Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 37-40

tafsir surah al-ahzab
tafsir surah al-ahzab

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 37-40 membahas tentang status anak angkat dalam Islam. Setidaknya, ada dua hal yang disinggung al-Quran dalam masalah ini. Pertama, status anak angkat disamakan dengan anak kandung pada aspek pewarisan harta, dan kedua ayah angkat tidak boleh menikahi mantan istri anak angkatnya sendiri.Maka, ketika islam hadir, hukum tersebut kemudian dihapys, karena bisa berdampak buruk pada tatanan kehidupan sosial.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 35-36


Sebagai bentuk legitimasi hukum, selain tentang pewarisan harta, Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 37-40 menceritakan bagaimana Allah memerintahkan Nabi untuk menikahi mantan istri anak angkatnya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa tidak ada lagi superioritas anak angkat dalam Islam, sebagaimana tradisi di jaman Jahiliyah. Konsekuesinya, yang diterima Nabi adalah mendapat cemoohan dari orang Munafik maupun Yahudi Madinah. Mereka menilai, apa yang dilakukan oleh nabi tidaklah pantas.

Ayat 37

Sebelum ayat ini turun, ststus anak angkat disamakan dengan anak kandung. mereka berhak mewarisi keluarga angkat, dan ayah angkat tidak boleh menikahi mantan istri anak angkatnya.

Ayat ini turun untuk menghapus anggapan salah tersebut. Anak angkat selamanya tidak akan sama statusnya dengan anak kandung.

Selain itu, ayat ini juga mengajarkan bahwa pada tataran ideal, pernikahan dilangsungkan atas keinginan dan persetujuan kedua belah pihak dan mendapat dukungan dari dari kedua keluarga.


Baca Juga : Mengenal Empat Tipologi Anak dalam Al-Quran


Ayat 38

Pada ayat ini, Allah menguatkan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu bahwa tidak ada suatu keberatan apa pun atas Nabi saw apa yang telah menjadi ketetapan Allah baginya untuk mengawini perempuan bekas istri anak angkatnya setelah dijatuhi talak oleh suaminya dan habis masa idahnya.

Orang-orang Yahudi sering mencela Nabi Muhammad saw karena mempunyai istri yang banyak, padahal mereka mengetahui bahwa nabi-nabi sebelumnya ada yang lebih banyak istrinya seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman.

Nabi Muhammad diperintahkan Allah supaya tidak menghiraukan pembicaraan khalayak ramai sehubungan dengan pernikahan beliau dengan Zainab.

Ketika Zaid telah menceraikan istrinya, Allah menikahkan Nabi saw dengan Zainab agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk menikahi bekas istri anak angkat apabila telah diceraikan.

Ketetapan Allah tentang pernikahan Zainab dengan Nabi adalah suatu ketetapan yang sudah pasti.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan at-Tirmizi bahwa Zainab sering membangga-banggakan dirinya di hadapan istri-istri Nabi lainnya dengan ucapan, “Kamu dinikahkan oleh keluargamu sendiri, tetapi saya dinikahkan oleh Allah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dari Sya’bi bahwa Zainab pernah berkata kepada Nabi, “Saya mempunyai kelebihan dengan tiga perkara yang tidak dimiliki oleh istri-istrimu yang lain, yaitu: kakekku dan kakekmu adalah sama yaitu Abdul Muthalib; Allah menikahkan engkau denganku dengan perintah wahyu dari langit; dan yang ditugaskan menyampaikannya adalah Malaikat Jibril.”

Ayat 39

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa rasul-rasul yang mendahului Nabi Muhammad itu telah melaksanakan sunatullah. Mereka adalah orang-orang yang penuh dengan ketakwaan dan keikhlasan dalam beribadah.

Mereka juga orang-orang yang menyampaikan syariat-syariat Allah, sangat takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada selain-Nya. Nabi Muhammad pun diperintahkan untuk menjadikannya teladan dalam melaksanakan sunatullah, dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.

Ayat 40

Tatkala Rasulullah menikahi Zainab, banyak orang munafik yang mencela pernikahan itu karena dipandang sebagai menikahi bekas istri anak sendiri.

Maka Allah menurunkan ayat ini yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw tidak usah khawatir tentang cemoohan orang-orang yang mengatakan bahwa beliau menikahi bekas istri anaknya, karena Zaid itu bukan anak kandung beliau, tetapi hanya anak angkat.

Muhammad saw sekali-kali bukan bapak dari seorang laki-laki di antara umatnya, tetapi ia adalah utusan Allah dan nabi-Nya yang terakhir. Tidak ada nabi lagi setelah beliau.

Nabi Muhammad saw itu adalah bapak dari kaum Muslimin dalam segi kehormatan dan kasih sayang sebagaimana setiap rasul pun adalah bapak dari seluruh umatnya.

Muhammad itu bukan bapak dari seorang laki-laki dari umatnya dengan pengertian “bapak” dalam segi keturunan yang menyebabkan haramnya mu¡±harah (perbesanan), tetapi beliau adalah bapak dari segenap kaum mukminin dalam segi agama. Beliau mempunyai rasa kasih sayang kepada seluruh umatnya untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, seperti kasih sayang seorang ayah terhadap anak-anaknya.

Anak laki-laki Nabi saw dari Khadijah ada tiga orang, yaitu Qasim, Thayyib, dan Thahir, semuanya meninggal dunia sebelum balig. Dari Mariyah al-Qibthiyah, Nabi memperoleh seorang anak laki-laki bernama Ibrahim yang juga meninggal ketika masih kecil.

Di samping tiga anak laki-laki, Nabi saw juga mempunyai empat anak perempuan dari Khadijah, yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan Fathimah. Tiga yang pertama meninggal sebelum Nabi wafat.

Allah Maha Mengetahui segala sesuatu tentang siapa yang diangkat sebagai nabi-nabi yang terdahulu dan siapa yang diangkat sebagai nabi penutup. Berikut hadis-hadis yang menerangkan tentang kedudukan Nabi Muhammad sebagai nabi penutup atau terakhir, di antaranya:

عَنْ جَابِرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: اِنَّ لِى اَسْمَاءً اَنَا مُحَمَّدٌ اَنَا اَحْمَدُ اَنَا اَلْمَاحِى الَّذِيْ يَمْحُو اللهُ بِى الْكُفْرَ وَاَنَا اَلْحَاشِرُ اَلَّذِيْ يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمِى وَاَنَا الْعَاقِبُ الَّذِيْ لَيْسَ بَعْدِيْ نَبِيٌّ . (رواه البخاري ومسلم)

Dari Jabir bin Muth’im bahwa ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Aku punya beberapa nama: aku Muhammad, aku Ahmad, aku al-Mahi yang mana Allah menghapus kekufuran denganku dan aku al-Hasyir di mana manusia dikumpulkan di bawah kakiku dan aku juga al-‘Āqib yang mana tidak ada lagi nabi sesudahku.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ مَثَلِى وَمَثَلُ النَّبِيِّيْنَ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنىَ دَارًا فَأَكْمَلَهَا وَاَحْسَنَهَا اِلاَّ مَوْضِعَ لُبْنَةٍ فَكَانَ مَنْ دَخَلَهَا فَنَظَرَ اِلَيْهَا قَالَ ماَ اَحْسَنَهَا اِلاَّ مَوْضِعَ هَذِهِ اللُّبْنَةِ فَاَنَا مَوْضِعُ اللُّبْنَةِ خُتِمَ بِى اْلاَنْبِيَاءُ عَلَيْهِمُ السَّلاَم. (رواه مسلم)

Dari Jabir bin ‘Abdullah bahwa ia berkata, “Rasulullah bersabda: Posisiku di antara para nabi adalah seperti seorang laki-laki yang membangun rumah, dia menyempurnakan dan menghiasinya kecuali satu tempat batu (bata yang belum dipasang). Orang yang memasuki rumah itu dan melihatnya berkata, “Alangkah bagusnya rumah ini, kecuali satu tempat batu (bata yang belum dipasang),” maka akulah batu (bata yang belum dipasang) itu, di mana  aku menjadi penutup kenabian.” (Riwayat Muslim)

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  فُضِّلْتُ عَلَى اْلاَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ اُعْطِيْتُ جَوَامِعَ الْكَلِمَ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ وَاُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ وَجُعِلَتْ لِيَ اْلاَرْضُ طَهُوْرًا وَمَسْجِدًا وَاُرْسِلْتُ اِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّوْنَ. (رواه مسلم و الترمذى)

Dari Abu Hurairah bahwa ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Aku dilebihkan dari para nabi dengan enam hal: 1) Aku diberi kalimat yang singkat tapi padat (luas maknanya). 2) Aku ditolong dengan (diberi rasa) ketakutan (bagi musuh). 3) Dihalalkan bagiku rampasan perang. 4) Allah menjadikan bagiku bumi itu suci (untuk tayamum) dan menjadi masjid. 5) Aku diutus kepada seluruh makhluk, dan 6) Aku dijadikan sebagai penutup para nabi.” (Riwayat Muslim dan at-Tirmizi)

عَنْ اَنَسِ بْنِ ماَلِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ اِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدْ اِنْقَطَعَتْ فَلاَ رَسُوْلَ بَعْدِى وَلاَ نَبِيَّ. (رواه احمد)

Dari Anas bin Malik bahwa ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Kerasulan dan kenabian telah terputus, tidak ada lagi rasul dan nabi sesudahku.” (Riwayat Ahmad)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Ahzab Ayat 41-46