Awal dari tafsir surah Al-Hujurat, khususnya dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 1-2 ini merupakan panduan bagi kaum Muslimin agar bersikap sopan kepada Rasulullah. Sebagaimana contohnya adalah jangan mendahului Allah dan Rasul dalam menentukan suatu hukum atau pendapat.
Adapun sahabat yang menjadi contoh dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 1-2 ini dalam hal memutuskan pendapat adalah Mu’adz bin Jabal. Sedangkan contoh untuk merendahkan suara saat berbicara dengan Nabi Muhammad adalah sahabat Abu Bakar dan Tsabit bin Qais.
Demikianlah gambaran akhlaq al karimah yang dicontohkan dalam Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 1-2.
Baca Juga: Kriteria Akhlak Mulia dalam Islam dan Empat Sifat Sebagai Pilarnya
Ayat 1
Pada ayat ini, Allah mengajarkan kesopanan kepada kaum Muslimin ketika berhadapan dengan Rasulullah saw dalam hal perbuatan dan percakapan. Allah memperingatkan kaum mukminin supaya jangan mendahului Allah dan rasul-Nya dalam menentukan suatu hukum atau pendapat.
Mereka dilarang memutuskan suatu perkara sebelum membahas dan meneliti lebih dahulu hukum Allah dan (atau) ketentuan dari rasul-Nya terhadap masalah itu. Hal ini bertujuan agar keputusan mereka tidak menyalahi apalagi bertentangan dengan syariat Islam, sehingga dapat menimbulkan kemurkaan Allah.
Yang demikian ini sejalan dengan yang dialami oleh sahabat Nabi Muhammad yaitu Mu’adz bin Jabal ketika akan diutus ke negeri Yaman. Rasulullah saw bertanya, “Kamu akan memberi keputusan dengan apa?” Dijawab oleh Mu’adz, “Dengan kitab Allah.” Nabi bertanya lagi, “Jika tidak kamu jumpai dalam kitab Allah, bagaimana?” Mu’adz menjawab, “Dengan Sunah Rasulullah.” Nabi Muhammad bertanya lagi, “Jika dalam Sunah Rasulullah tidak kamu jumpai, bagaimana?” Mu’adz menjawab, “Aku akan ijtihad dengan pikiranku.” Lalu Nabi Muhammad saw menepuk dada Mu’adz seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan rasul-Nya tentang apa yang diridai Allah dan rasul-Nya.” (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Mu’adz bin Jabal).
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada kaum mukminin supaya melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak tergesa-gesa melakukan perbuatan atau mengemukakan pendapat dengan mendahului Al-Qur’an dan hadis Nabi yang ada hubungannya dengan sebab turunnya ayat ini. Tersebut dalam kitab al-Iklil bahwa mereka dilarang menyembelih kurban pada hari Raya Idul Adha sebelum Nabi me-nyembelih, dan dilarang berpuasa pada hari yang diragukan, seperti apakah telah datang awal Ramadan atau belum, sebelum jelas hasil ijtihad untuk penetapannya. Kemudian Allah memerintahkan supaya mereka tetap bertakwa kepada-Nya karena Allah Maha Mendengar segala percakapan dan Maha Mengetahui segala yang terkandung dalam hati hamba-hamba-Nya.
Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 36: Allah Tidak Menyukai Sifat Sombong dan Angkuh
Ayat 2
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa ‘Abdullah bin Zubair memberitahukan kepadanya bahwa telah datang satu rombongan dari Kabilah Bani Tamim kepada Rasulullah saw. Abu Bakar berkata, “Rombongan ini hendaknya diketuai oleh al-Qa’qa’ bin Ma’bad.” ‘Umar bin Khattab berkata, “Hendaknya diketuai oleh al-Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar membantah, “Kamu tidak bermaksud lain kecuali menentang aku.” ‘Umar menjawab, “Saya tidak bermaksud menentangmu.” Maka timbullah perbedaan pendapat antara Abu Bakar dan ‘Umar sehingga suara mereka kedengarannya bertambah keras, maka turunlah ayat ini. Sejak itu, bila Abu Bakar berbicara dengan Nabi Muhammad, suaranya direndahkan sekali seperti bisikan saja, demikian pula ‘Umar. Oleh karena sangat halus suaranya, hampir-hampir tak terdengar, sehingga sering ditanyakan lagi apa yang diucapkannya itu.
Mereka sama-sama memahami bahwa ayat-ayat tersebut sengaja diturunkan untuk memelihara kehormatan Nabi Muhammad. Setelah ayat ini turun, Tsabit bin Qais tidak pernah datang lagi menghadiri majelis Rasulullah saw. Ketika ditanya oleh Nabi tentang sebabnya, Tsabit menjawab, “Ya Rasulullah, telah diturunkan ayat ini dan saya adalah seorang yang selalu berbicara keras dan nyaring. Saya merasa khawatir kalau-kalau pahala saya akan dihapus sebagai akibat kebiasaan saya itu.” Nabi Muhammad menjawab, “Engkau lain sekali, engkau hidup dalam kebaikan dan insya Allah akan mati dalam kebaikan pula, engkau termasuk ahli surga.” Tsabit menjawab, “Saya sangat senang karena berita yang menggembirakan itu, dan saya tidak akan mengeraskan suara saya terhadap Nabi untuk selama-lamanya.” (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abi Mulaikah). Maka turunlah ayat berikutnya, yaitu ayat ke-3 dari Surah al-Hujurat.
Dari paparan di atas, dapat dipahami bagaimana Allah mengajarkan kepada kaum mukminin kesopanan dalam percakapan ketika berhadapan dengan Nabi Muhammad. Allah melarang kaum mukminin meninggikan suara mereka lebih dari suara Nabi. Mereka dilarang untuk berkata-kata kepada Nabi dengan suara keras karena perbuatan seperti itu tidak layak menurut kesopanan dan dapat menyinggung perasaan Nabi. Terutama jika dalam ucapan-ucapan yang tidak sopan itu tersimpan unsur-unsur cemoohan atau penghinaan yang menyakitkan hati Nabi dan dapat menyeret serta menjerumuskan orangnya kepada kekafiran, sehingga mengakibatkan hilang dan gugurnya segala pahala kebaikan mereka itu di masa lampau, padahal semuanya itu terjadi tanpa disadarinya.
(Tafsir Kemenag)
Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 3-4