Salah satu bentuk jihad yang sangat dianjurkan oleh Islam adalah jihad sosial. Jihad sosial bermakna jihad yang menitikberatkan pada kemajuan dan pemberdayaan masyarakat, memberikan edukasi, bantuan dan segala hal lainnya demi kemaslahatan bersama. Jihad seperti inilah menemukan momentumnya di era pandemi Covid-19.
Di masa awal Islam, jihad inilah yang paling utama. Jihad dengan harta dan jiwa adalah dua hal yang dilakukan oleh Nabi saw dan para sahabatnya untuk mensyiarkan ajaran Islam. Realitas masyarakat kala itu yang serba kekurangan menjadi perhatian sendiri bagi Nabi saw dan para sahabat.
Baca juga: Tafsir Surat Al-Furqan Ayat 52: Jihad itu Memerangi Hawa Nafsu
Karenanya, dalam konteks ini Allah swt memerintahkan jihad sosial sebagaimana dilukiskan dalam Q.S. al-Taubah [9]: 88,
لٰكِنِ الرَّسُوْلُ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ جَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْخَيْرٰتُ ۖوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, (mereka) berjihad dengan harta dan jiwa. Mereka itu memperoleh kebaikan. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. al-Taubah [9]: 88)
Tafsir Surah at-Taubah ayat 88
Muhammad Thantawi dalam Tafsir al-Wasith menjelaskan bahwa ayat di atas mengandung faedah istidrak yang berarti menyusul perkataan. Artinya, ayat di atas menyambungkan dari ayat sebelummya (ayat 87) yang merespons sekelompok orang kaya dan berpengaruh lagi munafik yang enggan berjihad dan lebih memilih berdiam diri di rumah, bersantai ria dibanding memilih berperang. Maka, ayat ini turun sebagai bentuk istidrak atas mereka.
Thantawy menuturkan:
أى: إذا كان حال المنافقين كما وصفنا من جبن وتخاذل وهوان … فإن حال المؤمنين ليس كذلك، فإنهم قد وقفوا إلى جانب رسولهم صلى الله عليه وسلم فجاهدوا معه بأموالهم وأنفسهم من أجل إعلاء كلمة الله، وأطاعوه في السر والعلن، وآثروا ما عند الله على كل شيء في هذه الحياة
“Jika keadaan orang munafik seperti yang telah kami sampaikan, pengecut, pengkhianat, dan hina, maka sebaliknya orang-orang mukmin tidak seperti itu. Mereka (orang mukmin) berdiri di sisi Allah swt dan Rasul-Nya, mereka berjihad dengan hartanya, dirinya demi meng-alifkan kalimat Allah swt. Mereka taat dalam keadaan sembunyi-sembunyi maupun khalayak ramai, dan lebih menyukai dan mengutamakan sesuatu di sisi Allah swt dalam segala aspek kehidupan ini”.
Lebih dari itu, redaksi ula-ika humul khairat, Thantawy menafsirkannya dengan mereka kaum mukmin dan ornag jujur termasuk golongan yang meraih kebaikan. Mereka mulia, beruntung baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat (sa’adah al-darain).
Mufasir klasik kenamaan Ibnu Jarir al-Thabary, lebih jauh menjabarkan ayat ini dengan menukil perkataan Abu Ja’far, “mereka kaum munafik yang enggan berjihad terkategori dalam perilaku kaum musyrikin. Kendati demikian Rasul saw beserta orang-orang yang benar senantiasa (shiddiqun) bersama-Nya”
Baca juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran
Merekalah yang memerangi kaum musyrikin dengan harta dan jiwanya, mereka menginfakkan, mewakafkan, mendarmabatikan demi berjihad karena Allah swt. Harta dan jiwa mereka (orang-orang yang beriman dan shiddiq) hanya untuk Allah swt. Baginya adalah bidadari surga, kenikamatan abadi, dan surga yang tinggi.
Tidak jauh berbeda, Ibnu Katsir dalam tafsirnya lebih menafsiri ayat di atas dengan makna jihad tidak terbatas pada harta dan jiwa, melainkan segala keadaan dan materi yang dimilikinya baik finansial fisik maupun non fisik. Ganjaran mereka di sisi Tuhannya tidak lain adalah surga firdaus dan derajat yang tinggi (fi jannat al-firdaus wa al-darajat al-‘ula).
Penafsiran yang lain juga disampaikan oleh Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, ia menafsirkan ayat di atas dengan metode tafsir al-quran bi al-quran. Misalnya redaksi bi amwalihim wa anfusihim dikontraskan dengan fenomena kaum munafik yang meminta izin untuk tidak berjihad pada ayat 86, ista’dzanaka ulu thauli minhum. Redaksi berikutnya, wa ula-ika humul khairat wa ula-ika humul muflihun dikontraskan dengan makna ayat 87, “hati mereka telah tertutup sehingga mereka tidak memahami kebahagiaan beriman dan berjihad”.
Baca juga: Inilah Perilaku Toleran Yang Harus Muslim Tunjukkan Menurut Al-Qur’an
Ibnu Asyur juga menyitirnya dalam Q.S. al-Taubah: 41 terkait jihad bil amwal (jihad dengan harta), infiru khifafan wa tsiqalan wa jahidu bi-amwalihim wa anfusihim (Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Alla. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui).
Adapun al-Syaukani dalam Fathul Qadir-nya menjelaskan bahwa mereka yang tergolong sebagai khairat (memperoleh kebaikan) ialah mereka yang senantiasa dalam naungan kebaikan sekaligus sebagai bentuk kemanfaatan hidup di dunia dan agama sebagaimana dalam fiman-Nya yang lain Q.S. Ar-Rahman ayat 70, “fihinna khairatun hisan”.
Selanjutnya penafsiran sufistik datang dari Abdul Qadir al-Jilani dalam tafsir-nya, ia mengemukakan makna ma’ahu adalah mereka yang senantiasa tunduk patuh kepada Allah dan mengikatkan dirinya pada hukum Allah dan taat kepada-Nya.
Lalu redaksi, jahadu biamwalihim wa anfusihim, oleh al-Jilani ditafsiri dengan di jalan Allah yang penuh keridhaan-Nya. Jalan itu, kata al-Jilani, terbentang luas bagi orang-orang mukmin dan orang-orang yang berjihad di jalan-Nya. Merekalah orang-orang yang dimuliakan dan ditinggikan derajatnya di sisi-Nya.
Jihad sosial
Ayat di atas menyiratkan adanya jihad sosial dalam kehidupan manusia. Dalam kesehariannya, manusia tidak dapat hidup sendirian atau mengasingkan diri, melainkan berinteraksi dan bersosialisasi antar sesama. Jihad sosial yaitu jihad antar sesama dengan memajukan, menyejahterakan dan memenuhi kebutuhan masyarakat.Jihad ini bersifat menyeluruh bagi kehidupan manusia dan sesuai porsinya. Misalnya, bagi para birokrat, jihadnya adalah mempermudah jalannya administrasi dan tidak mempersulit.
Bagi para ASN jihadnya adalah melaksanakan kewajiban dengan sepenuh hati dan totalitas serta mengabdi untuk agama nusa dan bangsa; bagi para guru, jihadnya adalah mendidik peserta didik dengan penuh riang gembira dan mengoptimalkan potensinya; bagi para dai’ dan muballigh, jihadnya adalah dengan menyiarkan dan mendakwahkan agama dengan penuh kesejukan dan kedamaian, tidak memprovokasi apalagi politisasi ayat guna melegitimasi kepentingannya, dan lain sebagainya.
Berbagai pekerjaan, profesi atau kompetensi yang dimiliki sekaligus dapat memenuhi kebutuhan dan mendukung keberlangsungan kehidupan masyarakat merupakan lahan jihad yang menjadi kewajiban kolektif seluruh masyarakat sebagaimana disampaikan Syekh Al-Nawawi al-Bantani dalam Nihayah az-Zain Syarh Qurrah al-‘Ain.
Lebih dari itu, menurut Imam Nawawi al-Bantani, termasuk jihad sosial adalah menciptakan kemandirian umat Islam untuk memproduksi sendiri segala kebutuhannya, sehingga mampu berdikari baik secara finansial maupun spiritual guna sebagai sarana taqaqarrub kepada-Nya. Wallahu a’lam.