Tafsir Surah Ghafir Ayat 27-29 masih berbicara tentang dakwah Nabi Musa yang kerap dihalangi oleh Fir’aun. Fir’aun sendiri adalah Raja yang terkenal kejam dan bengis, bahkan pernah mengaku dirinya sebagai tuhan. Karena itulah, ia menentang keras Musa dalam menawarkan ajaran monoteisme.
Tafsir Surah Ghafir Ayat 27-29 juga menceritakan sosok pemuda yang beriman pada masa Fir’aun. Menurut beberapa mufassir, pemuda tersebut berasal dari keluarga Fir’aun sendiri, yang diam-diam beriman kepada Tuhannya Musa.
Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 25-26
Ayat 25
Ketika Nabi Musa memperoleh berita tentang rencana jahat Fir’aun untuk membunuhnya, ia berkata kepada kaumnya bahwa ia berlindung kepada Allah, Tuhannya dan Tuhan mereka juga.
Nabi Musa yakin bahwa Allah pasti akan melindunginya karena ia berada di pihak yang benar, sedangkan Fir’aun adalah orang sombong, jahat, kejam, berbuat semena-mena di Mesir, membunuhi orang-orang yang tidak bersalah, dan mengakui dirinya sebagai tuhan yang harus dipatuhi semua perintahnya.
Tindakan Fir’aun itu dilatarbelakangi ketidakpercayaan kepada adanya hari kemudian, dimana setiap perbuatan sekecil apa pun akan diminta pertanggungjawabannya.
Fir’aun tidak percaya adanya hari kemudian itu sehingga ia tidak percaya bahwa bila bertindak kejam di dunia ini akan dibalas nanti di akhirat.
Demikianlah akibat kekafiran. Manusia akan berlaku semena-mena di alam ini, yang bisa mengakibatkan alam ini hancur.
Ayat 26
Para ulama tafsir meriwayatkan bahwa laki-laki beriman yang disebutkan dalam ayat ini adalah orang Mesir dari keluarga Fir’aun. Namanya tidak jelas, tetapi Ibnu Katsir meriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim bahwa ia adalah anak paman Fir’aun yang beriman secara sembunyi-sembunyi kepada Nabi Musa.
Tidak ada di antara keluarga Fir’aun yang beriman selain orang yang disebutkan dalam ayat ini dan istri Fir’aun sendiri bernama Asiah. Laki-laki inilah yang menyampaikan kepada Nabi Musa tentang rencana jahat Fir’aun untuk membunuhnya.
Demikian riwayat dari sumber Ibnu ‘Abbas. Namun, al-Khazin, begitu juga an-Nasafi meriwayatkan dari sumber Ibnu ‘Abbas juga bahwa laki-laki itu bernama Sam’an atau Habib. Ada pula yang menyebutnya Kharbil atau Hazbil. Yang disepakati ulama hanyalah bahwa laki-laki itu adalah anak paman Fir’aun.
Laki-laki beriman itu menasihati Fir’aun dengan penuh kebijaksanaan, “Patutkah membunuh seseorang yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah, sedangkan ia telah menyampaikan alasan-alasan dan bukti-bukti nyata tentang yang diimaninya.”
Ia melanjutkan bahwa seandainya Nabi Musa berbohong, maka konsekuensi kebohongannya itu akan dipikul olehnya sendiri. Akan tetapi, bila Nabi Musa benar, sedangkan ia telah disiksa atau dibunuh, maka sebagian yang diancamkan kepada orang yang menyiksa atau membunuh itu akan diterima di dunia ini juga, dan di akhirat ia akan masuk neraka.
Ia kemudian menegaskan bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk orang yang berbuat semena-semena dan berdusta. Artinya, Nabi Musa beriman dan membawa bukti-bukti imannya, sedangkan yang semena-mena dan dusta adalah Fir’aun.
Oleh karena itu, yang tidak akan memperoleh petunjuk adalah Fir’aun. Tidak memperoleh petunjuk berarti akan sengsara di dunia dan di akhirat akan masuk neraka. Dengan demikian yang akan sengsara di dunia dan masuk neraka di akhirat adalah Fir’aun.
Baca Juga : Tafsir Ali Imran Ayat 137: Anjuran Tapak Tilas Kisah Umat-Umat Terdahulu
Ayat 29
Selanjutnya laki-laki beriman itu menasihati kaumnya, rakyat Mesir bahwa mereka telah diberi nikmat yang besar oleh Allah. Mesir merupakan kerajaan besar yang disegani dan berpengaruh.
Oleh karena itu, nikmat itu harus dipelihara dengan beriman kepada Allah, dan bila mereka juga kafir, maka dikhawatirkan kebesaran itu akan runtuh dan mereka akan menderita. “Siapakah yang akan menolong kita bila bencana itu datang?” katanya.
Demikianlah nasihat laki-laki beriman itu kepada Fir’aun dan kaumnya. Tetapi nasihat itu tidak diterima Fir’aun. Ia menyatakan bahwa apa yang dikatakannya itulah yang harus diterima dan dilaksanakan, dan apa yang disampaikan dan diperintahkannya itulah yang baik dan benar.
Dengan demikian, Fir’aun memaksakan kehendaknya dan lagi-lagi bertindak sewenang-wenang.
Jawaban Fir’aun itu sesungguhnya tidak benar, karena dalam hati sanubarinya, sebenarnya ia membenarkan apa yang disampaikan Nabi Musa. Ucapannya itu sesungguhnya hanya didorong oleh kezaliman dan kesombongannya sebagaimana dinyatakan ayat berikut:
وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ اَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَّعُلُوًّا
Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. (an-Naml/27: 14);Apa yang dikatakan Fir’aun bahwa yang diperintahkannya kepada kaumnya adalah baik, sehingga Nabi Musa harus tetap dibunuh, juga jauh dari kebenaran.
Hal itu karena tidaklah benar dengan membunuh seseorang persoalan akan selesai, apalagi yang dibunuh itu seorang rasul Allah. Tindakan itu justru sesat dan menyesatkan, sebagaimana dinyatakan ayat berikut:
وَاَضَلَّ فِرْعَوْنُ قَوْمَهٗ وَمَا هَدٰى
Dan Fir’aun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi petunjuk. (Taha/20: 79).
Namun demikian, para pengikut Fir’aun menerima dan mematuhi perintahnya sekalipun salah, sebagaimana diungkapkan ayat berikut:
اِلٰى فِرْعَوْنَ وَملَا۟ىِٕهٖ فَاتَّبَعُوْٓا اَمْرَ فِرْعَوْنَ ۚوَمَآ اَمْرُ فِرْعَوْنَ بِرَشِيْدٍ
Kepada Fir’aun dan para pemuka kaumnya, tetapi mereka mengikuti perintah Fir’aun, padahal perintah Fir’aun bukanlah (perintah) yang benar. (Hud/11: 97).
Tindakan Fir’aun membohongi rakyatnya dan memaksa mereka meng-ikuti perintahnya, serta menghasut mereka untuk mendustai rasul Allah, menjadi pelajaran bagi para pemimpin.
Pemimpin yang ingin menghalangi dan menjauhkan masyarakat dari ajaran-ajaran agama mereka boleh jadi akan mengalami nasib yang sama dengan Fir’aun. Dalam hal ini Rasulullah memberi nasihat:
مَا مِنْ إِمَامِ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٍ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ لَمْ يُرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ. ((رواه البخاري و مسلم)
Tiadalah mati imam (seorang pemimpin), di mana pada hari kematiannya itu ia telah menipu rakyatnya, melainkan ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya keharuman surga itu bisa tercium dari jarak lima ratus tahun perjalanan. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
(Tafsir Kemenag)
Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 30-33