BerandaTafsir TahliliTafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 43-47

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 43-47

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 43-47 diawali dengan penegasan bahwa setiap manusia tidak akan bisa menghindari ‘ajal’, sekalipun dia adalah seorang raja/pemimpin yang berkuasa. Sama halnya Fir’aun yang angkuh sebagai penguasa, meski sudah diutus dua orang Rasul, ia sama sekali tidak berubah, dan justru menenatang seruan dari para utusan tersebut – yaitu Nabi Musa dan Nabi Harun –, dan pada akhinya Fir’aun menemui ajalnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 35-42


Ayat 43

Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa tidak ada satu umat pun yang dapat mempercepat ajal atau kehancuran mereka, dan tidak pula dapat menundanya.

Semua itu berlaku sesuai dengan ketentuan Allah Yang Mahakuasa, yang mengatur alam ini dengan segala isinya dengan tertib, teratur dan lancar.

Oleh karena itu, umat-umat yang telah binasa itu tidak dapat mendahului ajalnya yang telah ditentukan dan tidak pula mereka dapat mengundurkannya atau menundanya, sebab setiap umat telah ada ketetapan lebih dahulu di Lauh Mahfuz, berapa lama mereka akan mengalami hidup di dunia.

Ayat 44

Kemudian Allah mengutus kepada umat-umat itu para rasul-Nya secara berturut-turut dalam beberapa masa yang berbeda.

Pada setiap periode ada rasul Allah yang berfungsi menyampaikan risalah-Nya. Demikianlah mereka datang silih berganti sampai kepada nabi penutup yaitu Nabi Muhammad, setiap diutus rasul kepada umatnya, umat itu mendustakannya.

Oleh karena masing-masing umat itu mendustakan rasul-Nya, maka Allah membinasakan mereka berturut-turut dan Allah menjadikan kisah mereka buah tutur manusia yang datang kemudian.

Kisah mereka sering disebut, baik dalam percakapannya sehari-hari maupun dalam pelajaran sejarah umat-umat yang pernah mendustakan nabi-nabi-Nya.

Ayat 45

Allah mengutus Musa dan saudaranya Harun (sebagai pembantu-nya) kepada Fir’aun dan kaumnya dengan membawa sembilan macam mukjizat seperti yang telah tersebut dalam Surah al-A’rāf dan hujjah yang nyata atas kerasulannya.

Ini dilakukan semata-mata agar mereka hanya menyembah kepada Allah dan meninggalkan kemusyrikan kepada-Nya, dan agar mereka jangan menyiksa Bani Israil yang berada di Mesir, dan membolehkan mereka dibawa kembali oleh Musa dan Harun kembali ke negeri asal Nabi Yakub di Palestina.

Musa dan Harun datang kepada Fir’aun dengan seruan yang lemah lembut sebagaimana dalam firman-Nya:

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut. (Thāhā/20: 44)


Baca Juga : Kisah Dialog Harun Ar-Rasyid dengan Seorang Ustadz dan Seni Berdakwah Qurani


Ayat 46

Musa dan Harun datang kepada Fir`aun dan pembesar-pembesar kaumnya disertai dengan alasan dan hujjah yang kuat, namun mereka tidak juga menyadari, bahkan mereka bersikap sombong sebagaimana kebiasaan mereka.

Ayat 47

Mereka berkata, “Apakah kita pantas percaya kepada dua orang manusia seperti kita juga? Apakah patut kita tunduk pada keduanya, padahal mereka itu adalah golongan hamba-hamba dan pembantu-pembantu yang tunduk kepada kita sebagai majikan dan tuannya?”

Mereka menyamakan misi menyampaikan tugas risalah dari Allah yang berdasarkan keikhlasan, kepercayaan dan kejujuran, seperti jabatan keduniaan yang bersumber kepada kepangkatan dan kekayaan. Pandangan mereka itu juga dipegang oleh orang kafir Quraisy, sebagaimana dijelaskan dalam ayat ini:

وَقَالُوْا لَوْلَا نُزِّلَ هٰذَا الْقُرْاٰنُ عَلٰى رَجُلٍ مِّنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ

Dan mereka (juga) berkata, ”Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada orang besar (kaya dan berpengaruh) dari salah satu dua negeri ini (Mekah dan Taif)?” (az-Zukhruf/43: 31)

Mereka mengingkari wahyu dan kenabian Muhammad saw, karena menurut jalan pikiran mereka, orang yang diangkat menjadi rasul itu hendaklah orang yang kaya dan berpengaruh.

Mereka tidak mengetahui bahwa pilihan Allah untuk kerasulan itu tidak didasarkan kepada kekayaan atau kepangkatan, akan tetapi semata-mata kepada karunia Allah, yang sudah ada ketetapannya di alam azali, dan hubungannya dengan keluhuran budi pekerti, kesucian dan kejujuran serta kesayangan kepada umatnya.

Para nabi karena kesucian batin mereka tidak terpengaruh oleh alam kebendaan. Mereka menerima wahyu dengan perantaraan malaikat, dan melayani segala kepentingan umatnya. Mereka tetap berhubungan dengan Tuhan mereka.

Apabila orang-orang kafir merasa aneh dan mempertanyakan mengapa Allah mengutus utusan-Nya dari kalangan manusia sendiri, maka lebih aneh dan ajaib lagi, jika dipertanyakan mengapa mereka menjadikan kayu dan batu, yang dibuat dan diukir oleh tangan mereka sendiri sebagai Tuhan. Sungguh tepat apa yang difirmankan dalam ayat:

فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ

Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.  (al-Hajj/22: 46)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 48-51 (1)


Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU