Al Quran selalu memiliki uslub (gaya bahasa) yang sangat menarik dan siapapun akan terkagum-kagun dengannya. Demikian pula ketika Al Quran menyebut kunci langit dengan maqalid as-samawat. Namun, kata maqalid jika dipahami secara letterlijk maka akan menimbulkan kerancuan. Karenanya, pada pembahasan ini akan dijelaskan bagaimana makna kunci langit (maqalid as-samawat) yang dikemukakan oleh para mufasir.
لَهٗ مَقَالِيْدُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِ اللّٰهِ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ࣖ
Milik-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang yang rugi. (Q.S. az-Zumar [39]: 63)
Kata Maqȃlid adalah bentuk jamak dari kata miqlȃd atau maqlīd, yang berarti memiliki, mengatur, menjaga, dan memelihara. Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim mengutip pendapat dari Mujahid. Beliau mengatakan,
لَهُ مَقَا لِيْدُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قال مجاهد: اْلمَقَالِيْدُ هِيَ : اْلمفاتيح بالفارسية و كذا قال قتادة وابن زيد وسفيان بن عيينة وقال السدي : له مقا ليد السماوات والأرض أي : خزائن السماوات و الارض و المعنى على كلا القولين : أن أزمّة الأمور بيده , له الملك و له الحمد , وهو علي كل شيئ قدير
“Maqȃlid artinya kunci-kunci, bahasa asalnya adalah bahasa persia. As-Sadâ berkata bahwa yang dimaksud dengan Maqȃlid (dalam redaksi ayat lahu maqâlîd as-samâwâti wal ‘ardh) yaitu pembendaharaan langit dan bumi. Dan makna tersebut mencakup pada keduanya (langit dan bumi). Sesungguhnya kendali semua urusan itu berada pada kekuasaan Allah Swt. Kepada-Nya-lah kerajaan (langit dan bumi) dan segala puji bagi-Nya. Dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu.”
Secara terminologi, para mufassir klasik umumnya mengartikan kata Maqȃlid dengan makna pembendaharaan Allah yang ada pada penciptaan langit dan bumi. Seperti dalam Tafsir al-Muyassar, dijelaskan bahwa pembendaharaan tersebut terkandung rezeki dan rahmat. Sedangkan bila diartikan sebagai kunci dapat bermakna pengaturan Allah terhadap segala yang ada di langit dan dibumi, tidak ada yang terlewat dari-Nya satu makhluk pun.
Sementara Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Wajiz ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan maqȃlid adalah dapat berupa air hujan, tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya. Dalam Tafsir Jalalain juga di jelaskan bahwa yang dimaksud dengan maqȃlid adalah kunci pembendaharaan langit dan bumi seperti hujan, tumbuh-tumbuhan, dan selainnya.
Baca juga: Alasan Kenapa Al-Quran Diturunkan Berbahasa Arab
Dari pemaparan para ulama tafsir diatas, setidaknya kita bisa menemukan pemahaman dimana Allah Swt adalah zat pencipta segala sesuatu yang ada, baik dilangit maupun dibumi. Dia-lah pencipta alam seluruhnya, tak ada sesuatupun yang dapat menciptakan selain Dia.
Ini adalah suatu hakikat kebenaran yang tidak seorangpun dapat mengingkarinya. Tidak ada seorangpun dapat menyatakan bahwa dirinya pencipta alam, karena tak akan diterima akal bahwa seseorang mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan jagad raya ini, dan tidak dapat pula diterima akal bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada penciptanya.
Oleh sebab itu, pastilah alam ini diciptakan oleh Zat yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui segala sesuatu, itulah Dia Allah Swt. Allah-lah yang mengurus segala yang ada, ilmu-Nya sangat Luas, mencakup semua makhluk-Nya. Dia-lah yang mengendalikan alam sejak dari yang sekecil-kecilnya sampai kepada yang sebesar-besarnya.
Dia mengendalikan semua itu sesuai dengan ilmu, hikmah dan kebijaksanaan-Nya. Tak ada suatu makhluk pun yang ikut campur tangan dalam penciptaan dan pengendalian itu. Inilah yang dapat diterima oleh akal yang sehat dan dapat diterima oleh hati nurani manusia.
Baca juga: Tafsir Surat An-Nahl ayat 15-16: Nikmat Allah Bagi Penduduk Bumi
Meskipun demikian, masih banyak orang yang mengingkari hakikat ini dan mengatakan bahwa dialah yang berkuasa, dan dialah Tuhan (sebagaimana fir’aun), atau mengemukakan berbagai macam teori mengenai alam untuk menetapkan bahwa alam jagad raya ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakannya.
Orang seperti ini adalah orang-orang kafir yang selalu mengingkari bukti-bukti kekuasaan Allah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-An’am ayat 1:
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمٰتِ وَالنُّوْرَ ەۗ ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan menjadikan gelap dan terang, namun demikian orang-orang kafir masih mempersekutukan Tuhan mereka dengan sesuatu. (Q.S. al-An’am [6]: 1)
Ayat ini berkaitan dengan redaksi kedua surah az-Zumar ayat 63, yang menjelaskan bahwa orang-orang kafir kepada ayat-ayat Allah digolongkan ke dalam orang yang merugi, karena pada saat itu masih ada yang mengingkari terhadap penciptaan alam raya ini. Contohnya adalah Raja Fir’aun yang bahkan mengaku sebagai Tuhan.
Baca juga: Nabi Adam dalam Al-Quran: Manusia Pertama dan Tugasnya di Dunia
Dalam kitab-kitab klasik seperti Lubȃb an-Nuqȗl fī Asbabi an-Nuzul, al-Itqân fȋ ̓Ulûm al-qur’ȃn karya Imam as-Suyȗti, at-Tibyân fȋ ̓Ulûm al-qur’ȃn karya Ali as-Sabuni, Asbȃb an-nuzûl al-qur’ȃn karya al-Wahidi, penulis belum menemukan asbabun nuzul-nya. Yang jelas dalam satu riwayat, Ayat ini dibahas berkenaan dengan pertanyaan yang disampaikan oleh sahabat Utsman kepada Rasulullah mengenai redaksi ayat,
لَهٗ مَقَالِيْدُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ
Rasulullah Saw, bersabda diriwayatkan oleh Utsman r.a, bahwa ketika ia menanyakan kepada Rasulullah tentang firman Allah “Hanya bagi Allah, maqalid langit dan bumi” beliau menjawab, “Hai Utsman, engkau menanyakan kepadaku sesuatu yang belum pernah ditanyakan seseorang pun kepadaku sebelumnya. “Maqalid as-samawati wa al-ardh”, ialah ucapan
“Tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, Maha Suci Allah, Segala puji bagi Allah, aku memohon ampun kepada Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang Awal Yang Akhir, Yang Lahir, Yang Batin, Menghidupkan, Mematikan, sedang Dia tetap hidup dan tidak mati, ditangan-Nyalah segala kebaikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Barang siapa yang membawa ucapan ini dia akan mendapatkan kebaikan yang ada di langit dan di bumi.
Singkatnya penulis dapat menyimpulkan bahwa makna yang disepakati pada umumnya oleh para mufassir adalah memaknai kata maqȃlid as-samawati (kunci langit) sebagai pembendaharaan yang asalnya muncul dari langit dan bumi yaitu berupa air hujan dan tumbuh-tumbuhan. Sehingga dengan memperhatikan kedua anugerah alam ini, manusia dapat mengerti bahwa hal itu merupakan kunci anugerah Allah dalam kehidupan manusia yang harus benar-benar dimanfaatkan secara maksimal untuk kehidupan di bumi.