BerandaTafsir TematikTafsir Surah Al-A‘la Ayat 6-7: Membincang Sifat Lupa Nabi Muhammad

Tafsir Surah Al-A‘la Ayat 6-7: Membincang Sifat Lupa Nabi Muhammad

Muhammadun basyarun la kal basyari (Nabi Muhammad itu manusia yang tidak seperti manusia biasa).”

Penggalan kutipan sya’ir di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah sosok manusia terpilih yang dijadikan Allah sebagai salah satu utusan untuk menyampaikan ajaran-ajaran-Nya. Sebagai seorang rasul, Nabi Muhammad saw. memiliki keistimewaan dan kekhususan yang tidak dimiliki manusia pada umumnya. Meskipun demikian, hal tersebut bukan berarti menampik bahwa beliau juga merupakan manusia seperti kita yang masih memiliki sisi manusiawinya.

Salah satu sisi manusiawi dari seorang manusia adalah sifat lupa. Jika dikaitkan dengan Nabi Muhammad saw. sebagai manusia pilihan, apakah beliau juga pernah lupa? Siapa sangka, pertanyaan tersebut menjadi satu bahasan tersendiri di berbagai literatur keislaman, salah satunya terdapat dalam kitab ‘Adâlah ash-Shahâbah Lâ Tastalzimu Dhabithohum karangan Dr. Alwi bin Hamid bin Muhammad bin Syihab ad-Din.

Pembahasan hal tersebut erat kaitannya dengan Q.S. Al-A‘lā [87]: 6-7:

سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسٰىٓ  ۖ  اِلَّا مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۗاِنَّهٗ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفٰىۗ

  1. Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa,
  2. kecuali jika Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.

Merujuk pada kitab Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîl al-Qur’ân, ayat tersebut menjadi informasi bahwa Allah Swt. membacakan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw. sehingga beliau tidak lupa terhadap wahyu yang diturunkan. Pendapat lain menyatakan bahwa ayat tersebut menjadi informasi kepada Nabi Muhammad saw. bahwa Allah Swt. mengajarkan Al-Qur’an dan memeliharanya pada diri beliau serta larangan agar beliau tidak tergesa-gesa ketika membacanya. Pendukung pendapat kedua ini menyelaraskan pemahamannya dengan Q.S.Al-Qiyâmah [75]: 16-17:

لَا تُحَرِّكْ بِهٖ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهٖۗ  اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗ ۚ

  1. Sesungguhnya tugas Kamilah untuk mengumpulkan (dalam hatimu) dan membacakannya.
  2. Jangan engkau (Nabi Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur’an) karena hendak tergesa-gesa (menguasai)-nya. 

Makna “lupa” yang dimaksud pada ayat tersebut memiliki interpretasi bermacam-macam dari berbagai perspektif mufassir. Spesifikasi terhadap maksud “lupa” pada ayat tersebut dapat kita jumpai pada penafsiran Prof. Quraish Shihab yang menyitir pemahaman kebanyakan ulama bahwa lupa yang dimaksud adalah melupakan terus menerus, bukan dalam arti bahwa Nabi Muhammad saw. luput dari sifat lupa. (Tafsir Al-Mishbah [15]: 242-243).

Penafsiran serupa juga dapat kita jumpai pada Tafsir Hadâiq ar-Rûh wa ar-Raihân karya Muhammad Amîn bin Abdullāh al-Harariy. (Tafsir Hadâiq ar-Rûh wa ar-Raihân [31]: 351).

Ulama lain mengatakan bahwa makna lupa pada ayat tersebut adalah اَلتَّرْكُ (al-tarku) atau meninggalkan. Yakni bahwa Nabi Muhammad saw. tidak meninggalkan pengamalan ayat Al-Qur’an sedikit pun. (Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîl al-Qur’ân [12]: 544-545).

Dalam Tafsir Al-Qurthubi, ditemukan satu pendapat yang menyatakan bahwa kata لَا () pada ayat tersebut merupakan la nahiyah yang bermakna larangan. Pendapat demikian kemudian menghasilkan pemahaman bahwa ayat tersebut berisi larangan kepada Nabi agar tidak lalai dalam membaca Al-Qur’an dan senantiasa mengulanginya (Tafsir Al-Qurthubi [20]: 15).

Lebih dari itu, ayat ini juga mengandung alasan pembuktian mukjizat Nabi Muhammad saw. bahwa beliau tidak bisa membaca (ummi) dan menulis, namun  beliau mampu menghafalkan Al-Qur’an tanpa belajar. (Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm Wa I’râbuhû Wa Bayânuhû [10] :549).

Baca juga: Kajian Semantik Kata Nisyan (Lupa) dan Berbagai Konteksnya dalam Al-Quran

Penutup

Dari sajian beberapa penafsiran di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah Swt. memelihara Rasulullah saw. dari sifat lupa terus-menerus terhadap wahyu Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya. Juga perintah agar senantiasa membaca dan mempelajari serta mengamalkan Al-Qur’an. Sekali lagi, jika merujuk kepada Tafsir al-Mishbah, hal itu tidak berarti bahwa Nabi Muhammad saw. luput dari sifat lupa layaknya manusia pada umumnya. Hal ini diperkuat lagi dengan penggalan hadis berikut:

“…إنَّما أنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أنْسَى كما تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي،…”

“…Aku ini hanyalah manusia seperti kalian yang bisa lupa sebagaimana kalian juga bisa lupa, maka jika aku terlupa, ingatkanlah..” (HR. Bukhari no. 401).

Dengan demikian, sifat lupa yang melekat pada diri Rasulullah saw. tidak menjadi sebuah kejelekan atau aib beliau sebagai Nabi dan Rasul Allah. Sebaliknya, sifat lupa terkadang bisa menjadi sebuah nikmat dari Allah Swt. pada hamba-Nya. Dalam beberapa kejadian menyedihkan, seperti kematian orang-orang yang dicintai, sifat lupa diperlukan agar keluarga atau orang yang sedang berduka bisa kembali menjalani kehidupannya dengan perasaan senang dan gembira seperti sebelumnya. (Adâlah ash-Shahâbah Lâ Tastalzimu Dhabithohum, 29-32).

Baca juga: Hukum Berucap “Aku Lupa Lanjutan Ayat Ini” Pada Hafalan Al-Qur’an

 

Rijal Ali
Rijal Ali
Mahasiswa UIN Antasari, minat kajian Isu-isu keislaman kontemporer,
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...