BerandaTafsir TahliliTafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 141-145

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 141-145

Ayat 141

Peristiwa musibah kaum Muslimin pada Perang Uhud sesudah mereka menang dalam Perang Badar sebelumnya, adalah juga dimaksudkan untuk membedakan orang yang benar-benar beriman dari kaum munafik dan untuk membersihkan hati orang mukmin yang masih lemah, sehingga benar-benar menjadi orang yang ikhlas, bersih dari dosa.

Derajat keimanan seseorang itu masih tersamar, dan tidak jelas hakikatnya kecuali melalui ujian berat. Kalau ia lulus dalam ujian itu, maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang bersih dan suci, sebagaimana halnya emas, baru dapat diketahui keasliannya sesudah diasah, dibakar dan diuji dengan air keras.

Pasukan pemanah melanggar perintah Nabi saw dalam Perang Uhud dengan meninggalkan posnya di atas gunung, lalu turut memperebutkan harta rampasan. Karena itu pasukan Muslimin akhirnya terpukul mundur, dikocar-kacirkan oleh musuh. Peristiwa ini menjadi satu pelajaran bagi kaum Muslimin untuk menyadarkan mereka bahwa umat Islam diciptakan bukanlah untuk bermain-main, berfoya-foya, bermalas-malasan, menimbun kekayaan, melainkan harus bersungguh-sungguh beramal, menaati perintah Nabi saw dan tidak melanggarnya, apa pun yang akan terjadi.

Keikhlasan hati kaum Muslimin dan ketaatannya kepada perintah Nabi  dapat dibuktikan ketika terjadi perang Hamra’ul Asad sesudah terpukul dalam Perang Uhud. Nabi saw memerintahkan bahwa orang-orang yang dibolehkan ikut pada perang Hamra’ul Asad ialah orang-orang yang pernah ikut dalam Perang Uhud.

Mereka dengan segala senang hati mematuhi perintah Nabi dengan kemauan yang sungguh-sungguh dan ikhlas sekalipun di antara mereka masih ada yang mengalami luka-luka yang parah, hati yang sedih dan gelisah. Sebaliknya orang-orang kafir menderita kehancuran karena hati mereka kotor, masih bercokol di dalamnya sifat-sifat sombong dan takabur, akibat kemenangan yang diperolehnya.

Ayat 142

Ulama-ulama tafsir menerangkan bahwa setelah Nabi saw, mengetahui persiapan pihak Quraisy berupa pasukan yang berjumlah besar untuk menyerang kaum Muslimin sebagai balasan atas kekalahan mereka dalam Perang Badar, maka Nabi saw bermusyawarah dengan para sahabatnya, apakah mereka akan bertahan saja di kota Medinah ataukah akan keluar untuk bertempur di luar kota.

Meskipun Nabi  sendiri lebih condong untuk bertahan di kota Medinah, namun beliau mengikuti pendapat terbanyak yang menghendaki agar menyerang musuh di luar kota. Dengan demikian Rasulullah saw keluar kota ke bukit Uhud dengan pasukan sebanyak 1.000 orang untuk melawan orang Quraisy yang berjumlah lebih dari 3.000 orang. Pasukan Muslimin yang jauh lebih sedikit ini hampir memperoleh kemenangan, tetapi akhirnya suasana berbalik menjadi kegagalan disebabkan kurang sabar mematuhi perintah Rasulullah sebagai komandan dalam peperangan itu.

Banyak korban berguguran di sana-sini dan ada pula yang lari ketakutan. Nabi sendiri terdesak dan terancam, bahkan tersiar berita bahwa Nabi saw telah terbunuh. Yang terbunuh sebagai syuhada ialah para sahabatnya seperti Abu Dujanah, Talhah bin Ubaidillāh, Ummu Imarah dan lain-lain yang telah mengorbankan diri dan nyawa mereka sebagai perisai Rasulullah. Terbunuh juga dalam Perang Uhud, Hamzah bin Abdul Mutalib, paman Rasul yang dicintainya. Pada ayat 142, Allah mengatakan, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.”

Ini adalah satu celaan dan koreksi Tuhan terhadap sebagian kaum Muslimin yang turut dalam Perang Uhud itu, yaitu kepada orang-orang yang semula ingin berperang dengan semangat berapi-api dan mendorong Rasulullah, agar keluar kota untuk memerangi pihak Quraisy dan jangan hanya bertahan di kota Medinah saja. Mereka dengan tegas menyatakan sanggup berbuat segala sesuatu untuk menghadapi musuh meskipun mereka akan mati seperti pahlawan-pahlawan Badar.

Tetapi nyatanya setelah mereka berada dalam suasana yang sulit dan keadaan gawat, bukan saja mereka kehilangan semangat dan tidak dapat melaksanakan apa yang tadinya mereka nyatakan kepada Rasulullah, bahkan kebanyakan dari mereka sudah kehilangan pegangan, terkecuali sebagian yang memang semangat tempur dan juangnya bernyala-nyala terus, karena keteguhan keyakinan dan keimanan yang tidak dapat digoyahkan oleh keadaan dan suasana apa pun juga. Mereka inilah pembela-pembela Rasulullah, pembela Islam dan kebenaran.

Ayat 143

Kaum Muslimin sebelum terjadi Perang Uhud berjanji akan mati syahid mengikuti jejak para syuhada Badar. Tetapi mereka tidak menepati janji itu ketika melihat dahsyatnya pertempuran. Sebagai puncak dari kesukaran yang dihadapi oleh kaum Muslimin dalam Perang Uhud, ialah tersiarnya berita Rasulullah telah terbunuh.

Ketika itu orang-orang yang lemah imannya ingin memperoleh jasa-jasa baik dari Abdullah bin Ubai, kepala kaum munafik di Medinah, agar dia berusaha mendapat perlindungan dari Abµ Sufyān, bahkan ada pula yang berteriak seraya berkata, “Kalau Muhammad sudah mati, marilah kita kembali saja kepada agama kita semula.”

Dalam keadaan kalut sahabat Nabi (Anas bin an-Nadar) berbicara, “Andaikata Muhammad telah terbunuh, maka Tuhan Muhammad tidak akan terbunuh. Untuk apa kamu hidup sesudah terbunuhnya Rasulullah? Marilah kita terus berperang, meskipun beliau telah mati.” Kemudian Anas bin an-Nadar berdoa meminta ampun kepada Tuhan karena perkataan orang-orang yang lemah iman itu, lalu ia mengambil pedangnya dan terus bertempur sehingga ia mati syahid.

Ayat 144

Muhammad hanyalah seorang Rasul Allah. Kalau dia mati terbunuh, maka itu adalah hal biasa sebagaimana telah terjadi pula pada nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya. Ada yang mati biasa dan ada yang terbunuh. Mengapa ada di antara kaum Muslimin yang murtad disebabkan mendengar berita Muhammad telah mati terbunuh?

Ketahuilah bahwa orang yang murtad tidak akan menimbulkan sesuatu mudarat kepada Allah. Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur kepada-Nya. Pengertian bersyukur biasa diartikan terima kasih. Berterima kasih dalam ayat ini bukanlah sekedar ucapan, tetapi dengan suatu perbuatan dan bukti yang nyata.

Bersyukur kepada manusia ialah berbuat baik kepadanya sebagai balas jasa, sedang bersyukur kepada Allah ialah berbakti kepada-Nya, sesuai dengan perintah-Nya. Di dalam menegakkan kebenaran, kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh, berjuang dengan penuh iman dan kesabaran dan rela menerima segala macam cobaan dan penderitaan. Orang-orang semacam inilah yang benar-benar bersyukur kepada Allah dan yang pasti akan mendapat balasan yang dijanjikan-Nya.

Ayat 145

Allah menyatakan, “Semua yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin-Nya, tepat pada waktunya sesuai dengan yang telah ditetapkan-Nya.” Artinya: persoalan mati itu hanya di tangan Tuhan, bukan di tangan siapa-siapa atau di tangan musuh yang ditakuti. Ini merupakan teguran kepada orang-orang mukmin yang lari dari medan Perang Uhud karena takut mati, dan juga merupakan petunjuk bagi setiap umat Islam yang sedang berjuang di jalan Allah. Seterusnya Allah memberikan bimbingan kepada umat Islam bagaimana seharusnya berjuang di jalan Allah dengan firman-Nya:

وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَا

… Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu,…(Ali ‘Imran/3:145)

Ini berarti setiap orang Islam harus meluruskan dan membetulkan niatnya dalam melaksanakan setiap perjuangan. Kalau niatnya hanya sekedar untuk memperoleh balasan dunia, maka biar bagaimanapun besar perjuangannya, maka balasannya hanya sekedar yang bersifat dunia saja. Dan barang siapa yang niatnya untuk mendapat pahala akhirat, maka Allah akan membalasnya dengan pahala akhirat. Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur yaitu orang-orang yang mematuhi perintah-Nya dan selalu mendampingi Nabi-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Maqdis
Maqdis
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat literasi di CRIS Foundation.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...