BerandaTafsir TematikTafsir Surat Thaha Ayat 44: Nilai Kelembutan dalam Berdakwah

Tafsir Surat Thaha Ayat 44: Nilai Kelembutan dalam Berdakwah

Kelembutan adalah sikap syahdu yang selalu diminati oleh setiap orang. Kelembutan dalam berdakwah merupakan modal utama bagi muballigh atau muballighah. Melekatkan diri dengan sikap tersebut adalah sebuah keharusan. Sehingga, pendengar dapat merasa damai dan mudah mencerna apa yang disampaikan. Surat Thaha ayat 44 sangat populer dengan pesan kelembutan dalam berdakwah.

Dewasa ini, kita melihat problematika terkait metode penyampaian dalam berdakwah yang justru berisi ketidak-elokan. Rasanya cukup miris jika firman Allah SWT atau sabda Rasulullah SAW disandingkan dengan ungkapan yang tidak mengelokkan. Hal ini menjadi perhatian banyak kalangan, karena dirasa tidak selaras dengan ajaran agama Islam yang mengajarkan kedamaian.

Nilai kelembutan adalah bagian dari keindahan ajaran agama Islam. Islam mengajarkan kita tentang nilai kelembutan yang senantiasa melahirkan kedamaian bagi semesta alam, utamanya kelembutan dalam berdakwah. Bukankah Rasulullah SAW pun mengajarkan hal itu kepada kita semua. Seperti di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

إِنَّ الرِّفْقَ لاَيَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَ عُ مِنْ شَيءٍ إِلاَّ شَانَهُ

Artinya: “Sungguh, tidak ada sesuatu yang dihiasi dengan kelembutan kecuali akan nampak indah. Sebaliknya, sesuatu tanpa kelembutan tidak akan ada kecuali nampak buruk.” (HR. Muslim)

Dari hadis ini kita belajar tentang pentingnya nilai kelembutan. Setiap dari kita hendaknya mengaplikasikan nilai ini ke dalam kehidupan, khususnya dalam dakwah yang kita lakukan. Kelembutan akan senantiasa melahirkan kebaikan. Sebaliknya, kasar atau kekerasan akan senantiasa melahirkan keburukan.

Kelembutan dalam berdakwah ini sebagaimana telah disampaikan dalam firman Allah Q.S. Thaha [20] ayat 44:

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى ٤٤

Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (Q.S. Thaha [20]: 44)

Baca Juga: Tafsir Surah Thaha Ayat 43-44: Cara Menasehati Orang Lain

Belajar dari dakwah Nabi Musa terhadap Fir’aun    

Ayat ini (Q.S. Thaha [20]: 44) bertendensi pada kisah perjalanan Nabi Musa as yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk memberikan pengajaran yang baik kepada Fir’aun. Langkah tersebut adalah bagian dari ikhtiar yang harus dilakukan oleh Nabi Musa as untuk mengajak Fir’aun ke jalan yang benar. Maka, turunlah ayat ini sebagai metode yang dapat digunakan Nabi Musa as dalam menyampaikan dakwahnya.

Ayat ini (Q.S. Thaha [20]: 44) menjelaskan tentang pentingnya memilih metode yang tepat dalam menyampaikan dakwah Islam, yakni dengan retorika atau perkataan yang lembut. Kelembutan dalam berdakwah yang melekat pada setiap ungkapan akan melahirkan kebaikan bagi pendengar, karena pada dasarnya setiap manusia senang terhadap kebaikan.

Ibnu Katsir di dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, ia mengungkapkan bahwa ayat ini menceritakan tentang kisah Nabi Musa as yang merupakan manusia terbaik saat itu. Ia menyampaikan ajaran Islam yang penuh dengan nilai kelembutan kepada raja Fir’aun dengan cara yang lembut pula. Dengan nilai kelembutan akan senantiasa melahirkan efektifitas dalam berdakwah.

Baca Juga: Kisah Dialog Harun Ar-Rasyid dengan Seorang Ustadz dan Seni Berdakwah Qur’ani

Lalu, Asy Sya’rawi di dalam kitabnya Tafsir Asy Sya’rawi, menjelaskan bahwa di ayat ini Nabi Musa as secara tidak langsung diperintahkan oleh Allah untuk memberi jeda berpikir kepada raja Fir’aun dalam mempertimbangkan firman-firman Allah SWT. Nilai kelembutan ini dilekatkan oleh Nabi Musa as dalam dakwahnya terhadap Fir’aun kala itu. Setiap nasihat, tentunya amat berat ketika langsung diterima. Maka, hendaknya dengan nilai kelembutan dan kesabaran nasihat itu disampaikan.

Kemudian, perkataan lembut di ayat ini menurut Ibnu Asyur dalam kitabnya Tafsir At Tahrir Wat Tanwir, ialah yang senantiasa melahirkan kegembiraan, informasi yang mudah dipahami.  Perkataan tersebut menjadi manifestasi dari cara berpikir pendakwahnya sehingga dapat diterima dengan baik. Lalu, perkataan lembut yang dimaksud pun ialah yang tidak berisi kebohongan dan penghinaan.

Sebagaimana dimaklumi bersama, kisah Nabi Musa as dan Fir’aun ini sering sekali dipahami sebagai simbol atau representasi dari dua karakter manusia, baik dan buruk, atau lebih tepatnya sangat baik dan sangat buruk. Jika terhadap orang yang sangat buruk seperti Fir’aun saja masih diperintah untuk mengajaknya dengan lembut, maka terhadap yang lain seharusnya juga berlaku yang sama.

Semangat yang sama juga terlihat pada ayat lain, Q.S. An Nahl [16] ayat 125 

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ ١٢٥

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An Nahl [16]:125)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Dakwah Rasulullah itu Menyampaikan Kebenaran dengan Cara yang Benar Pula

Muhammad Quraish Shihab dalam kitabnya Tafsir Al Mishbah mengklasifikasi cara berdialog, menyesuaikan dengan objeknya. Pertama, terhadap kaum cendekiawan untuk berdialog secara baik dan halus hingga menghasilkan solusi yang baik. Kedua, terhadap kaum awam untuk diberikan nasihat yang baik dan halus hingga dapat dipahami dan diterima dengan baik. Ketiga, berdialog atau berdebat dengan perwakilan agama selain Islam dengan cara yang baik dan halus hingga melahirkan solusi yang tepat. Setelah semuanya dilakukan, maka kita serahkan semuanya kepada Allah Yang Maha Lembut.

Di era media sosial, objek bicara sudah tidak bisa terbatas, semuanya bisa mengakses ungkapan dan perkataan siapapun. Oleh sebab itu, meneruskan semangat telaah dari M. Quraish Shihab di atas, berdakwah atau berdialog dalam media sosial harus hati-hati, harus bisa mengakomodir semua objek bicara, dan perkataan yang lembut dan santun akan bisa masuk ke hati semua orang, siapapun dia.  

Dapat disimpulkan, bahwa nilai kelembutan merupakan ajaran agama Islam yang dapat melahirkan beragam kebaikan. Ibarat alunan syair yang syahdu, nilai kelembutan akan melahirkan ketenangan dan kedamaian baik bagi penyairnya sendiri, maupun orang yang mendengarkannya. Wallahu A’lam

Muhamad Yoga Firdaus
Muhamad Yoga Firdaus
Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Gunung Djati Bandung
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...