BerandaTafsir TematikTafsir Surah Ali Imran Ayat 97: 'Istito’ah' Sebagai Syarat Wajib Haji

Tafsir Surah Ali Imran Ayat 97: ‘Istito’ah’ Sebagai Syarat Wajib Haji

Tidak lama lagi, umat Islam di seluruh dunia akan berkumpul di Haramain (Makkah dan Madinah) guna melaksanakan rukun Islam yang kelima, yakni ibadah haji. Tidak seperti ibadah lain, pelaksanaan ibadah haji dengan segala rangkaiannya memerlukan stamina ekstra, baik dari aspek fisik (badaniah), finansial (maliah) maupun mental. Untuk melaksanakannya pun ada beberapa syarat wajib haji yang harus dipenuhi terlebih dahulu.

Jika ditelusuri dari aspek historisnya, ibadah haji juga merupakan bagian dari syariat umat-umat terdahulu, akan tetapi, rangkaian ibadah haji sesuai dengan yang kita kenal sekarang merupakan syariat khusus umat Nabi Muhammad saw. yang disyariatkan pada tahun ke-9 Hijriah [Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 5, hlm. 2056]. Landasan kewajiban haji tersebut tercantum dalam surah Ali Imran ayat 97,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Q.S. Ali Imran [03]: 97.

Baca Juga: Kewajiban Berhaji itu Hanya Sekali Seumur Hidup

Dengan kapasitasnya sebagai seorang ahli fikih, Imam al-Baghawi menjelaskan panjang lebar terkait ketentuan ibadah haji tatkala menafsiri ayat di atas. Beliau menjelaskan bahwa syarat wajib haji adalah Islam, baligh, berakal, merdeka dan istito’ah. [Tafsir al-Baghawi, juz 2, hlm. 72]

Berdasarkan ayat di atas, ulama sepakat bahwa kewajiban haji tidak berlaku bagi semua orang. Ia hanya dibebankan kepada orang-orang yang telah memenuhi syarat wajib haji sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Termasuk syarat yang bisa dikatakan khusus dan berbeda dengan ibadah lainnya adalah ‘mampu’. Kemampuan tersebut dalam terminologi fikih disebut sebagai istito’ah.

Istito’ah dimaknai oleh ulama sebagai ‘kemampuan untuk sampai ke Tanah Suci’. [al-Fiqh al-Islami, juz 3, hlm. 2082]. Namun, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait batasan atau kriteria istito’ah bagi seseorang.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang menjadi kriteria dalam istito’ah adalah mampu dari aspek finansial. Artinya, seseorang dibebankan kewajiban melaksanakan ibadah haji manakala dia sudah memiliki cukup biaya untuk melakukan perjalanan haji. Hai ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

عن جابر بن عبد الله قال: «لما نزلت هذه الآية وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا قام رجل فقال: يا رسول الله ما السبيل؟ قال: الزاد والراحلة (رواه الدارقطني)

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Saw bersabda “tatkala turunnya ayat ini وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا , ada seseorang berdiri seraya bertanya “wahai Rasulullah apakah yang dimaksud dengan jalan itu? Rasulullah menjawab ialah bekal dan kendaraan.”(HR. Imam ad Daruqutni)

Selain itu, istito’ah dalam Mazhab Syafi’i terbagi menjadi dua bagian, yakni istito’ah bi al-nafsi dan istito’ah bi al-ghairi. Istito’ah bi al-nafsi artinya orang tersebut mampu melaksanakan ibadah haji secara langsung oleh dirinya sendiri, baik secara fisik maupun finansial.

Sedangkan istito’ah bi al-ghairi adalah kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji hanya dari segi finansial saja. Artinya, secara fisik dia tidak mampu melakukan perjalanan ke Tanah Suci lantaran sakit atau faktor lain, namun secara finansial dia memiliki harta yang cukup untuk membiayai seluruh biaya pelaksanaan ibadah haji. Untuk kasus seperti ini, dalam Mazhab Syafi’i, orang tersebut tetap dikenai kewajiban melaksanakan ibadah haji dengan cara menyewa jasa badal haji. [Tafsir al-Imam al-Syafi’i, juz 1, hlm. 482]

Di sinilah letak distingsi antara Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi. Meskipun keduanya sama-sama menafsiri istito’ah dalam ayat tersebut sebagai bekal dan kendaraan, tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sehat secara fisik juga menjadi syarat untuk dianggap istito’ah, sehingga orang yang secara fisik tidak mampu melakukan perjalanan ke Tanah Suci karena cacat atau sakit misalnya, tidak dikenai kewajiban melaksanakan ibadah haji. [Badai’i al-Shanai’, juz 2, hlm. 121]

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Pro Kontra Dasar Kewajiban Haji

Sejatinya masih banyak pendapat ulama terkait kriteria dan problem seputar istito’ah. Namun, terlepas dari perdebatan tersebut, secara umum bisa diambil bnang merah bahwa syarat seseorang dianggap istito’ah adalah (1) memiliki bekal dan kendaraan (2) sehat secara fisik (3) jalur yang dilalui aman (4) masih sempat melakukan perjalanan dan (5) didampingi mahram untuk perempuan. [al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz 17, hlm. 28].

Seiring dengan perkembangan zaman, perlu ada kajian ulang terkait kriteria istito’ah terutama dengan adanya fenomena waiting list. Tidak semua orang yang mampu secara fisik dan finansial berkesempatan untuk melakukan ibadah haji, mereka masih menunggu antrian yang relatif lama, sehingga fenomena waiting list ini bisa dimasukkan untuk menjadi pertimbangan dalam menentukan kriteria istito’ah.

Akhir kata, ada banyak pandangan ulama seputar kriteria istito’ah, akan tetapi secara umum, dapat disimpulkan bahwa istito’ah adalah mampu secara fisik dan finansial untuk pergi ke Tanah Suci melaksanakan ibadah haji, sehingga dapat dikatakan bahwa orang yang dibebankan melaksanakan ibadah haji adalah mereka yang mampu secara fisik dan finansial, serta tidak terikat dengan waiting list untuk konteks jamaah Indonesia. Wallahu a’lam.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU