Keterkaitan tafsir surah Ali Imran ayat 7 dengan salah satu kisah dalam Kisah Seribu Satu Malam, yaitu Ali Baba dan Qasim bisa kita dapati ketika membincang tentang motif dan tujuan seseorang dalam menafsirkan Al-Quran. Memang benar bahwa tidak ada kutipan ayat Al-Quran sama sekali dalam kisah Ali Baba dan Qasim, terleih lagi penafsirannya, namun ketika kisah ini dijadikan sebagai analogi dalam menyinggung motif dan tujuan seseorang dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, maka hubungan keduanya akan sangat dekat sekali, sebagaimana pernah disinggung oleh Nadirsyah Hosen dalam tulisannya di buku #HIDUPKADANGBEGITU.
Baca Juga: Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 7 – 10
Surah Ali Imran ayat 7: di antara motif dan tujuan seseorang menafsirkan Al-Quran
Berikut bunyi surah Ali Imran ayat 7 dan terjemahannya,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.”
Di kalangan para pengkaji Al-Quran, sebut saja As-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Quran hal. 425 menjadikan ayat ini sebagai legitimasi klasifikasi model ayat Al-Quran. Berdasar pada bagian awal ayat ini, disimpukan bahwa ayat Al-Quran itu terbagi menjadi dua model, ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Sederhananya, dua model ini didefinisikan dengan ayat-ayat yang mudah dipahami dari redaksinya (pengertian untuk ayat-ayat muhkam) dan ayat-ayat yang sulit dipahami dengan hanya melihat redaksinya saja (pengertian untuk ayat-ayat mutasyabih).
Meski demikian, untuk pengertian dari dua model ayat Al-Quran di atas, para pengkaji Al-Quran berbdeda-beda dalam memberikan indikator muhkam dan mutasyabih-nya, tidak hanya melihat dari akses mudah dan sulit-nya memahami ayat Al-Quran.
Satu lagi informasi dari ayat 7 surah Ali Imran ini yaitu tentang motif dan tujuan seseorang mengkaji Al-Quran. Informasi ini tepatnya pada bagian tengah ayat, fa amma alladzin fi qulubihim zaighun……………….hingga kata ta’wilih. At-Thabari dalam tafsirnya menukil beberapa riwayat tentang makna zaighun yang semuanya memaknai zaighun dengan kecondongan yang jauh dari kebenaran (al-mailu ‘an al-haq). Ibnu Athiyah yang juga mufasir klasik tidak berbeda dalam mengartikan kata zaighun, hanya saja ia lebih memperjelas maksud dari alladzina zaighun dalam ayat ini, yaitu setiap kelompok yang kafir, zindiq, jahil dan shohib bid’ah.
Selain mencari tahu siapa yang berstatus alladzina zaighu, hal penting berikutnya adalah kelakuan dari kelompok tersebut, yaitu fayattabi’una ma tasyabaha…….. hingga kata ta’wilih (mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya). Informasi dari bagian tengah surah Ali Imran ayat 7 ini disederhanakan oleh pak Sahiron Syamsuddin dalam salah satu seminar. Dia menjelaskan bahwa frasa pertengahan ayat tersebut menunjukkan bahwa ada masa ketika itu seseorang menafsirkan Al-Quran karena kepentingan tertentu yang tujuannya mencari dan menciptakan kekacauan, ia mengutip dan menggunakan ayat Al-Quran sebagai dalil untuk menguatkan dan mengikuti kemauannya.
Nah, seberapa besar motif dan tujuan seseorang dalam menafsirkan Al-Quran itu berpengaruh terhadap hasil dan kualitas penafsirannya? Jawabannya dapat kita temukan dalam analogi kisah Ali Baba dan Qasim yang diceritakan ulang dan diberi sudut pandang yang berbeda oleh Gus Nadir.
Baca Juga: Kepada Semua yang Ingin Mempelajari Al Quran….
Kata sakti yang sama tapi nasibnya berbeda
Ali Baba dan Qasim itu bersaudara. Singkat cerita, hidup Ali Baba yang dulunya miskin dan merana itu mendadak berubah menjadi orang yang berkecukupan, saudaranya, Qasim yang dari awal sudah bisa dibilang kaya, iri melihat perubahan nasib adiknya. Sang kakak lantas bertanya kepada adiknya, tentang penyebab perubahannya tersebut. Karena rasa sayang Ali Baba pada kakakanya, ia pun memberi tahu kronologinya.
Ali Baba bercerita bahwa ia pernah melihat sekelompok penyamun yang menuju pintu batu dengan mengucapkan kata sakti untuk membuka pintu dan memasukinya, juga keluar dengan mengucapkan kata sakti yang sama untuk menutup lagi pintu batu tersebut. Selepas penyamun pergi, Ali Baba pun menirukan apa yang dilakukan oleh penyamun. Pintu batu berhasil terbuka, Ali Baba pun kaget karena melihat banyak emas dan banyak barang-barang berharga lainnya dalam tempat tersebut. Lantas Ali Baba mengambil secukupnya dan keluar. Hal ini lah yang membuatnya menjadi kaya.
Mendengar cerita tersebut, Qasim langsung bergegas menuju tempat yang dimaksud dan mengucapkan kata sakti yang telah diajarkan Ali Baba. Pintu pun terbuka, Qasim langsung silau dan terperangah dengan emas dan barang-barang mewah lainnya. Dengan sangat bersemangat dan penuh ketamakan ia mengambil sebanyak-banyaknya kepingan emas dan barang-barang lainnya, sampai ia sadar bahwa peluh telah membasahi sekujur tubuhnya karena nafsunya ia mengumpulkan kepingan emas. Dan ketika hendak keluar, tenggorokannya merasa tercekat, dia lupa dengan kata sakti ‘password’ untuk membuka pintu batu itu.
Di saat yang sama, para penyamun sudah berdiri di luar pintu untuk masuk dengan kata saktinya. Setelah pintu terbuka, betapa terkejutnya ketika mereka mendapati Qasim ada di dalam ‘gudang harta’ mereka. Dan bisa ditebak apa yang terjadi pada Qasim.
Baca Juga: Adab Lahiriah dan Adab Batiniah dalam Membaca Al-Qur’an
Nasib Qasim berbeda dengan Ali Baba. Padahal cara yang mereka tempuh sama, bekal ‘kata sakti’ pun langsung diajarkan oleh Ali Baba. Oleh karena itu, Gus Nadir memberi catatan pada kisah ini
‘Boleh jadi, pengetahuan yang kita miliki sama. Boleh jadi, kita sama-sama mengetahui rahasia Ilahi. Boleh jadi, di antara kita juga sama-sama hafal kata sakti atau ayat Ilahi. Namun kesucian hatilah yang membedakan kita’ (Gus Nadir & Kang Maman, #HIDUPKADANGBEGITU, hal. 55).
Sama dengan aktifitas penafsiran, boleh jadi, perangkat keilmuan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sama, tapi substansi hasil penafsirannya berbeda, motif dan tujuan yang terselip di hati yang paling dalam lah yang membedakannya. Oleh karena demikian, tidak heran jika ada satu ayat yang ditafsirkan membawa kemaslahatan dan, kedamaian, di saat yang sama, oleh orang yang berbeda, ditafsirkan membawa kekerasan dan kekacauan.
Wallahu a’lam