Nabi Ibrahim dikenal sebagai tokoh besar dalam 3 agama besar dunia, yakni Islam, Nasrani, dan Yahudi. Peradaban dunia menganugerahkan gelar Father of monotheism kepadanya. Atas warisannya menemukan teori–teori keesaan tuhan atau dalam Islam dikenal dengan istilah Tauhid. Menemukan kesadaran Tauhid bukan persoalan mudah, sebab ada kerumitan – kerumitan logika yang harus dimainkan seseorang untuk menuju pada satu kesimpulan alias natijah yang solid dan mampu dipertanggung jawabkan.
Untuk mencapai nalar tauhid yang final, Nabi Ibrahim pun melalui proses yang panjang dan tak mudah. Dalam dunia filsafat, hal ini dikenal sebagai metode berfikir Ilmiah. Dalam menemukan “kepada siapa ia menghamba”, ia melakukan penalaran secara Induktif, hal ini diceritakan dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 76-79 :
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ
فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ
فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”
“Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat”
Baca juga: Kisah Nabi Ibrahim as Yang Tak Hangus Dibakar Api
“Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan”
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (Q.S Al-An’am 76-79)
Dalam ayat tersebut, disebutkan bahwa Nabi Ibrahim melakukan eksperimen tauhid melalui 3 benda. Yakni Bintang, Bulan, dan Matahari. Kemudian ia, secara sadar maupun tidak, berfikir melalui nalar induksi, yakni mengumpulkan data–data khusus untuk menemukan sebuah teori yang dapat digeneralisasi. Dalam hal ini Nabi Ibrahim mengumpulkan premis–premis tentang keberadaan sebuah kekuatan supranatural yang ia sebut sebagai Tuhan.
Dalam ayat tersebut Nabi Ibrahim mulai menemukan premis pertamanya, yakni Bintang yang memiliki cahaya yang memancar, menerangi gelapnya malam, maka tentu bintang-lah kekuatan yang ia cari selama ini. An-Nakhjawani dalam Masterpiece-nya Al-Fawatih Al-Ilahiyah wa Al-Mafatih Al-Ghaibiyah menyatakan bahwa pada awalnya, Nabi Ibrahim mengira bahwa bintang menerangi malam dengan cahayanya yang diproduksi secara mandiri, sehingga layak disembah sebagai the biggest one, tapi ketika beliau melihat cahayanya menghilang beliau menyimpulkan melalui kata-katanya “saya tidak suka pada yang tenggelam” bahwa bagaimana mungkin ia menyembah sesuatu kepada sesuatu yang bisa tenggelam dan berubah, sedangkan kedua sifat itu sangat identik dengan sesuatu yang baru/something created bukan pencipta/creator.
Baca juga: Surat Ibrahim Ayat 34: Menghitung Nikmat Allah dan Rasa Iri Melihat Orang Lain
Kemudian ia memperhatikan, ternyata ada yang mengalahkan cahaya bintang, yakni rembulan. Namun ketika cahanya perlahan menghilang, logikanya kembali bicara bahwa tak mungkin Tuhan menghilang, menghilang adalah sifat makhluk yang ‘tercipta’, punya awal dan punya akhir. Dalam penalaran kedua ini, nabi Ibrahim mulai menemukan gelar baru bagi Tuhan, yakni Al-Hadi (Yang memberi petunjuk). Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Madid disebutkan bahwasanya nabi Ibrahim mulai menyadari adanya Taufiq atau pertolongan dari Tuhan dalam versi yang ia cita–citakan sebagai petunjuk kepadanya agar tidak salah melakukan penalaran lagi.
Lalu, ia melihat Matahari, keyakinannya bertambah setelah melihat intensitas cahayanya yang jauh berbeda dari Bintang dan bulan, bahkan memiliki volume yang lebih luas, dalam perkataannya “Hadza Rabbi Hadza Akbar” . namun lagi – lagi benda tersebut menghilang dari penglihatannya. Maka Nabi Ibrahim kembali pada kesimpulannya bahwa yang menghilang bukanlah Tuhan.
Dari ketiga premis di atas, yakni Bintang, Bulan, dan Matahari, di ayat 79 Nabi Ibrahim memberikan konklusi, bahwa tentunya Tuhannya lebih hebat dari 3 benda yang telah ia lihat sebelumnya. Konklusi tersebut tersuratkan pada kata – kata Nabi Ibrahim “Inni Wajjahtu Wajhiya”, yang dalam Tafsir Al-Khazin ditafsirkan bahwa yang dimaksud adalah Sharraftu Wajhu ‘Ibadati wa Qasartu Tauhidi, (ku palingkan tujuan ibadahku dan kufokuskan pengesaanku), memberikan penegasan terhadap konsep tuhan yang ia usung, kepada spesifikasi yang cukup general (sebagai hasil dari penalaran induksi dari 3 premis tadi) dengan kata Li Al-Ladzi Fathara As-Samawaat Wa Al-Ard (Dzat yang menciptakan Langit dan Bumi).
Baca juga: Ingin Dikenang Baik di Dunia dan Akhirat? Amalkan Doa Nabi Ibrahim Ini!
Tentu, konklusi yang dicetuskan Nabi Ibrahim dengan meng-generalisasi Langit dan Bumi adalah hasil dari analisisnya terhadap premis – premis yang ia kumpulkan setelah melakukan proses logiko-hepotiko-verifikasi dari 3 data yang telah ia peroleh. Bahwa benda langit itu bukan tuhan, Tuhan adalah yang menciptakan 3 benda tersebut. Begitulah Nabi Ibrahim menemukan Konsep Tuhan. Nalar Induksinya yang begitu kuat mengantarkannya pada logika – logika yang seharusnya ia tempuh untuk menemukan Tuhannya untuk kali pertama, yakni Pencipta Langit dan Bumi / Al-Ladzi Fathara As-Samawat Wa Al-Ard. Wallahu a’lam[]