Nabi Muhammad Saw adalah manusia pilihan yang kisah hidupnya menjadi suri tauladan bagi manusia di seluruh penjuru dunia, terutama umat Islam. Setiap perkataan dan tingkah laku beliau merupakan wujud dari kebaikan dan manifestasi nila-nilai ajaran Islam fundamental. Bahkan sebagian orang menganggap bahwa segala gerak-gerik Muhammad Saw merupakan representasi wahyu Allah Swt.
Nabi Muhammad Saw–sebagai nabi terakhir menurut umat Islam–merupakan representasi manusia sempurna yang multi-talenta. Selain sukses dalam melaksanakan misi risalah ilahi di muka bumi, pada saat yang bersamaan beliau juga menjadi sosok yang paling berkompeten di kalangan manusia. Ia adalah pemimpin terbaik, ia adalah suami terbaik, ia adalah ayah terbaik, ia adalah kakek terbaik, dan ia adalah yang terbaik diantara orang-orang terbaik.
Berkat keluhuran budi dan kompetensi yang dimiliki-nya tersebut, nabi Muhammad Saw tidak hanya diakui dan dikagumi oleh umat Islam, tetapi juga orang-orang non-muslim. Menurut John Lespito dalam Ensiklopedi Oxford, Muhammad Saw adalah salah satu tokoh yang membangkitkan peradaban besar di dunia. Bahkan Michael H Hart dalam buku The 100 menetapkan beliau sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia.
Hart berkata, “Ia (Muhammad Saw) adalah satu-satunya manusia yang berhasil meraih kesuksesan luar biasa, baik dalam hal agama maupun duniawi.” Nabi Muhammad Saw tak hanya dikenal sebagai pemimpin umat Islam, tapi beliau juga dikenal sebagai seorang pedagang terjujur, pemimpin militer terhebat, pejuang kemanusiaan tergigih yang pernah ada, dan ia adalah suri tauladan bagi manusia.
Baca Juga: Ikutilah Nabi Muhammad Saw Niscaya Allah Mencintai Dirimu
Sosok Nabi Muhammad Saw dengan segala kesempurnaannya adalah suri tauladan bagi manusia. Sebagai pengikutnya, umat Islam seharusnya mengikuti segala tindak-tanduknya, bukan hanya dalam hal-hal yang bersifat peribadahan, tetapi seluruh sifat, sikap dan perilaku beliau, baik dalam aspek keagamaan maupun aspek sosial. Karena itu semua adalah ajaran Islam yang sesungguhnya.
Tafsir QS. Al-Ahzab [33]: ayat 21
Jika kita mencermati Al-Qur’an, maka dapat ditemukan bahwa nabi Muhammad Saw dengan segala kesempurnaan-nya tidaklah dihadirkan hanya sebagai sosok yang harus dikagumi, digilai, dan dicintai, tetapi ia adalah representasi puncak kesempurnaan manusia yang harus dicontoh, digapai dan diikuti. Allah Swt berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ ٢١
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa sosok Nabi Muhammad Saw merupakan barometer kehidupan dan suri tauladan bagi manusia. Sebagai pembawa pesan Allah Swt, Muhammad Saw sukses menghidupkan pesan tersebut dalam dirinya dan bagi orang di sekitarnya. Sifat, sikap dan nilai-nilai yang dibawa beliau–meskipun tidak seluruhnya–merupakan representasi dari ajaran-ajaran Al-Qur’an.
Menurut Quraish Shihab, ayat ini–bisa jadi–merupakan kecaman kepada orang-orang munafik yang mengaku memeluk Islam, tetapi tidak mencerminkan ajaran Islam. Kecaman tersebut dikesankan oleh kata laqad. Seakan-akan ayat di atas mengatakan, “Kamu telah melakukan aneka kedurhakaan, padahal sesungguhnya di tengah kamu ada nabi Muhammad yang mestinya kamu teladani.”
Kata uswatuni atau iswah berarti teladan. Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa ayat ini memiliki dua kemungkinan makna, yaitu: Pertama, nabi Muhammad dalam arti kepribadian beliau secara total adalah teladan. Kedua, diantara kepribadian beliau terdapat hal-hal yang patut diteladani. Bagi mayoritas ulama, pendapat pertama adalah yang paling kuat, karena kata fi dalam QS. Al-Ahzab [33]: 21 bermakna seluruhnya.
Pakar tafsir dan hukum, al-Qurthubi, mengemukakan bahwa dalam soal-soal agama, keteladanan itu merupakan kewajiban, tetapi dalam soal-soal keduniaan maka ia merupakan anjuran. Dalam soal keagamaan, beliau wajib diteladani selama tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ia adalah sebuah anjuran semata.
Baca Juga: Ibn Katsir: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa keteladanan ini terbatas pada akhlak dan hal-hal keagamaan. Adapun aspek kehidupan yang lain, Nabi Muhammad Saw telah menyerahkan sepenuhnya kepada para pakar di bidang masing-masing. Ini didasarkan pada sebuah hadis beliau yang bermakna, “Apa yang aku sampaikan menyangkut ajaran agama, maka terimalah, sedang kamu lebih tahu persoalan keduniaan kamu.”
Imam al-Qarafi menegaskan bahwa seseorang harus cermat dalam memilah ketauladanan dari Nabi Saw. Karena menurutnya beliau dapat berperan sebagai Rasul, atau Mufti, atau Hakim Agung atau Pemimpin masyarakat, dan dapat juga sebagai seorang manusia, yang memiliki kekhususan-kekhususan yang membedakan beliau dari manusia-manusia lain, sebagaimana perbedaan seseorang dengan lainnya.
Ketika beliau dalam posisi sebagai nabi dan rasul, maka ucapan dan sikapnya pasti benar, karena itu bersumber langsung dari Allah Swt. Ketika beliau berposisi sebagai mufti, fatwa-fatwa beliau berkedudukan setingkat dengan butir pertama di atas, karena fatwa beliau adalah berdasar pemahaman atas teks-teks keagamaan di mana beliau diberi wewenang oleh Allah untuk menjelaskannya Tafsir Al-Misbah [11]: 245).
Ketika beliau berposisi sebagai pemimpin masyarakat, maka tentu saja petunjuk-petunjuk beliau disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan perkembangannya, sehingga tidak tertutup kemungkinan lahirnya perbedaan tuntunan kemasyarakatan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Rasul Saw tidak jarang memberi petunjuk yang berbeda untuk sekian banyak orang yang berbeda dalam menyesuaikan dengan masing-masing mereka.
Terlepas dari perdebatan apakah seorang muslim harus meneladani seluruh kepribadian Nabi Muhammad Saw atau hanya sebagian saja, pada faktanya beliau adalah rahmat bagi alam semesta dan suri tauladan bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Apa yang semestinya diteladani darinya bukan hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat formal dan simbolik, namun juga hal-hal substansial dan universal. Wallahu a’lam.