Islam adalah agama yang anti terhadap pengangguran dan kemandekan. Artinya, produktivitas dan kontinuitas menjadi semangat mendasar dalam Al-Qur’an. Untuk itu, banyak ayat Al-Quran yang menganjurkan kita untuk terus produktif, istiqomah dan terus mengembangkan diri, antara lain yaitu surah Al-Insyirah ayat 7-8
Surah Al-Insyirah
Satu di antara berbagai surah yang memuat nilai dan semangat produktivitas adalah surah Al-Insyirah. Surah ini adalah wahyu ke-12 yang diterima Nabi, memiliki 8 ayat dan diturunkan setelah surah Ad-Dhuha dan sebelum surah Al-‘Ashr. Adapun dari sisi urutan mushaf, surah ini menempati urutan ke 94 dari surah-surah di dalam Al-Qur’an.
Terlepas dari itu, tulisan ini akan menggambil hikmah dua ayat terakhir dari surah Al-Insyirah. Tema produktivitas dan harapan menjadi penting di masa semacam ini. Mengingat, situasi zaman, dunia kerja dan media sosial sangat dekat dengan kehidupan kita. Bagi yang mandek, tidak bebrbuat apa-apa maka akan ketinggalan. Tidak peduli dalam keadaan apapun, normal maupun pandemi, kita tetap harus produktif. Di saat seperti ini kita dituntut untuk kreatif dan tidak menyerah pada keadaan.
Baca Juga: Tinggalkan Rebahan, Mari Produktif di Tengah Pandemi: Tafsir Surat Al-Asr Ayat 1-3
Produktiflah!
Menarik untuk mengkaitkan kesibukan dan produktivitas. Tentu, keduanya adalah dua hal yang berbeda. Tidak selamanya kesibukan berjalan lurus dengan produktivitas. Namun, produktivitas adalah satu indikator penting untuk menilai kondisi kita yang sekarang dan sebelumnya.
Ayat yang berkaitan dengan hal ini adalah ayat ke-7 dari surah Al-Insyirah. Mari perhatikan ayat ini beserta terjemahannya
فَإِذا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”
Secara bahasa, kata faragha bermakna kosong setelah sebelumnya penuh baik secara materi maupun non-materi. Misal, gelas berisi air yang kemudian diminum atau tumpah sehingga menjadi kosong, atau hati yang galau dipenuhi dengan kekhawatiran kemudian menjadi lega. Keduan peristiwa ini dapat disebut dengan faragha. (Qurasih Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid. 1, hal. 364)
Atau menurut Ibn Manzur, seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan dan menyelesaikannya. Maka, durasi waktu antara berakhirnya pekerjaan pertama dan akan dimulainya pekerjaan selanutnya, itulah yang dinamakan faraagh. (Ibn Manzur, Lisanul ‘Arab)
Adapun kata fanshab terdiri dari huruf fa’ dan kata perintah inshaba. Kata perintah ini berasal dari kata nashaba yang bermakna menegakkan sesuatu sehingga menjadi nyata dan mantap. Kemudian, melalui kata ini terdapat kata nashib yang merupakan keadaan yang sudah nyata dan tegak karena usaha kita sebelumnya.
Alhasil, ayat ini meminta kita untuk selalu menyusul pekerjaan yang sudah selesai dengan mantap dengan pekerjaan yang lain. Dengan kata lain, produktivitas harus selalu dimiliki setiap mukmin. Namun, produktivitas di sini bukan hanya memproduksi konten, melainkan terus melakukan aktivitas yang dapat memperbaiki diri setiap harinya. Tentu, dengan kualitas yang mantap.
Selain itu, ayat ini menginginkan agar kita tidak menjadi pengangguran. Mengganggur dalam arti tidak memiliki rencana untuk dilakukan. Sehingga, waktu kita terbuang sia-sia atau akhirnya kita gunakan kepada hal yang sia-sia dan tidak memberi manfaat apapun kepada kita.
Baca Juga: Tiga Sarana Utama Untuk Mendapatkan Rahmat Allah SWT
Berharap Hanya Kepada Allah
Nah, setelah kita melakukan segala pekerjaan secara produktif dan berkesinambungan, ada titik akhir kita berharap. Tentu, tujuan segala produktivitas adalah untuk kebermanfaatan, baik di skala diri sendiri, keluarga, masyarakat bahkan dunia. Namun, terkadang kita berharap lebih terhadap apa yang telah kita usahakan.
Berkaitan dengan hal ini, ayat ke-8 dari surah ini memberi tujuan dan penegasan, tentang kepada siapa kita layak untuk menaruh harapan. Berikut redaksi dan artinya:
وَ إِلى رَبِّكَ فَارْغَبْ
Artinya: “dan hanya kepada Tuhan-mulah hendaknya kamu berharap.”
Kata farghab terambil dari bentuk raghiba, yang artinya kecenderungan hati yang sangat mendalam kepada sesuatu. Kecenderungan yang mendalam ini bisa bermakna dua hal. Pertama, kecenderungan untuk menyukai dan yang kedua kecenderungan untuk membenci.
Yang menarik adalah apabila kata raghiba diikuti dengan huruf ila maka berarti menyukai. Namun, jika setelahnya diikuti dengan huruf ‘an maka bermakna membenci. Artinya, huruf setelahnya menentukan makna sebuah kata, dan itu dapat bertolak belakang maknanya.
Hal yang lebih menarik adalah penempatan huruf ila sebelum perintah farghab. Menurut Al-Biqa’i, bentuk semacam ini memberi penekanan terhadap perintah berharap. Yakni selayaknya harapan itu hanya tertuju pada Allah saja, tidak selainnya. (Al-Biqa’i, Nazm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa As-Suwar). Memang orang boleh saja menggantungkan harapan kepada orang lain, keinginan dan cinta juga boleh kepada selain Allah. Namun, kecintaan dan harapan yang mendalam dan besar, hanya ditujukan kepada Allah semata.
Melalui rangkaian penjelasan tafsir surah Al-Insyirah ayat 7-8 ini kita dapat mengambil 2 hikmah penting. Pertama, selalu produktif dalam menggunakan waktu dalam hidup. Kedua, setelah itu hanya menggantungkan harap kepada Allah semata. Semoga tulisan ini, dapat membawa kita pada kesadaran atas pentingnya waktu, produktivitas, kebermanfaatan, tidak boleh menganggur dan senantiasa ingat pada tujuan akhir dari segala harapan kita. Dengan begitu, kita tidak akan mengalami kemandekan dan kekecewaan dalam hidup kita. Wallahu’alam bishawab.