Tafsir Surah An-Nahl Ayat 91-93 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai perintah Allah agar menepati sebuah janji yang sudah terikat. Kedua berbicara mengenai perumpamaan orang-orang yang telah mengingkari sebuah janji. Ketiga mengenai kuasa Allah untuk mempersatukan manusia dalam satu agama. Namun Allah punya kehendak lain.
Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 90 (3)
Ayat 91
Dalam ayat ini, Allah swt memerintahkan kaum Muslimin untuk menepati janji mereka dengan Allah jika mereka sudah mengikat janji itu. Menurut Ibnu Jarir, ayat-ayat ini diturunkan dengan bai’at (janji setia) kepada Nabi Muhammad saw yang dilakukan oleh orang-orang yang baru masuk Islam.
Mereka diperintahkan untuk menepati janji setia yang telah mereka teguhkan dengan sumpah, dan mencegah mereka membatalkannya. Jumlah kaum Muslimin yang sedikit janganlah mendorong mereka untuk membatalkan bai’at itu setelah melihat jumlah kaum musyrikin yang besar.
Menurut ayat ini, semua ikatan perjanjian yang dibuat dengan kehendak sendiri, wajib dipenuhi baik perjanjian itu sesama kaum Muslimin ataupun terhadap orang di luar Islam. Allah swt melarang kaum Muslimin melanggar sumpah yang diucapkan dengan mempergunakan nama Allah, karena dalam sumpah seperti itu, Allah telah ditempatkan sebagai saksi.
Allah akan memberi pahala bagi mereka yang memenuhi apa yang diucapkannya dengan sumpah atau membalas dengan azab bagi mereka yang mengkhianati sumpah itu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala amal perbuatan manusia. Dialah yang mengetahui segala perjanjian yang mereka kuatkan dengan sumpah, dan mengetahui pula bagaimana mereka memenuhi janji dan sumpah itu.
Ayat 92
Dalam ayat ini, Allah mengumpamakan orang yang melanggar perjanjian dan sumpah itu sebagai seorang wanita yang mengurai benang yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. Demikian itu adalah gambaran tingkah laku orang gila dan orang bodoh.
Pelanggaran terhadap baiat perjanjian atau sumpah berarti menjadikan sumpah sebagai alat penipuan sesama manusia.
Sebab jika satu golongan atau seseorang membuat perjanjian dengan golongan lain yang lebih besar dan kuat daripadanya untuk menenteramkan hati mereka, kemudian jika ada kesempatan, dia mengkhianati perjanjian itu, maka tingkah laku seperti demikian itu dipandang sebagai suatu penipuan.
Allah swt melarang tingkah laku demikian karena termasuk perbuatan bodoh dan gila, walaupun dia dari golongan yang kecil berhadapan dengan golongan yang besar. Lebih terlarang lagi jika golongan besar membatalkan perjanjian terhadap golongan yang lebih kecil.
Diriwayatkan bahwa Mu’awiyah, khalifah pertama Dinasti Bani Umaiyyah, pernah mengadakan perjanjian damai dengan Kaisar Romawi dalam jangka tertentu.
Menjelang akhir perjanjian damai tersebut, Mu’awiyah membawa pasukannya ke perbatasan dengan rencana bila saat perjanjian itu berakhir dia langsung akan menyerang. Lalu seorang sahabat bernama Amr bin Anbasah berkata kepadanya, “Allahu Akbar, wahai Mu’awiyah, tepatilah janji, jangan khianat, aku pernah mendengar Rasul saw bersabda:
مَنْ كَانَ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ قَوْمٍ أَجَلٌ فَلاَ يَحُلَّنَّ عُقْدَةً حَتَّى يَنْقَضِيَ أَمَدُهَا.
(رواه أحمد)
Barang siapa ada perjanjian waktu antara dia dengan golongan lain, maka sekali-kali janganlah dia membatalkan perjanjian itu sampai habis waktunya. (Riwayat Imam Ahmad)
Setelah Mu’awiyah mendengarkan peringatan temannya itu, dia pun pulang membawa kembali pasukannya.
Demikianlah Islam menetapkan ketentuan-ketentuan dalam tata pergaulan antara manusia untuk menguji di antara mereka siapakah yang paling kuat berpegang kepada perjanjian yang mereka adakan sendiri, baik perjanjian itu kepada Allah dan rasul-Nya seperti bai’at, ataupun kepada sesama manusia.
Pada hari kiamat kelak akan kelihatan: mana yang hak dan mana yang batil serta mana yang jujur dan mana yang khianat. Segala perselisihan akan dijelaskan, masing-masing akan mendapat ganjaran dari Allah swt.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Kahfi Ayat 7-8: Hiasi Dirimu Dengan Amal Saleh, Bukan Perhiasan Dunia
Ayat 93
Kemudian Allah swt dalam ayat ini mengemukakan bahwa sekiranya Dia berkehendak, tentu Dia mampu mempersatukan manusia ke dalam satu agama sesuai dengan tabiat manusia itu, dan meniadakan kemampuan ikhtiar dan pertimbangan terhadap apa yang dikerjakan.
Dengan demikian, manusia hidup seperti halnya semut atau lebah, atau hidup seperti malaikat yang diciptakan bagaikan robot yang penuh ketaatan kepada Allah, sedikit pun tidak akan menyimpang dari ketentuan yang benar, atau tersesat ke jalan yang salah.
Akan tetapi, Allah swt tidak berkehendak demikian dalam menciptakan manusia. Allah menciptakan manusia dengan menganugerah-kan kemampuan berikhtiar dan berusaha dengan penuh pertimbangan.
Daya pertimbangan itu sejak azali diberikan kepada manusia. Pahala dan siksa berkaitan erat dengan pilihan dan pertimbangan manusia itu. Masing-masing diminta pertanggungjawaban terhadap segala perbuatan yang dihasilkan oleh pertimbangan dan pilihan mereka itu. Sebagaimana firman Allah:
وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ ٣٩ وَاَنَّ سَعْيَهٗ سَوْفَ يُرٰىۖ ٤٠
Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (an-Najm/53: 39-40)
Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 94-96
(Tafsir Kemenag)