Pluralitas atau keragaman yang kerap kali digaungkan adalah mengenai keragaman suku, bahasa, adat istiadat, dan agama. Pluralitas yang lebih luas dan mendasar, yakni pluralitas antarsesama makhluk seringkali luput dari perhatian kita.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah berdampingan dengan makhluk lain semisal binatang dan tumbuhan, yang jumlahnya tak kalah banyak jika dibandingkan dengan jumlah manusia. Selain binatang dan tumbuhan, dalam kepercayaan agama juga dikenal bangsa jin, sebagai makhluk tak kasat mata yang juga hidup berdampingan dengan manusia, meski keberadaan mereka tidak dapat dirasakan secara langsung.
Tulisan ini akan menguak sedikit kandungan Alquran mengenai pluralitas antarmakhluk, khususnya antara manusia dan binatang dan bagaimana seharusnya kita memperlakukan mereka. Allah Swt. berfirman dalam salah satu firman-Nya:
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ ۗمَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ
Tidak ada seekor hewan pun (yang berada) di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab. Kemudian kepada Tuhannya, mereka dikumpulkan (Q.S. Alan‘am [6]: 38).
Salah satu hal yang menjadi sorotan para mufassir adalah pada pernyataan bahwa seluruh binatang yang ada di muka bumi merupakan umat yang sama layaknya manusia. Lalu, apa makna dari “umat” itu sendiri?
Pada ayat di atas, kata umat diistilahkan dengan اُمَمٌ (umam) yang adalah bentuk jamak dari أُمَّة (ummah). Kata ini memiliki kandungan makna yang beragam.
Pakar bahasa, Ibnu Manzur menguraikan beberapa di antaranya, yakni; (1) satu generasi manusia, (2) pengikut suatu Nabi, dan (3) suatu kelompok masyarakat yang dinisbahkan kepada seorang Nabi. Pendapat lain menambahkan makna kata أُمَّة (ummah) adalah semua jenis makhluk hidup, termasuk hewan dan makhluk hidup lain selain manusia (Lisān al-Arāb/6/547).
Dari beragamnya makna yang terkandung di dalam kata umat, al-Raghib al-Asfahani menyimpulkan bahwa umat merupakan suatu perkumpulan yang dipersatukan oleh suatu hal, baik agama, waktu, atau tempat yang sama, walaupun dalam proses pemersatuannya dilakukan secara terpaksa atau atas kehendak mereka sendiri (Mufradat Alfaz al-Qur’an/21).
Di antara titik temu yang mempertemukan persamaan antara manusia dengan binatang sebagai sesama umat adalah mereka sama-sama hidup, tumbuh dari kecil hingga besar, dapat mengetahui dan merasakan, serta memiliki naluri (Tafsir Al-Mishbah/3/413).
Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam uraian tafsir ayat ini mengatakan bahwa hewan memiliki kedudukan yang sama dengan manusia sebagai sesama makhluk Allah Swt. dalam hal penciptaan dan jaminan rezekinya. Atas dasar persamaan tersebut, manusia dilarang berbuat zalim dan memperlakukan hewan melampaui batas dari apa yang telah diperintahkan syari’at seperti menyakiti, memukul tanpa sebab yang dibenarkan, dan menyiksanya.
Hidup berdampingan antara manusia dengan hewan juga menjadi tuntutan tersendiri bagi kita semua untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan hewan, meliputi anatomi tubuh, kebiasaan, dan hal lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia (Tafsir al-Munir/4/204).
Prof. Quraish Shihab mengungkap salah satu pesan tersirat dari pernyataan Alquran bahwa binatang-binatang itu adalah umat seperti manusia juga, adalah tuntutan perlakuan yang wajar terhadap binatang tersebut. Di antaranya telah diperintahkan Rasulullah saw. seperti proses penyembelihan hewan kurban dengan pisau tajam yang telah diasah sebelumnya (Tafsir Al-Mishbah/3/413).
Baca juga: Ngaji Gus Baha’: Bisakah Manusia Berdialog dengan Hewan dan Tanah?
Memang ada beberapa hewan yang keberadaannya dapat dimanfaatkan seperti hewan unggas, kambing, unta, dan sapi. Beberapa lagi, keberadaannya memang tidak dirasakan secara langsung, namun berperan penting dalam menjaga keseimbangan dan keberlangsungan kehidupan umat manusia di alam semesta ini. Sebut saja keong.
Binatang mungil ini memiliki peranan penting dalam menjaga ekosistem tanah. Dedaunan yang dimakannya akan menyumbangkan bahan organik hasil pencernaannya ke permukaan tanah yang dapat dimanfaatkan oleh organisme lain seperti cacing dan mikroorganisme lain. Selain itu, tubuhnya yang mengandung air dan mikroorganisme juga membantu penyebaran mikroorganisme di sepanjang lintasan tempatnya berjalan.
Sebagaimana kita sebagai manusia yang dituntut untuk saling menghormati kepada sesama supaya terwujud kehidupan yang nyaman dan aman, sudah seyogiyanya kita menerapkan prinsip yang sama terhadap makhluk lain sebagai sesama ciptaan Allah Swt.
Tidak perlu menunggu dalil agama untuk bersikap baik terhadap hewan, sejatinya naluri alamiah manusia sebagai makhluk hidup pun akan mendorongnya untuk melakukan hal demikian. Namun, setidaknya dengan ulasan penafsiran para ulama di atas bisa menjadi bukti bahwa agama pun tidak pernah membenarkan menyakiti makhluk Allah Swt. lainnya, dan klaim Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin tidak hanya sekadar isapan jempol belaka.
Islam yang rahmatan lil ‘alamin berarti Islam adalah rahmat bagi seluruh alam semesta; manusia, binatang, tumbuhan, serta yang lainnya.
Baca juga: Tafsir Surah An-Nahl ayat 66: Keajaiban Penciptaan Susu pada Hewan Ternak