BerandaTafsir TematikTafsir Surat Ali Imran ayat 65-66: Polemik Wacana Sejarah Nabi Ibrahim dalam...

Tafsir Surat Ali Imran ayat 65-66: Polemik Wacana Sejarah Nabi Ibrahim dalam Al-Quran

“Yang mampu mengendalikan masa lalu,” kata George Orwell, “akan menguasai masa depan. Yang mampu mengontrol masa kini akan menguasai masa lalu.” Quote Orwell ini sudah sangat masyhur di kalangan penggemar sastra. Kami kutip kembali di sini, setidaknya untuk sekedar menggambarkan bagaimana peranan sejarah (atau diperankan?) sebagai pemain kunci dalam membentuk wacana hingga kuasa.

Dalam konteks pembacaan atas Al-Quran terdapat satu fragmen yang menggambarkan polemik wacana atas sejarah. Dikalamkan pada Surat Ali Imran ayat 65:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تُحَاجُّونَ فِي إِبْرَاهِيمَ وَمَا أُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ إِلَّا مِنْ بَعْدِهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Wahai ahli kitab, mengapa kalian berbantah-bantahan mengenai Ibrahim, padahal tidaklah Taurat dan Injil diturunkan kecuali setelah dia, apakah kalian tidak berpikir?

Imam Ath-Thabari mengutip beberapa riwayat perihal ayat di atas. Dari jalur sanad Sa‘id bin Jubair dan Ikrimah dari Ibn Abbas, beliau menyebut bahwa suatu ketika beberapa tokoh Nasrani Najran dan Rahib Yahudi berkumpul bersama Rasulullah SAW, mereka berdebat di hadapan beliau. Para Rahib menyatakan bahwa tiada lain agama nabi Ibrahim adalah Yahudi. Tokoh Nasrani membantah dengan menyabut bahwa nabi Ibrahim beragama Nasrani. Oleh karena hal ini ayat di atas turun.

Riwayat lain yang dikutip juga oleh al-Thabari dari jalur Qatadah menyebutkan bahwa ada masa di saat Nabi Muhammad SAW menyeru Yahudi Madinah kepada kalimat yang sama (baca: tauhid), sementara mereka berdalih bahwasanya nabi Ibrahim meninggal sebagai seorang Yahudi. Dalih mereka selanjutnya terbantahkan dengan turunnya ayat di atas.

Al-Thabari menambahkan tafsir perihal kalam ‘apakah kalian tidak berpikir?’  yakni apakah kalian tidak memahami kesalahan pernyataan kalian? Sementara kalian mengetahui bahwa Yahudi dan Nasrani barulah muncul jauh setelah masa nabi Ibrahim.

Sekilas pernyataan al-Thabari di atas terkesan tidak bermasalah. Namun dari situ muncul pertanyaan bukankah Islam juga hadir jauh setelah kedua agama tersebut, lebih-lebih nabi Ibrahim. Dan Al-Qur’an mengklaim nabi Ibrahim sebagai Muslim. Di mana letak kesalahan mereka, sementara Al-Qur’an juga melakukan hal yang sama?

Baca Juga: Ibn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir

Pertanyaan di atas dijawab secara gamblang oleh Imam Ar-Razi dalam kitab tafsir beliau, Mafatih al-Ghaib. Bahkan Imam Ar-Razi menambahkan, “Jika kita dapat berdalih bahwa maksud dari pernyataan Nabi Ibrahim adalah Muslim yakni pada aspek ushul yang sama hakikatnya dengan Islam, lantas mengapa Yahudi dan Nasrani tidak boleh menyatakan hal serupa? Secara, mereka juga bisa bilang bahwa maksud pernyataan mereka adalah nilai serta fundamen ajaran agama Ibrahim sama dengan agama mereka. Sehingga dengan tafsiran ini, masalah Taurat dan Injil yang turun belakangan tidak dapat menafikan bahwa nabi Ibrahim adalah seorang Yahudi atau Nasrani. Seperti halnya Al-Qur’an yang juga turun setelahnya tidak dapat menjadi dalil penafian bahwa nabi Ibrahim adalah seorang Muslim.”

Adakah yang gelisah dengan peryataan Ar-Razi di atas? Tenang, apa yang beliau ungkapkan tersebut hanyalah intermezzo. Setidaknya sampai di sini secara tidak langsung kita belajar dari al-Razi bahwa membaca suatu wacana tidak dapat dilakukan secara sederhana dan polos. Perlu pengamatan lebih dalam bahkan mungkin pendekatan tertentu untuk dapat memaknai waacana secara diskursif.

Selanjutnya ِAr-Razi menjawab kegelisahan di atas dengan menyatakan, “Bahwasanya Al-Qur’an mengabarkan Ibrahim sebagai seorang hanif, seorang Muslim. Sementara di dalam Taurat dan Injil tidak dinyatakan bahwa Ibrahim adalah Yahudi atau Nasrani. Dari sini perbedaan mulai terlihat.”

Paling tidak kita dapat menyatakan bahwa dengan kesamaan status sebagai kitab yang turun setelah nabi Ibrahim, hanya dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa nabi Ibrahim adalah seorang Muslim. Sementara dalam Taurat dan Injil tidak disebutkan mengenai ihwal keyahudian atau kenasranian beliau.

Lebih lanjut Ar-Razi menambahkan, “Adapun Nasrani bukanlah berdasar pada agama Ibrahim. Jelas bahwa al-Masih muncul setelah zaman Ibrahim, penyembahan terhadapnya belum ada kala itu, pastinya. Penyembahan terhadap al-Masih pun menyelisihi ajaran Ibrahim.”

“Sementara Yahudi tidak atas agama Ibrahim tiada lain karena kaum Yahudi tidak terima jika nabi Musa hanya disebut sebagai fakih atau muqarrir dari syariat para nabi sebelumnya. Mereka tidak hanya menyatakan bahwa agama para nabi sebelumnya telah dinasakh melainkan juga mengingkarinya. Oleh karenanya mereka tidak dapat dikatakan sesuai dengan agama Ibrahim.” Di titik inilah menurut al-Razi klaim Yahudi dan Nasrani atas Nabi Ibrahim terlihat  mentah.

Penafsiran Ar-Razi di atas tidak dapat dipisahkan dengan tafsirnya pada ayat selanjutnya, surat Ali Imran ayat 66:

هَا أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُون

Begitulah kalian! Kalian berbantah-bantahan mengenai apa yang kalian ketahui, tetapi mengapa kalian juga berbantahan tentang yang tiada kalian ketahui. Dan Allah mengetahui sedang kalian tidak menegetahui.

Maksud dari ‘kalian berbantah-bantahan mengenai apa yang kalian ketahui’  menurut Ar-Razi yakni mereka menyangka bahwa syariat Taurat dan Injil berbeda dengan syariat Al-Qur’an. Maka mengapa ‘kalian juga berbantahan tentang yang tiada kalian ketahui’ yakni tuduhan mereka bahwa syariat Ibrahim berbeda dengan syariat Muhammad SAW.

Ar-Razi menegaskan bahwa syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW dari yang ushul secara keseluruhan sampai dalam beberapa aspek furu‘, sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim. Sementara konteks Yahudi dan Nasrani yang telah banyak berubah ajarannya menjadikan yang ushul dari mereka begitu berbeda dengan ajaran Nabi Ibrahim.

Baca Juga: Tiga Posisi Amr Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsir Ar Razi

Dari sini kita dapat melihat posisi Nabi Ibrahim yang tercatat dalam sejarah sebagai bapak para nabi sekaligus tokoh sentral ajaran tauhid direkonstruksi oleh Al-Qur’an. Jangan sampai tokoh yang hanif dipelintir sejarahnya menjadi seorang yang keluar dari ketauhidan. Atau jangan sampai sesama ajaran tauhid dan hanif dikonstruk memiliki perbedaan.  

Demikian kritik Al-Qur’an atas sejarah palsu yang didengungkan oleh ahli kitab. Jadi, sudahkah kita sebagai Muslim dapat mengambil pelajaran untuk juga kritis terhadap sejarah? Atau sekedar jadi buih yang dikuasai wacana sejarah semu? Semoga Allah SWT menunjukkan jalan lurus bagi kita. Wallahu a‘lam.

Muhammad Fathur Rozaq
Muhammad Fathur Rozaq
Mahasiswa Doktoral Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU