BerandaTafsir TematikTafsir Surat Al-Hujurat Ayat 9: Mengedepankan Islah dalam Kehidupan

Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 9: Mengedepankan Islah dalam Kehidupan

Islam adalah agama yang membawa kedamaian dan menyerukan pada penganutnya untuk senantiasa mentranformasikan Islah (perdamaian) dalam kehidupan. Islam tidak sekalipun menginginkan penganutnya menjadi sumber perselisihan dan hilangnya kerukunan. Islam bahkan memerintahkan kepada penganutnya agar senantiasa mengedepankan islah sebagai solusi utama jika mendapati perselisihan.

Hal ini sebagaimana ditemukan dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 9:

وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

Penafsiran Ayat

Di awal penafsiran ayat ini, Ibn Asyur dalam tafsirnya Al-Tahrir wa al-Tanwir mengutip Q.S al-Hujurat:6 (اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ) dan menjelaskan bahwa terjadinya perselisihan antara dua kelompok umat muslim—dalam konteks Indonesia dapat berupa perselisihan antar dua kelompok yang berbeda afiliasi dalam hal ideologi ataupun organisasi masyarakat (ormas)—disebabkan oleh jahalah. Jahalah ini dapat berupa berita bohong (hoax), berita yang sifatnya mengadu domba dan merendahkan satu kelompok dengan kelompok lainnya (hate speech) maupun informasi yang berupa pencucian otak dengan ideologi tertentu.

Dampak yang ditimbulkan dari adanya perselisihan antar kelompok tentunya lebih besar daripada perselisihan yang terjadi antar individu. Oleh sebab itu terkadang upaya tabyin atau tabayyun (meluruskan disinformasi) sebagai usaha preventif untuk mencegah terjadinya perselisihan itu tidak berhasil. Akhirnya usaha tabyin baru disadari pentingnya saat api fitnah sudah berkobar dan penyesalan tidak lagi berguna.

Dalam menjelaskan asbab al-nuzul ayat ini, Ibn Asyur mengutip beberapa riwayat yang sebagian besar menceritakan tentang kisah perselisihan yang terjadi antara kaum Aus dan Khazraj saat hari-hari pertama Nabi Muhammad berada di Madinah. Sosok Nabi datang sebagai pihak yang mendamaikan dan mengedepankan perdamaian dalam kehidupan masyarakat. Setelah itu Ibn Asyur memberikan komentarnya secara umum mengenai riwayat yang dikutipnya dengan mengatakan bahwa dalam ayat ini berlaku status hukman ‘aman nazala fi sabab al-khas.

Maksudnya meskipun peristiwa yang mengiringi ayat ini sifatnya sebuah kisah yang spesifik akan tetapi kandungan hukum (ibrah) dalam ayat ini tidaklah berlaku hanya pada saat peristiwa itu terjadi saja, namun sifatnya umum. Jadi sikap islah Nabi Muhammad dalam menginisiasi rekonsiliasi konflik yang terjadi antara kaum Aus dan Khazraj haruslah diaktualisasikan dalam setiap konflik lainnya yang terjadi.

Baca Juga: Belajar Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan dari Kisah Negeri Saba’

Penjelasan kebahasaan menjadi salah satu ciri khas dari penafsiran Ibn Asyur. Pada ayat ini, ia mengurai harfu syarth  (اِنْ) dengan fi’il (اقْتَتَلُوْا). Ia menjelaskan bahwa masuknya harf syarth memberikan makna bahwa kejadian yang direkam al-Quran dengan shigot madhi memiliki potensi akan terjadi di masa-masa selanjutnya. Maka dapat dimaknai bahwa perselisihan ataupun konflik akan senantiasa menghantui kehidupan manusia, maka perintah islah tidaklah hanya diaktualisasikan saat konflik terjadi, melainkan harus sudah dilanggengkan dalam kehidupan agar konflik tidak sampai terjadi.

Pada pembahasan penggalan ayat selanjutnya (فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى) Ibn asyur menjelaskan bahwa apabila ada kelompok yang memulai kembali perselisihan atau konflik setelah terlaksananya rekonsiliasi, maka kelompok itu (al-thaifah al-baghiyah) haruslah diperangi (diluruskan kembali). Dalam pembahasan ini hal yang menarik adalah mengenai penjelasan Ibn Asyur terhadap kata al-baghy. Ibn Asyur memaknai kata al-baghy dengan al-dzulm wa al-i‘tida’ ‘ala haq al-ghair (tindak kedzaliman dan agresi atas hak orang lain). Definisi itu ia ambil dari makna lughawy bukan makna fiqhy.

Penafsiran selanjutnya pada penggalan ayat (فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ), Ibn Asyur menegaskan kembali kewajiban menindak tegas al-thaifah al-bhagiyah. Selain demi menjaga hak-hak orang lain, tindakan itu diambil sebagai langkah solutif, sebab membiarkannya tetap ada berarti menginginkan praktik kedzaliman terus berlangsung. Maka karena yang diperangi adalah sebuah thaifah (kelompok) bukan individu, maka sudah sepantasnya masyarakat beserta pemerintah turut serta dalam upaya menanggulanginya.

Namun yang perlu diperhatikan bahwa upaya penanggulangan dengan memerangi ini bertujuan agar kelompok itu kembali pada jalan Islam yang adil dan menghindari tindak kedzaliman. Dalam konteks kekinian, kelompok ini bisa saja disebut sebagai kelompok Islam radikal yang sejatinya memang harus dikembalikan ideologinya agar bersesuaian dengan ajaran Islam yang mengedepankan rahmat daripada laknat.

Penggalan (فَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا) mengisyaratkan keadaan dimana posisinya telah berhasil melakukan upaya penanggulangan. Maka tatkala kelompok al-baghiyah itu telah kembali kepada jalan yang benar, selanjutnya upaya rekonsiliasi (mengembalikannya lagi ke kehidupan sosial) haruslah dengan penuh keadilan. Agar mereka merasa diterima di masyarakat dan tidak melakukan kesalahan yang sama kembali.

Dari penafsiran Ibn ‘Asyur tersebut, dapat ditarik beberapa poin pembahasan penting mengenai paradigma rekonsiliasinya. Pertama, tabyin sebagai langkah preventif. Di awal penafsirannya, Ibn Asyur menggunakan metode riwayah dan mengutip Q.S al-Hujurat: 6. Dari metodenya itu, dapat diketahui bahwa Ibn Asyur ingin memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor yang dapat menjadi pemicu bagi munculnya konflik—terutama dalam tubuh umat Islam sendiri. Dari sana Ibn Asyur juga mengisyaratkan pentingnya tabyin atau tabayun sebagai langkah preventif terhadap lahirnya konflik akibat dari adanya hoax dan hate speech maupun informasi yang berupa brainwash.

Kedua, menjadikan islah sebagai sikap seorang muslim. Pada penjelasan aspek asbab al-nuzul dan lughah didapati pernyataan kesimpulan Ibn Asyur yang menyatakan bahwa islah bukanlah perkara yang hanya ada di masa Nabi Muhammad. Karena ayat itu dikatakan termasuk dalam kategori ayat dengan muatan hukmun ‘am fi sabab al-khas. Serta faidah istiqbal dalam fi’il madhi karena masuknya harf syarth yang mengindikasikan bahwa konflik akan selalu menghantui manusia. Sehingga sikap islah tidaklah hanya wajib diaktualisasikan saat konflik sudah berkobar namun semestinya telah ditranformasikan dalam kehidupan agar terjadinya konflik dapat diredam.

Ketiga, pentingnya penegakan ham. Ibn Asyur menekankan bahwa jika yang dihadapi adalah sebuah thaifah bukan individu maka akan susah meredamnya. Sehingga perlu adanya kerjasama dengan pemerintah dalam upaya menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini, Ibn Asyur benar-benar menekankan bahwa upaya-upaya yang dilakukan itu bertujuan untuk menjaga keberlangsungan HAM setiap orang. Sehingga hak masing-masing manusia tidak tercederai oleh tindakan-tindakan manusia yang lain.

Keempat, adil sebagai landasan membangun islah. Adil merupakan lawan kata dari dzalim, maka terjadinya tindak kedzaliman disebabkan oleh runtuhnya bangunan keadilan. Maka bersikap adil tidaklah hanya dilakukan dalam prosesi pendamaian saja, namun semestinya mampu ditranformasikan dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan begitu tindakan-tindakan yang dapat memicu terjadinya konflik dapat diminimalisir. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...