Apakah benar perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki? Surat An Nisa ayat 1 merupakan ayat tentang asal kejadian manusia yang memicu polemik di antara mufassir. Kubu tekstualis menyatakan bahwa ayat tersebut menginformasikan bahwa Adam as merupakan manusia pertama, dan hawa lahir dari tulang rusuknya. Bahkan penafsiran demikian mereka generalisasikan kepada seluruh perempuan, sehingga menggiringnya pada klaim bahwa laki-laki adalah superior, sedangkan perempuan inferior.
Pemahaman itu timbul atas dasar penafsiran secara tekstual terhadap redaksi min nafsin wahidah yang tertera dalam ayat 1 surat an nisa berikut ini:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
At-Thabari (w. 923), ibnu Athiyyah (w. 1159), Az-Zamakhsyari (w. 1144), As-Sinqqithi (w. 1973), al-Qurthubi (w. 1273), dan Az-Zuhaili sepakat mengartikan nafsin wahidah dengan Adam. Kemudian untuk menguatkan argumennya, kelompok mufassir ini mengacu pada hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hurairah ra dan Imam Bukhari berikut ini:
فعن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (استوصوا بالنساء، فإن المرأة خلقت من ضلع، وإن أعوج شيء في الضلع أعلاه، فإن ذهبت تقيمه كسرته، وإن تركته لم يزل أعوج، فاستوصوا بالنساء) متفق عليه
DijjJriwayatkan dari Abi Hurairah ra., ia berkata: Nabi telah bersabda: berilah nasihat kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk paling condong ialah yang paling atas. Bila kamu biarkan akan sentiasa condong. Maka berilah nasihat kepadanya. HR Bukhari Muslim.
Hadis ini seakan menjadi tendensi tak terbantahkan bagi mufassir yang menyatakan perempuan tercipta dari tulang rusuk. Karena, secara makna harfiah menginformasikan demikian. Sedangkan menurut al-ashfahani Bila meninjau dalam ayat lain yang mengandung redaksi nafs seperti QS. At-Taubah 128, QS. ar-Rum ayat 21, dan QS. Al-Jum’ah ayat 2, kata nafsun wahidah pada QS An Nisa 1 tersebut cenderung bermakna jenis yang sama.
Begitu pula, menurut Amina Wadud, kata zauj di QS an-Nisa 1 di atas tidak khusus mencakup perempuan, melainkan laki-laki pula. Sehingga, mengandung arti bahwa tiap tiap individu berasal dari satu jenis yang sama, begitu pula dengan pasangannya.
Abu Hayyan (w. 1344), al-Maraghi (w. 1952), al-Qasimi (w.1914), Rasyid Rida (w. 1935), al-Sya’rawi (w. 1998 ) dan M. Quraish Shihab juga seirama dengan dua tokoh sebelumnya, bahwa yang dimaksud nafsin wahidah ialah kesamaan jenis, unsur ataupun hakikat.Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hawa tidak diciptakan dari Adam, tetapi dari jenis yang sama sebagaimana Adam.
Abu Hayyan kemudian menjelaskan, muasal laki-laki dan perempuan dari satu jenis yang sama mengandung nilai kesamarataan, sehingga adalah tidak pantas bila salah satu merasa sombong dan menjatuhkan yang lain. Asal yang sama ini juga seharusnya memunculkan rasa saling kasih dan sayang antar manusia, imbuh al-Qasimi. Adapun al-Maraghi menonjolkan nilai saling tolong menolong antar sesama dalam ayat tersebut.
Sementara itu, Abu Hayyan mengarahkan hadis tersebut pada perempuan secara keseluruhan, tidak hanya pada hawa. Abu Hayyan lebih memilih mengartikan hadis itu sebagai perumpamaan. Artinya, tulang rusuk dan sifatnya merupakan analogi dari perempuan yang memiliki karakter berbeda sehingga tidak bisa dipaksakan.
Surat an Nisa ayat 1 yang ditafsirkan secara tekstual dengan hadis sahih tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk sudah kehilangan relevansinya. Dengan tafsir tandingngan yang diuraikan al-Ashfihani, yang bahkan lebih kuat karena mentafsir dengan Alquran. Begitu pula Abu Hayyan dan seterusnya, yang cenderung kontekstual dan kritis, sekalipun dengan hadis yang sahih. Wallahu a’lam[]