Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 11-13 melanjutkan dari tafsir sebelumnya yang membahas tentang putusnya hubungan antar suami istri yang berbeda agama. Perempuan yang datang meminta perlindungan kepada Nabi Muhammad diminta untuk memberikan kesaksian yang diantaranya adalah bahwasanya kedatangan mereka tak lain sebab iman yang tertanam di dalam hati.
Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 11-13 ini ditutup dengan penegasan kembali akan bahaya dari hubungan akrab antara umat Islam dan orang kafir yang ingin menghancurkan Islam.
Baca Sebelumnya: Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 10
Ayat 11
Dalam ayat ini diterangkan hukum seorang istri mukminat yang murtad dan lari dari suaminya ke daerah kafir, sedang ia belum mengembalikan mahar yang pernah diterima dari suaminya yang Mukmin itu. Jika si suami menyerang daerah kafir, kemudian dapat menawan bekas istrinya, maka bekas istrinya itu boleh diambilnya kembali dengan mengganti mahar yang telah diterima oleh istri dari suami yang kafir.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari al-Hasan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan peristiwa Ummul Hakam binti Abi Sufyan yang telah murtad dan melarikan diri dari suaminya, kemudian ia menikah dengan seorang laki-laki dari Bani Tsaqif. Ayat ini memerintahkan agar mas kawin yang diterima Ummul Hakam dari suaminya yang kafir itu diganti dan diambilkan dari hasil rampasan perang, dan Ummul Hakam kembali kepada suaminya semula (yang Muslim).
Menurut riwayat Ibnu ‘Abbas, mas kawin itu diambil dan diberikan kepada suami yang kafir sebelum harta rampasan perang dibagi lima sebanyak yang pernah diberikan suami yang kafir kepada perempuan yang lari itu.
Pada akhir ayat ini Allah memerintahkan agar kaum Muslimin bertakwa dan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menghentikan larangan-larangan-Nya, baik yang diterangkan pada ayat di atas, maupun yang disebut pada ayat-ayat yang lain serta yang terdapat di dalam hadis, jika mereka beriman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.
Ayat 12
Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad bahwa perempuan-perempuan yang menyatakan keimanan dan ketaatannya harus berjanji bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak akan mencuri harta orang lain, tidak akan berzina, tidak akan menggugurkan anak dalam kandungannya, dan tidak akan mengerjakan yang dilarang, seperti meratapi orang mati dengan mengoyak-ngoyak pakaian, dan sebagainya.
Bila mereka telah berjanji, maka pernyataan iman mereka harus diterima. Nabi juga diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka akan mendapat ampunan Allah dan pahala dari-Nya jika mereka konsekuen melaksanakan janji mereka itu. Nabi juga diminta untuk berdoa kepada Allah agar dosa-dosa mereka diampuni, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Urwah bin Zubair bahwa ‘Aisyah berkata, “Rasulullah saw menguji perempuan yang hijrah sesuai ayat: ya ayyuhan-nabiyy idza ja‘akal-mu’minat…..innallaha gafurur-rahim. Barang siapa yang telah memenuhi syarat-syarat di atas, berarti perempuan itu telah mengikrarkan pernyataan bahwa dirinya beriman.”
Diriwayatkan pula oleh ‘Urwah bin Zubair dari ‘Aisyah, ia berkata, “Telah datang Fathimah binti ‘Utbah untuk menyatakan keimanannya kepada Rasulullah, maka beliau meminta ia berjanji tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak menggugurkan kandungannya, maka Fathimah merasa malu menyebut janji itu sambil meletakkan tangan di atas kepalanya.”
Maka ‘Aisyah berkata, “Hendaklah engkau akui yang dikatakan Nabi itu. Demi Allah, kami tidak menyatakan keimanan kecuali dengan cara demikian.” Fathimah melaksanakan yang diminta ‘Aisyah itu, lalu Nabi menerima pengakuannya.
Menurut riwayat yang lain bahwa Nabi Muhammad banyak menerima pernyataan beriman dari para perempuan ketika penaklukan Mekah. Di antara yang menyatakan keimanannya itu terdapat Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan, kepala suku Quraisy.
Ayat 13
Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dari Ibnu Ishaq dari ‘Ikrimah dan Abu Sa‘id dari Ibnu ‘Abbas, ia menerangkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar dan Zaid bin Haritsah bersahabat dengan orang-orang Yahudi. Maka turunlah ayat ini yang melarang kaum Muslimin berteman erat dengan orang yang dimurkai Allah.
Dalam ayat ini, Allah menegaskan kembali larangan menjadikan orang-orang Yahudi, Nasrani, dan musyrik Mekah yang berniat jahat terhadap kaum Muslimin sebagai wali atau teman akrab, karena dikhawatirkan orang-orang yang beriman akan menyampaikan rahasia-rahasia penting kepada mereka.
Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang kafir itu telah putus asa untuk memperoleh kebaikan dari Allah di akhirat, karena kedurhakaan mereka kepada Rasulullah saw yang telah diisyaratkan kedatangannya dalam kitab-kitab mereka.
Padahal, persoalan itu sudah dikuatkan pula dengan bukti-bukti yang jelas dan mukjizat yang nyata. Keputusasaan mereka untuk memperoleh rahmat Allah di hari akhirat sama halnya dengan keputusasaan mereka di dalam kubur karena mereka tidak percaya adanya kebangkitan kembali di akhirat.
(Tafsir Kemenag)
Baca Juga: Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan