Tafsir Surat Al An’am Ayat 140-141

tafsir surat al an'am
tafsiralquran.id

Pada pembahasan yang lalu berbicara mengenai ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat-buat dan tidak berlandaskan perintah Allah swt, dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 140-141 ini Allah menegaskan kerugian dan kesesatan mereka atas ketentuan tersebut.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 137-139


Allah swt dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 140-141 ini juga menegaskan tentang  banyaknya hikmah dari sebuah pohon kurma. Selain buahnya banyak hal yang bisa dimanfaat dari pohon kurma ini. Seperti bijinya, batangnya, daunnya, pelepah, dan seratnya.

Dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 140-141 ini juga dipaparkan mengenai kewajiban untuk menyedekahkan sebagian harta yang didapatkan ketika panen maupun hasil dari ternak kepada orang-orang fakir miskin dan lain-lain. Karena di dalam harta tersebut ada hak mereka.

Ayat 140

Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa orang-orang yang membunuh anak mereka, karena alasan yang tidak jelas dan tidak benar seperti tersebut pada ayat 137 dan orang-orang yang mengharamkan rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka seperti tersebut pada ayat 138 dan ayat 139, mereka ini adalah orang-orang yang merugi dan orang-orang yang sesat dan tidak mengikuti petunjuk yang diberikan kepada mereka.

Membunuh anak adalah tindakan yang bodoh dan sangat merugikan, dan merupakan tindakan orang yang tidak tahu lagi mana yang buruk dan mana yang baik, tidak tahu laba dan rugi, karena anak adalah suatu nikmat dan karunia dari Allah yang tidak ternilai harganya.

Anak itu nanti yang akan memelihara kelanjutan hidup, yang akan menjadi kekuatan dan kebanggaan bagi ibu, ayah dan keluarganya, bahkan akan menjadi kekuatan bagi masyarakat dan negara. Bila ia diasuh dan dididik dengan baik pasti akan menjadi anggota keluarga yang baik pula, akan menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi masyarakatnya.

Oleh sebab itu, setiap ibu dan bapak diberi oleh Allah naluri untuk menyayangi, mencintai, memelihara dan menjaganya. Ibu dan bapak, tidak segan-segan mengorbankan kepentingan dirinya untuk membela dan mempertahankan keselamatan anaknya. Bahkan kadang-kadang ia bersedia mati untuk menyelamatkan anaknya bila ia dalam bahaya.

Apabila seseorang telah menganggap bahwa membunuh anaknya lebih baik dari pada membiarkan hidup, karena takut kepada hal-hal yang belum tentu akan terjadi, seperti takut akan kemiskinan atau takut akan mendapat malu, berarti ia telah mengingkari nikmat dan karunia Allah yang besar itu dan menentang naluri dan tabiatnya sendiri.

Orang yang seperti ini tentu telah ditipu oleh setan dan dikelabui matanya oleh pemimpin-pemimpin yang tidak bertanggung jawab dan pemuka-pemuka agama yang hanya mementingkan kedudukan dan martabatnya saja.

Orang-orang yang menerima ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan yang dibuat-buat oleh pemimpin-pemimpin yang telah sesat, tanpa memikirkan apakah peraturan-peraturan itu berdasarkan kebenaran, dapat diterima oleh pikiran yang sehat, atau apakah peraturan itu memang telah ada dasarnya menurut agama, apa lagi bila peraturan-peraturan itu hanya membawa kepada kerugian atau mengingkari nikmat Allah, maka orang-orang yang seperti itu pantaslah dikatakan orang yang sesat, orang-orang yang tidak mendapat petunjuk dari Allah.

Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Apabila engkau ingin mengetahui bagaimana bodohnya kaum musyrikin Arab, bacalah ayat 130 dan seterusnya dari Surah al-An’am, sampai dengan ayat 140.”

Memang ada beberapa tradisi umat Islam yang sama dengan tradisi Arab jahiliyah, ada yang diperbaiki, diganti atau dikurangi. Hal ini menurut sejarah karena orang-orang Arab ada yang melestarikan beberapa ajaran dari Nabi Ibrahim.

Tetapi karena fatroh atau kekosongan waktu yang panjang, maka banyak terjadi penyimpangan dari aslinya. Maka ajaran Islam mengembalikan kepada tradisi yang baik dan benar sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim yang asli, seperti ritual haji yang diwariskan dari Nabi Ibrahim.

Ayat 141

Dengan ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dialah yang menciptakan kebun-kebun yang menjalar dan yang tidak menjalar tanamannya. Dialah yang menciptakan pohon kurma dan pohon-pohon lain yang buahnya beraneka ragam bentuk warna dan rasanya. Seharusnya hal itu menarik perhatian hamba-Nya dan menjadikannya beriman, bersyukur dan bertakwa kepada-Nya.

Dengan pohon kurma saja mereka telah mendapat berbagai macam manfaat. Mereka dapat makan buahnya yang masak tapi masih segar, yang manis rasanya dan dapat pula mengeringkannya sehingga dapat disimpan untuk jangka waktu yang lama dan dapat dibawa ke mana pun dalam perjalanan serta tidak perlu dimasak lagi seperti masakan lainnya.

Bijinya dapat dijadikan makanan unta. Batang, daun, pelepah dan seratnya, dapat diambil manfaatnya. Kalau dibandingkan dengan pohon-pohon di Indonesia pohon kurma itu seperti pohon kelapa. Allah mengaruniakan pula pohon zaitun dan delima, ada yang serupa bentuk tapi beda rasanya.

Allah membolehkan hamba-Nya menikmati hasil dari berbagai macam pohon dan tanaman itu sebagai karunia dari Allah. Maka tidak ada hak sama sekali bagi hamba-Nya untuk mengharamkan apa yang telah dikaruniakan-Nya.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Jual Beli dengan Label Harga, Sah kah?


Karena Allah-lah yang menciptakan, Allah-lah yang memberi, maka Allah pulalah yang berhak mengharamkan atau menghalalkannya. Kalau ada di antara hamba-hamba-Nya yang mengharamkannya maka ia telah menganggap dirinya sama kedudukannya dengan Allah, dan orang-orang yang menaatinya berarti telah menyekutukan Allah dan inilah syirik yang tak dapat diragukan lagi.

Maksud mengharamkan makanan di sini ialah menjadikannya haram untuk dimakan, bila dimakan tentu berdosa. Adapun melarang makanan karena alasan kesehatan, dilarang dokter atau karena sebab-sebab lain yang membahayakan, tidaklah termasuk syirik, karena kita diperintahkan Allah untuk menjauhkan diri dari bahaya.

Kemudian Allah memerintahkan untuk memberikan sebagian dari hasil tanaman diwaktu panen kepada fakir miskin, kaum kerabat dan anak yatim, untuk mensyukuri nikmat Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada manusia. Ibnu Munzir, Abu Syaikh dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Abi Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw menafsirkan firman Allah:

“وا ٰ توا حقه يوم حصاده”

(al-An’am/6: 141)

dengan, “berikan hak fakir miskin dari apa yang gugur dari tangkainya.” Artinya gugur ketika dipanen.

Dalam hal ini, Mujahid berkata, “Apabila kamu sedang panen dan datang orang-orang miskin, maka pukullah tangkai buah yang kamu panen itu dan berilah mereka apa yang jatuh dari tangkainya; apabila kamu telah memisahkan biji dari tangkainya maka berilah mereka sebagian dari padanya.

Apabila engkau telah menampi membersihkan dan  mengumpulkannya serta telah diketahui berapa banyak kadar nilai dari hasil panen itu, maka keluarkanlah zakatnya.”

Maimun bin Mihran dan Zaid bin al-A’sam meriwayatkan bahwa penduduk kota Madinah, bila mereka memanen kurma mereka membawa tangkai-tangkai kurma ke mesjid, lalu mereka letakkan di sana, maka berdatanganlah fakir miskin, lalu dipukulkannya tangkai kurma itu dan diberikannya kepada mereka kurma yang berjatuhan dari tangkainya.

Menurut Said bin Jubair, hal ini berlaku sebelum turunnya perintah zakat. Orang-orang Arab selalu memberikan sebagian dari hasil tanamannya untuk makanan binatang, sedekah kepada anak yatim dan fakir miskin. Kebiasaan ini dilestarikan oleh Islam ketika memberlakukan wajib zakat (pada tahun kedua Hijriah dimana zakat hasil pertanian harus diberikan atau dikeluarkan segera begitu mereka panen, tanpa ditangguhkan).

Selanjutnya Allah melarang makan berlebih-lebihan, karena hal itu sangat berbahaya bagi kesehatan dan dapat menimbulkan bermacam-macam penyakit yang mungkin membahayakan jiwa. Allah Yang Maha Pengasih kepada hamba-Nya tidak menyukai hamba-Nya yang berlebih-lebihan itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 142-144


(Tafsir Kemenag)