Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An’am ayat 116 memberikan peringatan kepada Nabi Muhammad saw. dan umat Islam agar tidak terbawa dalam pemikiran bahwa mengikuti mayoritas adalah satu-satunya standar kebenaran.
Dalam banyak kasus, mayoritas mungkin saja berada pada jalan yang sesat, meninggalkan ajaran Allah dan mengikuti hawa nafsu semata sebagaimana disinggung dalam ayat 116 surah al-An’am. Bagaimana kemudian dengan negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim? Bagaimana memahami ayat ini untuk mengukur standar kebenaran dalam konteks Indonesia?
Baca Juga: Surah Ali Imran Ayat 110: Konsep Khairu Ummah dalam Ilmu Sosial Profetik
Surah al-An’am ayat 116 dan tafsirnya
وَاِ نْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَ رْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِ نْ هُمْ اِلَّا يَخْرُصُوْنَ
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (Q.S. Al-An’am [6]: 116)
Menurut Wahbah Zuhaili, ayat tersebut menjelaskan bahwa jika Nabi Muhammad dan pengikutnya mengikuti mayoritas orang-orang saat itu yang kafir dan musyrik serta meninggalkan ajaran Allah, mereka akan tersesat. Orang-orang tersebut hanya mengikuti hawa nafsu, mengabaikan bukti ketuhanan dan logika yang benar, serta berspekulasi tanpa dasar yang kuat.
Ini menunjukkan bahwa banyak orang tersesat dalam keyakinan dan pengetahuan tentang Tuhan, sehingga terus melakukan penyekutuan dengan Allah dan menolak standar kebenaran yakni mengikuti ajaran Allah dan Rasulullah, hanya melihat mayoritas. (Az-Zuhaili, 2013, Vol. 4 hlm. 308)
Adapun menurut at-Thabari, ayat tersebut menegaskan bahwa mengikuti mayoritas orang-orang kafir akan mengakibatkan seseorang tersesat dari jalan Allah dan tidak mendapat pahala dari-Nya, karena pada saat itu memang umat Islam masih dalam keadaan minoritas, dan yang mayoritas adalah orang-orang kafir. (Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, 2007, Vol. 7 hlm. 180)
Sedang menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan bentuk larangan Allah kepada Rasulullah saw. dan umat Islam untuk tidak mengikuti mayoritas manusia di bumi ini, sedang mereka telah menolak kebenaran dan tidak mengikuti ajaran Allah dan Rasulullah. Standar kebenaran bukan diukur dari banyaknya jumlah mereka.
Mereka hanya mengikuti spekulasi yang tidak berdasar, sementara kebenaran yang berasal dari Allah adalah sesuatu yang pasti. Oleh karena itu, pesan ayat ini adalah untuk tetap teguh pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, meskipun mayoritas dari mereka mengikuti jalan yang sesat. (Shihab, 2012, Vol.7 hlm. 264)
Ketiga pandangan mufasir tersebut memiliki kesamaan dalam pemahaman bahwa ayat tersebut memberikan peringatan kepada Nabi Muhammad Saw. dan umat Islam agar tidak mengikuti mayoritas (saat itu) karena mereka adalah orang-orang kafir dan musyrik. Selain itu, melalui ayat ini pula Nabi Muhammad saw. dan umat Islam yang minoritas (saat itu) untuk tetap teguh pada ajaran Allah.
Baca Juga: Surat Ali Imran Ayat 110: Syarat Menjadi Umat Terbaik
Tantangan Menjadi Mayoritas di Indonesia
Umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas, lantas bagaimana dengan pernyataan bahwa mayoritas bukan satu-satunya standar kebenaran, seperti yang tersirat dari surah al-An’am ayat 116? Perlu dibedakan antara konteks awal mayoritas dalam ayat dengan konteks mayoritas Indonesia.
Dalam ayat dijelaskan bahwa sifat atau karakter mayoritas pada saat itu adalah menyesatkan dari jalan Allah, karena orang-orang kafir masih mendominasi. Adapun konteks mayoritas masyarakat Indonesia hari ini adalah umat Islam yang idealnya adalah umat Nabi Muhammad saw. yang senantiasa menjalankan perintah Allah.
Jika konteks kondisi mayoritas-minoritas ini bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung pada tempat dan zaman, maka dapat diasumsikan bahwa hal tersebut tidak valid untuk dijadikan sebagain standar ukuran kebenaran, karena ukuran kebenaran itu nilainya tetap di mana pun dan kapan pun.
Oleh karena demikian, karakter atau sifat dari mayoritas-minoritas inilah yang kemudian bisa dijadikan sebagai alternatif standar kebenaran. Berdasar pada surah al-An’am ayat 116, standar kebenaran adalah dia atau mereka yang tetap berpegang teguh pada ajaran Allah dan RasulNya, bukan tentang jumlah orangnya.
Untuk masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, surah al-An’am ayat 116 ini bisa dijadikan sebagai pengingat untuk tetap berpegang tegih pada ajaran Allah dan RasulNya, dan senantiasa menjadi mayoritas yang mencerahkan, bukan malah menyesatkan.
Baca Juga: Salah Paham tentang Khayr Ummah, Awal Lahirnya Sikap Superioritas
Penutup
Dalam konteks keagamaan, terutama di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, pesan dari surah al-An’am ayat 116 tetap relevan dan penting. Ayat ini memberikan peringatan kepada umat Islam agar tidak mengikuti mayoritas tanpa mempertimbangkan ajaran Allah.
Kualitas iman dan standar kebenaran ajaran agama tidak ditentukan oleh jumlah orang yang mengerjakan, melainkan oleh kesungguhan dan kepatuhan terhadap ajaran yang benar, yaitu sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulullah. Marilah kita menjadikan ajaran agama sebagai pedoman utama, tanpa terpengaruh oleh aspek mayoritas atau minoritas.