dan menjadikan sesuatu yang buruk terlihat baik. Seperti halnya kaum musyrikin yang menganggap indah pembunuhan terhadap anak (baca QS. Al-An’am [6] : 137).
Lantas bagaimana mencintai apa yang Allah anugerahkan kepada kita dengan sikap sewajarnya?
Dijelaskan dalam Tafsir Al-Misbah, manusia ditugaskan oleh Allah untuk menjadi seorang khalifah di muka bumi ini supaya dunia ini makmur. Agar maksud itu tercapai, Allah memberikan manusia naluri. Naluri atau dorongan inilah yang mendorong manusia untuk melakukan segala aktivitasnya. Termasuk pada naluri untuk memelihara diri dan memelihara jenisnya. kemudian, naluri yang bersifat fitrah ini dinamai hubbu asy-syahawaat.
Mencintai dengan wajar syahwat-syahwat yang disebutkan oleh Allah dalam ayat ke-14 tersebut berarti seseorang perlu menyadari bahwa ada keuntungan yang lebih baik dari semua itu, yakni “wa Allahu, ‘indahu husnul ma’aab”. Hanya disisi Allah kesudahan yang baik.
Kecintaan terhadap syahwat-syahwat tersebut harus berorientasi pada masa depan yang lebih jauh (akhirat). Mencintai pasangan halal, melakukan hubungan badan demi memelihara diri dan keturunan adalah suatu hal yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Menyayangi keturunan (anak) dengan menanamkan nilai-nilai islami, untuk keberlangsungan ajaran Islam pada generasi selanjutnya merupakan hal yang sangat baik. Mencintai harta dengan menggunakannya di jalan yang baik, serta membuat harta tersebut dialokasikan untuk hal-hal yang bermanfaat untuk orang banyak, termasuk tindakan yang sangat baik. Begitupun kecintaan lainnya, yang didasarkan dan disandarkan pada nilai, maksud, yang positif, serta dengan maksud mengharap ridho Allah merupakan maksud dari ayat 14 surat Ali Imran ini.
Lebih jauh, jika semua syahwat yang disebut di atas, wanita (pasangan), anak, harta, adalah baik, akan tetapi ada yang lebih baik daripada itu. Ini lebih diperjelas dalam ayat selanjutnya (Ali Imron [3] : 15), yaitu mencintai Allah sepenuhnya.
قُلْ اَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِّنْ ذٰلِكُمْ ۗ لِلَّذِيْنَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا وَاَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَّرِضْوَانٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِالْعِبَادِۚ
Katakanlah, “Inginkah kuberitahukan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa, pada sisi Tuhan mereka, ada surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dianugerahi) pasangan-pasangan yang disucikan serta keridhaan yang sangat besar bersumber dari Allah. Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.”
Ayat sebelumnya (Ali Imran [3] : 14) telah menginformasikan tentang anugerah Allah berupa hubbu asy-syahawaat pada beberapa hal yang telah disebutkan. Nah, ayat ke-15 ini melanjutkan bahasan ayat sebelumnya dengan pertanyaan, “inginkah kuberitahukan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?”
Kata aunabbiukum merupakan kata yang terambil dari naba’, yang berarti berita penting. Artinya hal yang akan disebutkan setelah pertanyaan itu adalah jauh lebih penting dari hal-hal yang disebutkan sebelumnya.
‘Untuk orang-orang yang bertakwa‘, yaitu orang-orang yang naluri kecintaannya melekat pada dirinya dengan cara dan ketentuan Allah. Mereka yang mencintai dengan tanpa melanggar ketentuan-Nya, yang mencitai dia (dunia) dengan sewajarnya, dan mencintai Dia (Allah) dengan penuh pengabdian. Disampaikan, bahwa di sisi Tuhannya, akan ada sungai-sungai yang mengalir, kekekalan untuk mereka yang kelak tinggal di sana. Disertai pasangan-pasangan yang disucikan.
Ibnu Katsir menyebutkan, kata ‘disucikan’ berarti suci dari kotoran, najis, haid, nifas dan penyakit yang biasa ditimpakan di dunia. Di tempat yang kekal itu, hanya ada kesenangan yang tak ada batasnya, mereka kekal di dalamnya.
M. Quraish Shihab menafsirkan, dalam sungai yang mengalir , artinya mereka (para penghuni) tidak perlu bersusah payah mengairinya. Terlebih, banyak yang disediakan di dalam sungai itu yang tidak pernah telintas dalam penglihatan dan pendengaran, atau bahkan dalam imajinasi manusia di muka bumi. Mereka yang ada di dalamnya dianugerahi pasangan yang suci, jauh dari kotoran jasmani dan rohani. Yang lebih besar adalah karena adanya keridhoan Allah.
Lebih lajut, dalam tafsir Al Misbah, Quraish Sihab menjelaskan makna ridha (رضى). Menurutnya, kata ridha yang ditambah dengan alif dan nun menunjukkan kebesaran, dan keagungan. Keridhaan yang bersumber dari Allah adalah anugerah yang sangat besar. Ini semua merupakan janji Allah, tak ada keraguan di dalamnya.
Jika keridhoan Allah telah didapat, maka apapun yang dikehendaki makhluknya akan Ia berikan. Memberikan bukan dengan setengah-setengah, tetapi dengan penuh keridhaan yang amat agung.
Dalam Tafsir Kemenag terkutip sabda Rasulullah;
Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berkata kepada ahli surga.
“Hai Penghuni Surga.”
“Labbaika Rabbana Wasa’daika.”
Allah berkata, “sudah puaskah kalian semua?”
Mereka menjawab, “mengapa kami tidak puas. Sungguh, Engkau telah mmberikan kepada kami sesuatu yang belum pernab Engkau berikan kepada seorang dari makhluk-Mu.”
Allah berfirman, “aku akam berikan kepadamu yang lebih baik daripada itu?”
Mereka berkata, “Wahai Tuhan kami, apakah yang lebih daripada itu?”
Allah menjawab, ” Aku akan melimpahkan kepadamu Keridhaan-Ku. Lalu, aku tidak akan marah kepadamu selama-lamanya.”
(Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id al Khudri)
Jika demikian, keridhaan Allah adalah yang lebih baik dari yang terbaik. Ketika Allah ridha, segala sesuatu akan dilancarkan, diberkahi, dan dipenuhi kebaikan-kebaikan. Keridhaan (cinta) Allah adalah tujuan akhir dari penghambaan di muka bumi. Mencapai Ridha Allah merupakan tujuan yang harus diperjuangkan dengan sepenuhnya.
Cintai istri/suami, anak, harta, jabatan, kendaraan dan sebagainya yang ada di dunia, atas dasar kecintaanmu pada Rabb mu, untuk mencapai Keridhaan Tuhanmu.
Wallahu A’lam bissowab