Tafsir Surah Al A’raf ayat 196-199 mengisahkan tentang dua pemuda yakni Mu’az bin Amr bin al- Jamuh beserta Mu’az bin Jabal ra yang menghancurkan patung-patung kaum musyrikin dan menjadikannya kayu bakar bagi para janda. Selengkapnya Tafsir Surah Al A’raf ayat 196-199 di bawah ini:
Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 195
Ayat 196
Ayat ini menerangkan lanjutan ucapan Nabi Muhammad dihadapan kaum musyrikin, yaitu bahwa sesungguhnya Allah Yang menjadi pelindungnya, Yang mengurusi urusannya, dan Yang menjadi penolongnya. Allah Yang menurunkan Al-Qur’an, Yang menjelaskan keesaan-Nya dan yang mewajibkan manusia berbakti serta berdoa kepada-Nya dalam segala keadaan. Al-Qur’an itu membentangkan pula kekeliruan dan kebathilan penyembahan berhala.
Karena itu Rasulullah saw tidak memperdulikan berhala-berhala itu dan tidak pula merasa takut kepadanya, meskipun orang-orang musyrikin menakut-nakuti dengan berhala itu. Allah juga akan memberikan pertolongan dan perlindungan-Nya kepada hamba-Nya yang saleh, yakni mereka yang memiliki jiwa yang bersih berkat kebersihan akidahnya, dan dari kebersihan jiwa itu lahir amal perbuatan yang luhur, berguna bagi kehidupan pribadi dan masyarakat.
Ayat 197
Allah swt menegaskan kembali pada kaum musyrikin bahwa berhala-berhala yang mereka harapkan pertolongannya itu tidak dapat berbuat apa-apa bahkan menolong diri mereka sendiri tidak dapat, apalagi menolong diri orang lain. Baik memberi manfaat, maupun menolak kemudharatan, seperti apa yang diperbuat Nabi Ibrahim as. Beliau menghancurkan patung-patung kaumnya, sehingga menjadi berkeping-keping. Patung-patung itu tidak dapat membela diri dan membalas dendam.
Diceritakan oleh Ibnu Katsir, bahwa Mu’az bin Amr bin al- Jamuh beserta Mu’az bin Jabal ra, masuk agama Islam ketika Nabi Muhammad, tiba di Medinah. Keduanya masih muda-muda. Pada suatu malam mereka pergi menghancurkan patung-patung orang musyrikin dan dijadikan kayu bakar untuk para janda. Maksudnya agar kaumnya mengetahui dan mengambil pelajaran dari peristiwa itu.
Orang tuanya yang bernama Amr bin al-Jamuh seorang kepala suku, memiliki sebuah patung yang selalu disembahnya dan diberinya wangi-wangian. Pada suatu malam kedua anak muda itu mendatangi patung tersebut. Lalu patung itu dibalikkannya, kepalanya dibawah dan diberinya kotoran manusia. Besok harinya Amr bin Al Jamuh datang ke tempat patung sembahannya, dilihatnya apa yang telah terjadi. Patung itu kemudian dibersihkanya dan diberinya wangi-wangian lalu dia letakkan sebuah pedang di sampingnya. Berkatalah dia kepada patung itu: “Belalah dirimu”. Tetapi keesokan harinya kedua anak muda itu kembali mengulangi perbuatannya dan orang tua itupun kembali pula berbuat seperti semula lagi.
Akhirnya kedua anak muda itu mengambil patung itu dan mengikatnya bersama anjing yang mati, lalu diletakkannya di dekat sumur yang dekat dengan tempat itu. Kemudian ketika orang tua itu datang lagi dan melihat apa yang terjadi atas patungnya, sadarlah dia bahwa agama yang dianutnya selama ini adalah agama yang bathil. Kemudian Amr bin Jamuh masuk agama Islam dan menjadi seorang muslim yang baik. Beliau mati syahid dalam Perang Uhud (Lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid 2, hal 277).
Ayat 198
Dalam ayat ini Allah menyatakan kembali bahwa meskipun orang musyrikin itu meminta berhala-berhala itu memberi petunjuk kepada mereka, namun berhala-berhala itu tidak akan mendengar permintaan itu. karena benda-benda itu tidak mempunyai pendengaran walaupun dia punya telinga. Kaum musyrikin itu melihat berhala-berhala itu memandang kepada mereka, padahal dia tidak melihat, karena berhala-berhala itu tidak punya penglihatan walaupun ia punya mata yang dipahat oleh pembuatnya.
Ayat 199
Dalam ayat ini Allah memerintahkan Rasul-Nya, agar berpegang teguh pada prinsip umum tentang moral dan hukum.
1. Sikap Pemaaf dan berlapang dada
Allah swt menyuruh Rasul-Nya agar beliau memaafkan dan berlapang terhadap perbuatan, tingkah laku dan akhlak manusia dan janganlah beliau meminta dari manusia apa yang sangat sukar bagi mereka sehingga mereka lari dari agama.
Sabda Rasullah saw:
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلاَتُنَفِّرُوْا (رواه البخاري ومسلم عن أبي موسى ومعاذ)
“Mudahkanlah, jangan kamu persulit dan berilah kegembiraan, jangan kamu susahkan”. (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari Abu Musa dan Mu’āz)
Termasuk prinsip agama, memudahkan, menjauhkan kesukaran dan segala hal yang menyusahkan manusia. Demikian pula halnya dalam bidang budi pekerti manusia banyak dipengaruhi lingkungannya. Bahkan banyak riwayat menyatakan bahwa yang dikehendaki pemaafan di sini ialah pemaafan dalam bidang akhlak atau budi pekerti (Tafsir Ibn Katsir dalam tafsir ayat tersebut)
Rasulullah berkata sehubungan dengan ayat ini:
مَا هٰذاَ يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ إِنَّ الله َأَمَرَكَ أَنْ تَعْفُوَ عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَتُعْطِيَ مَنْ حَرَمَكَ وَتَصِلَ مَنْ قَطَعَكَ
رواه ابن جرير وابن أبي حاتم عن ابن أبي عن أبيه
“Apakah ini ya Jibril? Jawab Jibril, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kamu agar memaafkan orang yang berbuat aniaya terhadapmu, memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadamu dan menyambung hubungan kepada orang yang memutuskannya.” (Riwayat Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim, dari Ibn Ubay dari bapaknya)
2. Menyuruh manusia berbuat ma’ruf (baik)
Pengertian ’urf pada ayat ini adalah ma’ruf. Adapun Ma’ruf adalah adat kebiasaan masyarakat yang baik, yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam Al-Qur’an kata”ma’ruf” dipergunakan dalam hubungan hukum-hukum yang penting, seperti dalam hukum pemerintahan, hukum perkawinan. Dalam pengertian kemasyarakatan kata “ma’ruf” dipergunakan dalam arti adat kebiasaan dan muamalah dalam suatu masyarakat. Karena itu ia berbeda-beda sesuai dengan perbedaan bangsa, negara, dan waktu.
Di antara para ulama ada yang memberikan definisi “ma’ruf” dengan apa yang dipandang baik melakukannya menurut tabiat manusia yang murni tidak berlawanan dengan akal pikiran yang sehat. Bagi kaum Muslimin yang pokok ialah berpegang teguh pada na¡-na¡ yang kuat dari Al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian mengindahkan adat kebiasaan dan norma yang hidup dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan na¡ agama secara jelas.
3. Tidak mempedulikan gangguan orang jahil
Yang dimaksud dengan orang jahil ialah orang yang selalu bersikap kasar dan menimbulkan gangguan-gangguan terhadap para Nabi, dan tidak dapat disadarkan. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar menghindarkan diri dari orang-orang jahil, tidak melayani mereka, dan tidak membalas kekerasan mereka dengan kekerasan pula.
(Tafsir Kemenag)
Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 200