Matahari sebagai sumber kehidupan (source of life) telah memainkan peran penting bagi umat manusia dan makhluk hidup secara keseluruhan. Dari matahari, manusia memanfaatkan dan mengolahnya menjadi sumber energi turunan, seperti energi panas bumi, energi solar, energi listrik, dan sebagainya. Sejatinya, matahari sebagai sumber kehidupan telah dimaklumatkan oleh Allah swt dalam firman-Nya, Q.S. Luqman [31]: 29,
اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُوْلِجُ الَّيْلَ فِى النَّهَارِ وَيُوْلِجُ النَّهَارَ فِى الَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَۖ كُلٌّ يَّجْرِيْٓ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى وَّاَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Tidakkah engkau memperhatikan, bahwa Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai kepada waktu yang ditentukan. Sungguh, Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Luqman [31]: 29)
Tafsir Ayat Matahari
Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menafsirkan ayat di atas bahwa masing-masing mempunyai teritorialnya sendiri. Sebut saja, garis edar matahari tentu berbeda dengan rembulan, siang hari lebih pendek ketimbang malam hari, dan pagi hari lebih pendek daripada siang hari. Namun dengan rahmat-Nya, semua itu (matahari, bulan, bintang) tunduk dan patuh kepada Allah swt.
Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 38: Kuasa Allah Swt dalam Pergerakan Matahari
Lebih lanjut, al-Razi menjelaskan redaksi wa sakhara syamsa wal qamara dengan,
إن كنتم لا تعترفون بأن هذه الأشياء كلها في أوائلها من الله فلا بد من الاعتراف بأنها بأسرها عائدة إلى الله تعالى، فالآجال إن كانت بالمدد والمدد بسير الكواكب فسير الكواكب ليس إلا بالله وقدرته
“Jika kalian semua tidak mengakui bahwa segala sesuatu (yang ada di bumi dan langit) bersumber dari Allah swt, maka tidak ada jalan untuk tidak mengakui bahwa semua itu kembali kepada Allah. Maka itulah yang dimaksud ajal, yaitu bumi langit berjalan sesuai yang dibentangkan-Nya, dari garis pembentangan itu dilalui oleh bintang-bintang dan planet, yang semuanya atas kuasa dan iradah-nya Allah”.
Dari penafsiran al-Razi sangat jelas bahwa dibalik keteraturan alam semesta ini terkandung sirr (rahasia), iradah (kehendak) dan qudrah (kuasa) Allah swt. Dari itu, al-Razi mencoba menafsirkan kata sakhhara, dengan i’laju (memasukkan). Berikut penafsirannya,
إيلاج الليل في زمان النهار أي يجعل في الزمان الذي كان فيه النهار الليل، وذلك لأن الليل إذا كان مثلاً اثنتي عشرة ساعة ثم يطول يصير الليل موجوداً في زمان كان فيه النهار
“Memasukkan malam pada waktu siang, dan menjadikannya siang-malam. Karena jika malam misalnya 12 jam dan kemudian berlangsung, maka malam akan hadir pada siang hari. Begitupun sebaliknya”.
Tidak cukup dengan penafsiran al-Razi, al-Thabari, mufassir era klasik menjelaskan bahwa yang dimaksud yulijul laili fin nahar wa yulijun nahar fil lail ialah menambah durasi waktu pada siang hari dan menambah apa-apa yang kurang dari siang hari pada malam hari (yazidu min nuqshanin sa’ati al-laili fi sa’atin nahar, yazidu ma naqasha min sa’atin nahari fi sa’atil laili).
Penafsiran al-Thabari ini merujuk pada qaul Yazid, Sa’id, dari Qatadah bahwa pengurangan waktu malam hari dengan menambahkan waktu di siang hari dan pengurangan waktu siang hari untuk malam hari (nuqshan al-laili fi ziyadatin nahar, nuqshan al-nahari fi ziyadati al-laili). Dengan aturan itu, maka matahari dan rembulan dapat memberi manfaat bagi makhluk-Nya (li mashalih khalqihi wa manafi’ihim).
Tidak jauh berbeda dengan al-Thabari, Thantawi dalam Tafsir al-Wasith-nya mengatakan bahwa ayat ini diawali dengan istifham (pertanyaan) yang bertujuan untuk menguatkan dan memantapkan keyakinan Nabi saw dan orang berakal (li taqrir). Jika kedua mufassir di atas (al-Razi dan al-Thabari) memaknai kata yuliju dengan memasukkan (الإيلاج), maka Thantawi dengan al-idkhal (memasukkan). Oleh Ibnu Mandzur, al-ilaju bermakna al-miftah fil qufli (pembuka kunci).
Kembali kepada Thantawi, tidak jauh berbeda dengan mufassir di atas bahwa kegunaan ditundukkanya bumi dan bulan adalah untuk memberi kemaslahatan dan kemanfaatan, serta sebagai sumber energi kehidupan manusia dan makhluknya (dzallahuma wa ja’alahuma li manfaati al-nas wa maslahatihim).
Penafsiran berikutnya datang dari Ibnu Katsir, ia cukup unik dan agak berbeda dari mufassir di atas, bahwa yang dimaksud kata yuliju dalam ayat di atas adalah
يأخذ منه في النهار، فيطول ذاك، ويقصر هذا، وهذا يكون زمن الصيف، يطول النهار إلى الغاية، ثم يشرع في النقص فيطول الليل ويقصر النهار، وهذا يكون في الشتاء
“Mengambil sebagian dari waktu malam lalu dimasukkan ke dalam waktu siang sehingga siang menjadi panjang, sedangkan malam pendek. Hal ini terjadi pada musim panas, karena di musim panas itu siang hari amatlah panjang. Kemudian secara perlahan, panjang siang hari berkurang, sedangkan malam hari bertambah, sehingga pada akhirnya malam hari panjang dan siang hari pendek. Hal ini terjadi pada musim dingin”.
Sedangkan wa sakhhara syamsa wal qamara kullun yajri li-ajalin musamma, Ibnu Katsir menukil suatu pendapat bahwa yang dimaksud adalah sampai pada tujuan yang telah ditetapkan. Pendapat lain mengatakan bahkan sampai hari kiamat. Kedua pendapat itu, kata Ibn Katsir, benar belaka, namun pendapat pertama mendapat legitimasinya dari sahabat Abu Zar dalam al-Shahihain, disebutkan bahwa Rasul saw bersabda,
يا أبا ذر، أتدرى أين تذهب هذه الشمس؟ قلت: الله ورسوله أعلم. قال: فإنها تذهب فتسجد تحت العرش، ثم تستأذن ربها، فيوشك أن يقال لها: ارجعي من حيث جئت
“Wahai Abu Zar, tahukah kamu ke manakah matahari ini pergi?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya matahari ini pergi dan sujud di bawah ‘Arasy kemudian ia meminta izin kepada Tuhannya. Maka sudah dekat masanya akan dikatakan kepada matahari, “Kembalilah kamu ke arah kamu datang (yakni terbitlah kamu dari arah barat).”
Dalam riwayat yang lain, Abi Hatim dari Ibn Abbas, misalnya, mengatakan bahwa matahari itu sama kedudukannya dengan penggembala, ia beredar pada siang hari sesuai teritorialnya dan apabila tenggelam, ia beredar di malam hari sesuati teritorialnya (garis edar) di bawah bumi hingga terbit dari arah timur. Sanad riwayat ini shahih demikian kata Ibn Katsir.
Matahari Sebagai Sumber Kehidupan
Matahari sebagai salah satu sumber kehidupan berperan sentral dalam kehidupan dan peradaban umat manusia. Bahkan sangking sentralnya, Allah swt menyebutkan secara khusus dalam satu surat tersendiri dalam Al-Quran, yaitu surah al-Syams, di mana ayat pertama ini Allah swt langsung bersumpah atas makhluk-Nya, yakni matahari.
Al-Sayyid Mahmud Syukri al-Alusi dalam Al-Quran dan Ilmu Astronomi menyatakan bahwa matahari merupakan bintang yang terbesar (the biggest star) seperti sebuah kalung cincin atau bola api yang menyala (al-syams al-qalladah) yang berlubang besar di tengah-tengahnya. Cahayanya memancar ke segala penjuru menyinari semua planet tak terkecuali bumi.
Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 17: Peredaran Bumi, Bulan, dan Matahari serta Empat Musim
Dari matahari, masing-masing daerah mempunyai musim yang beragam, di antaranya musim panas, musim gugur, musim dingin, musim semi. Adapun di daerah khatulistiwa yang tropis seperti Indonesia, dalam setahun hanya terdapat dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan. Hal ini membuktikan matahari berperan penting dalam kehidupan kita.
“The Sun, our nearest star, is the gravity center and ultimate energy source for many processes in our solar system” (Matahari, bintang terdekat kita, adalah pusat gravitas dan sumber energi utama dalam segala proses di tata surya kita). Demikian kata Markus J. Dalam risetnya, The Sun yang termaktub dalam Encyclopedia of the Solar System.
Wallahu A’lam.