BerandaTafsir TahliliTafsir Surah al-Munafiqun ayat 7-9

Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 7-9

Dikisahkan dalam Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 7-9 bahwa orang-orang munafik menganjurkan kaum Anshar untuk tidak memberi nafkah kaum Muhajirin yang datang bersama Rasulullah. Pada penutupnya Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 7-9 ini Allah mengingatkan untuk bersikap seimbang antara dunia dan akhirat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 4-6, Sikap Orang Munafik


Ayat 7

Allah menjelaskan bahwa orang-orang munafik itu selalu menganjurkan agar orang-orang Ansar tidak memberi nafkah kepada orang-orang Muhajirin yang datang bersama-sama Muhammad saw dari Mekah dan membiarkan mereka menderita kelaparan, sehingga mereka akan meninggalkan Nabi saw.

Anjuran dan anggapan orang-orang munafik itu keliru. Mereka tidak mengetahui bahwa semua yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah. Di tangan-Nya-lah kunci perbendaharaan rezeki manusia. Tidak seorang pun yang dapat memberikan sesuatu kepada yang lain kecuali dengan kehendak-Nya.

Mereka tidak mau memahami sunatullah yang berlaku bagi makhluk-makhluk-Nya. Allah telah menjamin rezeki hamba-hamba-Nya di mana pun mereka berada. Setiap mereka bekerja dan berusaha, mereka akan memperoleh rezekinya.

Ayat 8

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa ‘Abdullah bin Ubay dan pengikut-pengikutnya merencanakan apabila kembali ke Medinah dari peperangan Bani Mushthaliq, mereka akan mengusir orang-orang mukmin dari Medinah.

Mereka merasa dan menganggap bahwa merekalah yang kuat, perkasa, dan mulia, sedangkan orang-orang mukmin itu lemah dan hina. Mereka tidak menyadari bahwa kekuatan, keperkasaan, dan kemuliaan berada di tangan Allah dan rasul-Nya, serta orang-orang mukmin yang telah dimuliakan-Nya.

Diriwayatkan bahwa ‘Abdullah putra ‘Abdullah bin Ubay adalah orang yang benar-benar beriman. Ia pernah mencabut pedang mengancam ayahnya, ‘Abdullah bin Ubay, ketika mereka sudah dekat di Medinah dan berkata, “Demi Allah, saya tidak akan memasukkan pedangku ini ke dalam sarungnya, sehingga engkau mengucapkan, ‘Bahwa Muhammad itulah yang mulia dan sayalah yang hina’.” ‘Abdullah putra ‘Abdullah bin Ubay tetap pada sikapnya, sehingga ayahnya mengucapkan pengakuan tersebut yaitu Muhammadlah yang mulia dan dia yang hina.

Orang-orang munafik tidak mengetahui bahwa sesungguhnya kemuliaan itu ada pada Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin. Kemenangan terakhir ada pada orang-orang yang bertakwa dan Allah akan memberi pertolongan kepada orang-orang yang menegakkan agama-Nya, sebagaimana diterangkan dalam ayat lain:

كَتَبَ اللّٰهُ لَاَغْلِبَنَّ اَنَا۠ وَرُسُلِيْۗ اِنَّ اللّٰهَ قَوِيٌّ عَزِيْزٌ   ٢١

Allah telah menetapkan, “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa. (al-Mujadalah/58: 21).

Ayat 9

Allah mengingatkan bahwa kesibukan mengurus harta benda dan memperhatikan persoalan anak-anak jangan membuat manusia lalai dari kewajibannya kepada Allah atau bahkan tidak menunaikannya. Hendaknya perhatian mereka terhadap dunia dan akhirat seimbang, sebagaimana tertuang dalam sebuah riwayat:

فَاعْمَلْ عَمَلَ امْرِئٍ يَظُنُّ أَنْ لاَ يَمُوْتَ أَبَدًا وَاحْذَرْحَذْراً يَخْشَى أَنْ يَمُوْتَ غَدًا. (رواه البيهقى عن عبد الله بن عمرو بن العاص)

Beramallah (amalan duniawi) seperti amalan seseorang yang mengira bahwa ia tidak akan meninggal selama-lamanya. Namun, waspadalah seperti kewaspadaan seseorang yang akan meninggal besok. (Riwayat al-Baihaqi dari Abdullah bin Ibnu Amru bin al-Āsh).

Dalam hadis lain, Nabi bersabda:

لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِاۤخِرَتِهِ وَلاَ اۤخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتَّى يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَإِنَّ الدُّنْيَا بَلاَغٌ اِلَى اْلاۤخِرَةِ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَلاًّ عَلَى النَّاسِ. (رواه ابن عساكر عن انس بن مالك)

Bukanlah orang yang terbaik di antara kamu seseorang yang meninggalkan (kepentingan) dunianya karena akhirat, dan sebaliknya meninggalkan (kepentingan) akhiratnya karena urusan dunianya, sehingga ia mendapatkan (bagian) keduanya sekaligus, ini dikarenakan kehidupan dunia merupakan wasilah yang menyampaikan ke kehidupan akhirat dan janganlah kamu menjadi beban terhadap orang lain. (Riwayat Ibnu ‘Asakir dari Anas bin Malik).

Di sinilah letak keistimewaan dan keunggulan agama yang dibawa oleh junjungan kita Nabi Muhammad saw yaitu agama Islam. Agama yang tidak menghendaki umatnya bersifat materialistis, yang semua pikiran dan usahanya hanya ditujukan untuk mengumpulkan kekayaan dan kenikmatan dunia, seperti halnya orang-orang Yahudi.

Islam juga agama yang tidak membenarkan umatnya hanya mementingkan akhirat saja, tenggelam dalam kerohanian, menjauhkan diri dari kelezatan hidup, membujang terus dan tidak kawin, sebagaimana halnya orang-orang Nasrani. Allah berfirman:

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْا

Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. (al-A’raf/7: 31).

Firman Allah:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللّٰهِ الَّتِيْٓ اَخْرَجَ لِعِبَادِهٖ وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزْقِ

 Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? (al-A‘raf/7: 32).

Allah menegaskan pada akhir ayat 9 ini bahwa orang-orang yang sangat mementingkan urusan dunia dan meninggalkan kebahagiaan akhirat, berarti telah mengundang murka Allah. Mereka akan merugi karena menukar sesuatu yang kekal abadi dengan sesuatu yang fana dan hilang lenyap.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 10-11, Anjuran Untuk Berbagi Rezeki


Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...