Ada banyak varian epistemologi dalam pendidikan Islam, salah satunya adalah epistemologi bayani. Kata bayani sendiri diperkenalkan oleh Muhammad Abid al-Jabiri dalam Bunyat al-‘Aql al-‘Araby. Sedangkan kata ‘epistemologi’ berasal dari bahasa Latin, episteme dan logos. Dalam Britannica, epistemologi diartikan sebagai studi filosofis tentang sifat, asal usul, dan batas pengetahuan manusia. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani epistēmē (“pengetahuan”) dan logos (“akal”), dan karenanya bidang ini kadang-kadang disebut sebagai teori pengetahuan.
Menurut al-Jabiri, nalar bayani terdapat dalam kajian ilmu kebahasaan, seperti nahwu, shorof, dan fiqih (Islamic jurisprudence), teologi (ilmu kalam), ilmu balaghah, dan termasuk pula dalam pendidikan Islam. Dalam konteks pendidikan Islam, epistemologi bayani sangat bermanfaat untuk menggali makna suatu teks yang selanjutnya dapat dikembangkan dan dikontekstualisasikan dalam realitas tertentu. Epistemologi bayani berangkat dari dikotomi, antara lafadz dengan makna, al-ashl (asal) dengan al-far’u (cabang), dan semacamnya yang akan kami ulas di bawah ini dengan merujuk pada tafsir Surat Ali Imran ayat 138.
Tafsir Surah Ali Imran Ayat 138
هٰذَا بَيَانٌ لِّلنَّاسِ وَهُدًى وَّمَوْعِظَةٌ لِّلْمُتَّقِيْنَ
Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua manusia, petunjuk, dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Ali Imran [3]: 138)
Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menjelaskan bahwa para ahli takwil berbeda pendapat tentang makna bayan dalam ayat di atas. Ada yang menafsirinya dengan Alquran, seperti Qatadah dan al-Hasan. Lanjut al-Tabari, ia menafsirkan makna bayan seperti di bawah ini,
هذا القرآن جعله الله بياناً للناس عامة، وهدى وموعظة للمتقين خصوصاً
“(Ini adalah pernyataan untuk orang-orang) dan Al-Qur’an ini bahwa Allah membuat bayan (penjelas) kepada manusia secara umum, dan sebagai hudan (petunjuk) dan mau’idzah (nasehat) bagi orang-orang yang bertakwa secara khusus”.
Jadi makna bayan dalam ayat di atas ternyata memiliki makna umum dan khusus. Makna yang lain yang dimaksud bayan linnas adalah syarh wa tafsir (syarah dan tafsir) untuk manusia. Ada juga yang menafsiri bahwa Alquran merupakan petunjuk untuk manusia dari kebutaan seperti yang disampaikan al-Sya’bi. Sedangkan makna hudan, al-Tabari menafsirinya dengan al-dilalah ala sabil al-haqqi wa manhaji al-din (petunjuk menuju kepada jalan kebenaran dan manhaj agama). Kemudian, mau’idzatan bermakna al-tadzkirah li shawab wa al-rasyad (pengingat untuk tetap berpegang teguh pada kebenaran dan petunjuk Allah). Dan lil muttaqin bermakna li man atha’ani wa ‘arafa amri (bagi siapapun yang taat kepada-Ku dan mengetahui dan menjalani apa yang Aku perintahkan).
Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Keharusan Berpikir Kritis Bagi Pendidik dan Peserta Didik
Sedangkan Al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf menafsiri makna bayan di atas dengan isyarah ila ma lakhasa wa baina min amri al-muttaqin wa al-taibin wa al-musharrin (sebuah rujukan atau referensi tentang apa yang dirangkum dan antara perintah orang shaleh, orang yang taubat dan orang yang teguh pendiriannya). Agak lebih terperinci, Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menjelaskan secara detail ketiga makna (yaitu, bayan, hudan dan mau’idzah) dalam redaksi ayat di atas. Pertama, al-bayan. Bayan menurutnya dibagi lagi menjadi dua, yaitu bayan yang bersifat menghilangkan kecurigaan dan bayan yang bersifat mengarahkan kepada petunjuk.
الأول: أن البيان هو الدلالة التي تفيد إزالة الشبهة بعد أن كانت الشبهة حاصلة، فالفرق أن البيان عام في أي معنى كان
“Pertama, Bayan merupakan sebuah petunjuk untuk menginformasikan atau mengabarkan agar bisa menghilangkan hal-hal yang syubhat (perkara yang tidak jelas asal-usulnya) setelah syubhat itu terjadi). Dan bayan itu merupakan pernyataan secara umum”.
Dari penafsiran al-Razi, bahwa bayan adalah sebuah penjelas atau petunjuk yang dapat membantu kita untuk dapat menghilangkan rasa kecurigaan kita terhadap sesuatu yang tidak jelas alias syubhat. Dengan demikian, sebuah perkara itu menjadi jelas dan tidak kabur.
Kedua, hudan. Menurut al-Razi, hudan bermakna,
وأما الهدى فهو بيان لطريق الرشد ليسلك دون طريق الغي فالحاصل أن البيان جنس تحته نوعان: أحدهما: الكلام الهادي إلى ما ينبغي في الدين وهو الهدى الثاني: الكلام الزاجر عما لا ينبغي في الدين وهو الموعظة
“Adapun hudan (petunjuk) adalah penjelas bagi jalan kebenaran tanpa mengikuti jalan kesesatan. Dalam hal ini, hudan bermakna dua hal, yakni perkataan orang yang memberi petunjuk agama itulah hudan, dan teguran terhadap apa-apa yang tidak sepatutnya dilakukan dalam agama itulah nasihat (mau’idzah)”.
Ketiga, makna berikutnya adalah bayan sebagai petunjuk (al-bayan huwa al-dilalah), dan dikatakan petunjuk jikalau hudan mengarah pada datangnya hidayah Allah. Sedangkan makna hudan wa mau’idzatan lil muttaqin bermakna dua hal, yaitu memberi kemanfaatan secara umum (annahum humul muntafi’una bihi) dan petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang bertakwa pada khususnya seperti juga yang disampaikan al-Tabari.
Tidak jauh berbeda dengan ketiga mufasir di atas, Ibn Katsir dalam Tafsir Ibn Katsir menjelaskan
يعني القرآن فيه بيان الأمور على جليتها، وكيف كان الأمم الأقدمون مع أعدائهم { وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ } يعني القرآن فيه خبر ما قبلكم
“Maksud saya, Al-Qur’an berisi penjelasan tentang hal-hal sebagaimana adanya, dan mengisahkan bagaimana kaum terdahulu bersama musuh-musuh mereka. Dan yang dimaksud hudan wa mau’idzatan adalah Alquran yang mengabarkan tentang apa yang datang sebelum kalian”.
Lebih dari itu, penafsiran bercorak sufistik disumbang oleh Al-Qusyairi. Dalam Lathaif al-Isyarat-nya, Ia menuturkan bahwa bayan bermakna bayan liqaumin min haitsu adillah al-‘uqul (penjelas bagi kaum yang menjunjung tinggi akalnya). Di samping itu, bayan juga bermakna mukasyafatul qulub (dapat membuka atau menyingkap tabir hati untuk dapat mendekat kepada-Nya) dan tajalli al-haqq fil asrar (perwujudan kebenaran dalam sirr atau rahasia hati manusia).
Artinya, Al-Qusyairi hendak mengatakan bahwa bayan (penjelas) memang diperuntukkan kepada manusia yang sedari awal dianugerahi akal untuk dapat berpikir dan memecahkan segala problematika yang ada. Bagi sufi, bayan sangat berguna guna sebagai petunjuk dan penjelas untuk menuju kepada-Nya (wushul ilallah).
Epistemologi Bayani dalam Pendidikan Islam
Mengikuti al-Jabiri, term bayani berasal dari bahasa Arab yang secara bahasa bermakna sesuatu yang jauh atau terbuka. Dalam Lisan al-‘Arab, Ibn Manzur mengartikan term al-bayan menjadi empat bagian, yakni pembeda, berbeda, jelas dan penjelasan. Dalam definisi yang lain, adalah kesinambungan (al-wasl), keterpilahan (al-fashl), jelas dan terang (al-dzuhur wa al-wudhuh), dan kemampuan menerangi dan orisinil.
Dari empat makna tersebut, kemudian dikerucutkan kembali menjadi dua, sebagaimana dipaparkan Abdul Mukti Rouf dalam Kritik Nalar ‘Arab Muhammad al-Jabiri, yaitu al-bayan sebagai metodologi (manhaj) dan al-bayan sebagai pandangan dunia (worldview atau ru’yah). Secara istilah, nalar bayani adalah metode pemikiran Arab yang menjadikan dunia teks sebagai parameter untuk menentukan kebenaran. Dari sini muncul pertanyaan, di manakah letak rasio?
Baca Juga: Menilik Makna Tazkiyah dalam Pendidikan Islam
Dalam hal ini, menurut al-Jabiri, nalar bayani tidak menjadikan rasio sebagai pondasi utama melainkan sebagai pelengkap. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya. Dalam perspektif keislaman, bidikan nalar bayani adalah aspek eksoterik (syariat Islam). Kaitannya dengan pendidikan Islam adalah banyak ragam mata pelajaran pendidikan Islam seperti Alquran hadits, Akidah Akhlak, Fikih, semuanya bertumpu pada pendayagunaan nalar bayani-‘irfani, ketimbang nalar burhani yang akan kami ulas pada artikel berikutnya.
Dalam perkembangannya, epistemologi bayani tidak hanya digunakan untuk menggali pengetahuan teks, tetapi juga digunakan untuk memahami realitas kondisi non fisik dan untuk memaknai realitas fisik secara logis (qiyas al-ghaib ‘ala al-syahid), antara lain tentang teori metafisika dan doktrin teologis. Karena hanya bertumpu pada teks, pemikiran bayani menjadi “terbatas” dan terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental daripada substansial, sehingga tidak mampu secara dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang cepat ini. Kenyataannya, pemikiran Islam saat ini yang didominasi fiqhiyah-bayani kurang mampu merespon dan mengimbangi perkembangan peradaban dunia.
Namun penting untuk dicatat, nalar bayani, meskipun beberapa kesarjanaan mengatakan terdapat keterbatasan seperti Masdar Hilmy, Amin Abdullah, Khudori Soleh, tetap menjadi pondasi utama dalam proses belajar mengajar dalam Pendidikan Islam. Tanpa epistemologi bayani (teks), bagaimana mungkin epistemologi burhani (saintifik-inkuiri) dan ‘irfani (intuitif) dapat terkembang. Justru melalui bayani, khazanah pengetahuan dalam Islam semakin berkembang dengan baik. Wallahu A’lam.