BerandaTafsir TematikTafsir Surah al-Jin Ayat 6

Tafsir Surah al-Jin Ayat 6

Melihat fenomena yang terjadi saat ini, banyak manusia yang memilih untuk mengandalkan kekuatan ghaib, bukan kepada Allah sebagai satu-satunya sumber perlindungan. Di antara mereka mempercayai bahwa jin dapat dijadikan sekutu untuk menyelesaikan permasalahan, padahal sejatinya hal tersebut malah menjerumuskan kepada kemusyrikan.

Hal yang demikian bisa terjadi sangat dimungkinkan karena meniru kebiasaan para tetua sebelumnya. Sebagai misal yaitu kebiasaan orang Arab jahiliyah yang masih melakukan praktik tersebut. Tradisi demikian yang menurut sebagian mufasir mengitari penurunan surah al-Jin ayat 6.

وَّاَنَّهٗ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْاِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًاۖ

Sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari (kalangan) manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin sehingga mereka (jin) menjadikan mereka (manusia) bertambah sesat.

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 14-16: Asal Mula Penciptaan Manusia dan Jin

Ibnu Katsir menerangkan bahwa ayat ini menceritakan kebiasaan orang-orang jahiliah setiap menginjak tempat yang seram selalu berlidung kepada “penguasa” tempat tersebut yang dipercayai sebagai jin atau makhluk halus. Mereka meyakini bahwa jin mempunyai kemampuan dan kelebihan atas manusia, yang mana dapat membuat mereka meminta perlindungan. (Lubab  at-Tafsir min Ibnu Katsir 7/208)

Menurut Wahbah al-Zuhaili (19/160) kebiasaan meminta perlindungan kepada jin ini sangat umum di kalangan orang Arab dahulu. Ketika seseorang singgah di suatu lembah ia kemudian akan mengatakan, ‘sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada yang mulia dari penunggu lembah ini’ dengan harapan agar mereka terhindar dari gangguan jin selama bermalam di lembah tersebut.

Praktik tersebut bukan hanya terjadi pada zaman Arab jahiliyah, tetapi kepercayaan berlebihan kepada jin tersebut berlangsung hingga di masa ini, ada orang-orang yang beranggapan bahwa setiap tempat mempunyai penghuni, yang kemudian membuat mereka semakin bersungguh-sungguh untuk berlindung kepada jin. Di beberapa kasus lain misalnya, mereka meminta bantuan jin supaya mengatasai masalah mereka, untuk pengobatan, dan bahkan untuk mencelakai orang lain.

Mutawalli as-Sya’rawi (15/496) menjelaskan bahwa tindakan tersebut (meminta bantuan jin) justru dapat berbalik membahayakan kepada pelakunya, yaitu dosa dan mendatangkan berbagai macam penderitaan. Meskipun pada awalnya, pelaku tersebut mendapatkan hal yang diinginkan, tetapi kesenangan tersebut hanya bersifat sementara. Pada akhirnya, mereka akan mengalami kehidupan yang penuh dengan kesulitan, dan pelaku tersebut tidak akan meninggal dunia hingga dia merasakan sendiri hal yang telah dilakukannya.

Sebagaimana pula Imam ath-Thabari (25/582) ketika menerangkan redaksi ayat “Jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Q.S. al-Jin ayat 6) Maksudnya jin menambah manusia agar terus meminta pertolongan dan perlindungan kepadanya, sehingga jin semakin berani kepada mereka (yang meminta pertolongan), dan manusia semakin bertambah sesat.

Baca Juga: Kewafatan Nabi Sulaiman as. Dan Ketidaktahuan Jin tentang Hal Gaib

Diterangkan lebih lanjut dalam Tafsir al-Munir (19/162) bahwa seseorang yang berlindung kepada jin, dapat memberi kesempatan bagi jin untuk menzalimi dan menambahkan beban berat bagi dirinya, sebab merasa dihormati dan dijadikan tempat berlindung, jin-jin tersebut semakin berani menunjukkan kekuasaan mereka untuk mengontrol manusia. Akibatnya, bukannya mendapatkan perlindungan, manusia justru semakin terjebak dalam ketakutan dan ketergantungan pada jin. Kondisi seperti ini sangat disukai oleh jin.

Inilah yang dijelaskan oleh Alquran tentang bahaya meminta perlindungan kepada jin. Pada ayat pertama pun telah dijelaskan kata ‘Qul’: katakanlah, artinya sampaikanlah kepada umat, bahwa ada di antara manusia yang berlindung diri kepada kalangan jin, maka pada lanjutannya menjelaskan perbutaan menyombongkan diri kalangan jin yang dimintai perlindungan oleh manusia.

Terdapat sebuah riwayat dari Ibnu Abbas bahwa kalangan jin yang muslim, jika berjumpa dengan manusia, mereka akan segan dan lari. Dan jika seseorang itu sedang mendirikan shalat maka mereka akan menjadi makmumnya. Sejatinya jin itu sangatlah segan kepada manusia baik itu kafir atau muslim, maka jika demikian seharusnya sebagai manusia yang jelas sudah dimuliakan oleh Allah dapat dengan bijak menggunakan kemuliaan itu. Artinya seseorang yang berlindung kepada jin sejatinya ia merendahkan dirinya sendiri kepada martabat yang lebih rendah.

Dengan demikian, meminta tolong pada jin dan mengandalkan kekuatan selain dari Allah untuk memenuhi kebutuhan atau untuk mengetahui hal-hal yang ghaib telah jelas dilarang dalam Alquran. Sebab hal tersebut merupakan bentuk kesyirikan dan mendatangkan banyak madharat. Karena itu, meminta bantuan pada jin bagaimana pun keadaannya harus dihindari agar tidak mendapatkan dosa dan bahaya dari tipu daya mereka.

Baca Juga: Sering Merasa Takut? Baca Ayat Ini Untuk Menangkal Gangguan Jin

Bagaimana dengan praktik sesajen?

Jika praktik sesajen dikaitkan dengan larangan meminta pertolongan jin sebagaiamana surah al-Jin ayat 6, maka pastikan kembali bahwa tujuan dari sesajen tersebut adalah memang meminta pertolongan jin, baru hal itu bisa dilarang, dan ini pun harus tetap hati-hati dalam menyikapinya. Hal ini seperti disampaikan oleh Quraish Shihab di salah satu wawancaranya.

Lebih lanjut mufasir Indonesia tersebut juga menambahkan bahwa setiap masyarakat, menurut Alquran, memiliki hal-hal yang dianggap baik. Hal yang dianggap baik oleh masyarakat tertentu tidak boleh diganggu, dimaki, dan lain sebagainya. Beliau lantas mengutip ayat Alquran yang lain, suran al-An’am ayat 108 yang menjelaskan tentang larangan memaki sesembahan umat lain selain Allah. Wallah a’lam

Rasyida Rifaati Husna
Rasyida Rifaati Husna
Khadimul ilmi di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...