BerandaTafsir TematikTafsir Surat Yasin Ayat 33-35: Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Swt di Muka Bumi

Tafsir Surat Yasin Ayat 33-35: Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Swt di Muka Bumi

Cerita Ashabul Qaryah telah diakhiri di ayat 32 dari surat Yasin yang menyatakan bahwa segala sesuatu akan kembali pada Allah Swt. Pada pembahasan selanjutnya, yakni tafsir surat Yasin ayat 33-35 akan dibahas tanda-tanda kekuasaan Allah Swt di muka bumi. Berikut teksnya:

وَآيَةٌ لَّهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ

وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّاتٍ مِّن نَّخِيلٍ وَأَعْنَابٍ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنَ الْعُيُونِ

لِيَأْكُلُوا مِن ثَمَرِهِ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ ۖ أَفَلَا يَشْكُرُونَ

( 33 ) Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan.

( 34 ) Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air.

( 35 ) supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?

Nawawi al-Bantani menerangkan, tiga ayat di atas mengisyaratkan kemampuan Allah Swt menghidupkan manusia setelah kematiannya. Bahwa Zat yang kuasa menghidupkan bumi yang mati dengan tetumbuhan dan bebijian itu tentulah kuasa pula menghidupkan manusia dari kematiannya.

Quraish Shihab menemukan adanya munasabah (kesinambungan) antara kelompok ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya. Setelah beberapa ayat sebelumnya mengajak manusia memperhatikan sejarah kaum yang mendustakan rasul, ayat ini kemudian mengajaknya memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt di alam semesta.

Selain itu, ayat-ayat sebelumnya juga membicarakan mengenai kepastian akan adanya kematian dan Hari Kembali. Sementara pada tiga ayat ini dijelaskan bagaimana kuasanya Allah Swt membangkitkan dan menghidupkan kembali apa yang telah mati.

Kematian bumi (tanahnya) menurut Hamka ada yang bersifat sementara atau musiman, yaitu ketika terjadi musim kemarau dan ada pula yang bersifat permanen. Ia mencontohkannya dengan padang pasir tandus di jazirah Arab yang dahulunya pernah menjadi daerah subur sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur’an di surat Saba’.

Allah Swt telah melimpahkan banyak karunianya kepada manusia melalui tanah yang subur. Dengannya mereka berkebun dan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Nikmat ini mestilah disyukuri dengan dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam menunjang ketaatan kepada Allah Swt dan tidak lupa pula ditunaikan zakatnya sesuai takarannya.

Yang menarik dari redaksi ayat di atas adalah penyebutan secara khusus kebun-kebun kurma dan anggur. Hal ini menurut Wahbah Az-Zuhaili karena kurma dan anggur termasuk buah yang dikenal di masyarakat Arab kala itu paling lezat, manis dan bergizi dibanding buah yang lain. Khasiat dua buah ini juga diamini oleh para pakar ilmu kesehatan masa kini.

Redaksi lain dari ayat yang banyak dibahas oleh para mufassir ialah frasa “ma amilathu aidihim.” At-Thabathaba’i misalnya menyatakan frasa tersebut setidaknya bisa dimaknai dua hal. Yang pertama, kata “ma” di sana dipahami sebagai nafiyah (meniadakan). Maknanya, “supaya mereka mengonsumsi apa yang berbuah dari bumi, meski itu sebenarnya bukan usaha mereka.” Dengan izin Allah lah tanah itu berbuah.

Tafsir yang kedua, kata “ma” dipahami sebagai maushulah (kata hubung). Dengan begitu maknanya menjadi, “supaya mereka mengonsumsi apa yang berbuah dari bumi dan apa yang diusahakan oleh tangan mereka dari buah tersebut seperti olahan manisan.”

Selanjutnya mengenai beberapa kata kerja di tiga ayat ini yang berbentuk jamak, padahal merujuk pada Allah Yang Maha Esa, Quraish Shihab memberikan penjelasan. Menurutnya, hal itu mengisyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut melibatkan selain Allah. Manusia misalnya ikut berkontribusi dalam menghidupkan dan mengelola bumi, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Terkait varian bacaan, Nawawi al-Bantani menyebutkan bacaan lain. Ialah  Hamzah dan al-Kisa’i yang membaca “min tsamarihi” dengan men-dammah-kan tsa dan mim, sehingga menjadi “min tsumurihi.”

Demikian pembahasan singkat dari tafsir surat Yasin ayat 33-35 tentang salah satu bukti kekuasaan Allah Swt di muka bumi. Nantikan pembahasan tafsir surat Yasin selanjutnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis sawab.

Lukman Hakim
Lukman Hakim
Pegiat literasi di CRIS Foundation; mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...