BerandaTafsir TahliliTafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 177-182

Tafsir Surat Ali ‘Imran Ayat 177-182

Ayat 177

Setelah Allah membuka kedok orang-orang yang membantu dan memihak orang-orang kafir yang menentang kaum Muslimin, dan menegaskan bahwa mereka pada hakikatnya menentang dan memerangi Allah, maka pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa hal itu juga berlaku untuk setiap orang yang lebih mengutamakan kekafiran daripada keimanan.

Mereka tidak memberi mudarat kepada Allah sedikitpun, dan bagi mereka azab yang pedih. Mereka tidak akan dapat melakukannya, karena Allah membela Islam. Justru mereka akan mendapat hukuman yang berat di akhirat.

Ayat 178

Janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu menyangka bahwa dibiarkannya mereka berumur panjang adalah baik bagi diri mereka. Tidaklah demikian halnya, kecuali kalau mereka bermartabat dan mengerjakan amal saleh yang akan menyucikan dan membersihkan mereka dari hal-hal yang keji dan sifat-sifat yang jelek.

Hal-hal yang semacam itulah yang akan bermanfaat bagi mereka dan bagi manusia lainnya. Tetapi kenyataannya, mereka tetap saja berbuat maksiat dan dosa. Dengan demikian mereka membinasakan diri mereka sendiri, sehingga mereka mendapat azab yang menghinakan.

Ayat 179

Salah satu sunatullah kepada hamba-Nya yang tidak dapat diubah-ubah ialah bahwa Dia tidak akan membiarkan orang-orang mukmin tetap di dalam kesulitan sebagaimana halnya pada Perang Uhud. Allah akan memisahkan orang-orang mukmin dari orang-orang munafik, dan akan memperbaiki keadaan orang mukmin dan memperkuat iman mereka.

Di dalam keadaan sulit dan susah, dapat dinilai dan dibedakan antara orang-orang yang kuat imannya dengan orang-orang yang lemah imannya. Kaum Muslimin diuji sampai di mana iman dan kesungguhan mereka menghadapi kaum kafir.

Setelah kaum Muslimin mengalami kesulitan dalam Perang Uhud karena dipukul mundur oleh musuh, dan mereka hampir-hampir patah semangat, di kala itulah diketahui bahwa di antara kaum Muslimin ada orang-orang munafik yang menyeleweng, berpihak kepada musuh. Orang-orang yang lemah imannya mengalami kebingungan. Berlainan halnya dengan orang-orang yang kuat imannya, kesulitan yang dihadapinya itu mendorong mereka untuk menambah kekuatan iman dan semangat mereka.

Hal-hal yang gaib dan hikmah yang tersembunyi dalam peristiwa ini, tidak diperlihatkan, kecuali kepada orang-orang tertentu, seperti kepada rasul yang telah dipilih oleh Allah. Di antara rasul-rasul, Nabi Muhammad saw. dipilih oleh Allah dengan memberikan keistimewaan kepadanya berupa pengetahuan untuk menanggapi isi hati manusia, sehingga dia dapat menentukan siapa di antara mereka yang benar-benar beriman dan siapa pula yang munafik atau kafir.

عٰلِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلٰى غَيْبِهٖٓ اَحَدًاۙ  ٢٦  اِلَّا مَنِ ارْتَضٰى مِنْ رَّسُوْلٍ فَاِنَّهٗ يَسْلُكُ مِنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ رَصَدًاۙ  ٢٧

Dia Mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.  (al-Jinn/72: 26-27)

Sesudah diterangkan celaan-celaan kaum munafikin atas kenabian Muhammad saw setelah Perang Uhud dan menjelaskan bahwa peristiwa Uhud itu banyak mengandung iktibar, maka orang-orang mukmin diperintahkan agar tetap beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan kepada Nabi Muhammad saw yang membenarkan rasul-rasul sebelumnya.

Jika mereka beriman kepadanya terutama mengenai hal-hal yang gaib dan bertakwa kepada Allah dengan menjauhi larangan-larangan-Nya, mematuhi segala perintah-perintah-Nya, maka mereka akan memperoleh pahala yang amat besar.

Di dalam Alquran sering disusulkan kata takwa sesudah kata iman sebagaimana halnya kata zakat sesudah kata salat. Itu menunjukkan bahwa iman itu barulah sempurna jika disertai dengan takwa, sebagaimana halnya salat barulah sempurna jika zakat dikeluarkan.

Ayat 180

Orang-orang yang telah diberi harta dan limpahan karunia oleh Allah kemudian mereka bakhil, tidak mau mengeluarkan kewajiban mengenai harta tersebut, seperti zakat dan lain-lain, adalah sangat tercela. Janganlah sekali-kali kebakhilan itu dianggap baik dan menguntungkan bagi mereka.

Harta benda dan kekayaan akan tetap utuh dan tidak kurang bila dinafkahkan di jalan Allah, bahkan akan bertambah dan diberkahi. Tetapi kebakhilan itu adalah suatu hal yang buruk dan merugikan mereka sendiri, karena harta yang tidak dinafkahkan itu akan dikalungkan di leher mereka kelak di hari kiamat sebagai azab dan siksaan yang amat berat, sebab harta benda yang dikalungkan itu akan berubah menjadi ular yang melilit mereka dengan kuat. Nabi Muhammad saw bersabda:

مَنْ اَتَاهُ الله ُمَالاً فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ شُجَاعًا اَقْرَعُ لَهُ زَبِيْـبَتَانِ يُطَوِّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَقُوْلُ: اَنَا مَالُكَ اَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلاَ هٰذِهِ اْلاٰيَةَ

(رواه البخاري والنسائي عن أبي هريرة)

Siapa yang telah diberi harta oleh Allah, kemudian tidak mengeluarkan zakatnya, akan diperlihatkan hartanya berupa ular sawah yang botak, mempunyai dua bintik hitam di atas kedua matanya, lalu dikalungkan kepadanya di hari Kiamat nanti. Ular itu membuka rahangnya dan berkata, “Saya ini adalah hartamu, saya ini adalah simpananmu,” kemudian Nabi membaca ayat ini. (Riwayat al-Bukhari dan al-Nasa’i dari Abu Hurairah)

Sebenarnya segala apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah, diberikannya kepada orang yang dikehendaki-Nya sebagai titipan dan amanat. Sewaktu-waktu dapat dicabut dan dipindahkan ke tangan orang lain menurut kehendak-Nya. Jadi apakah alasan bagi mereka yang bakhil dan tidak mau mengeluarkan harta Allah untuk mencari rida-Nya? Apa saja yang dikerjakan seseorang, semuanya itu diketahui oleh Allah dan dibalas sesuai dengan amal dan niatnya. Nabi Muhammad saw bersabda:

اِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّـيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Bahwasanya amal itu tergantung dari niat, dan bahwasanya setiap orang akan memperoleh sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin al-Khattab).

Ayat 181

Ketika turun wahyu Allah:

مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا

Barang siapa meminjami Allah (menginfakkan hartanya) dengan pinjaman yang baik …(al-Baqarah/2:245),

maka datanglah seorang Yahudi kepada Rasulullah saw dan berkata, “Apakah Tuhanmu fakir? Lalu meminta-minta kepada hamba-Nya agar diberi pinjaman? Kami ini adalah orang-orang yang kaya.” Maka turunlah ayat ini. Sesungguhnya Allah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan, “Bahwasanya Allah fakir dan kami ini kaya.”

Dan percayalah bahwa kata-kata dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar itu akan dicatat, kemudian sebagai balasan, mereka akan diberi ganjaran azab yang setimpal. Pada waktu itulah Allah akan mengatakan kepada mereka, “Rasakanlah azab yang membakar ini sebagaimana pengikut-pengikut rasul telah merasakan pedihnya kata-katamu di dunia yang menusuk perasaan.”

Ayat 182

Azab yang pedih yang berlaku atas mereka (kaum Yahudi) adalah  akibat perbuatan mereka sendiri di dunia. Mereka mengatakan, bahwa Allah fakir. Mereka membunuh Nabi-nabi, melakukan perbuatan-perbuatan fasik, maksiat dan lain-lain.

Allah sekali-kali tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya. Allah memperlakukan hamba-hamba-Nya sesuai amal perbuatannya. Firman Allah

هَلْ جَزَاۤءُ الْاِحْسَانِ اِلَّا الْاِحْسَانُۚ

Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula). (ar-Rahman/55:60)

Kalau perbuatannya baik dibalas dengan surga, dan kalau perbuatannya buruk dibalas dengan neraka. Allah tidak akan memperlakukan orang yang berbuat maksiat sama dengan orang bertakwa, begitu juga orang-orang kafir tidak sama dengan orang  mukmin.

اَمْ حَسِبَ الَّذِيْنَ اجْتَرَحُوا السَّيِّاٰتِ اَنْ نَّجْعَلَهُمْ كَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَوَاۤءً مَّحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۗسَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ ࣖࣖ

Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan itu mengira bahwa Kami akan memperlakukan mereka seperti orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, yaitu sama dalam kehidupan dan kematian mereka? Alangkah buruknya penilaian mereka itu. (al-Jasiyah/45:21)

(Tafsir Kemenag)

Maqdis
Maqdis
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat literasi di CRIS Foundation.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...