Realitas pendidikan Islam beserta lembaganya di era banjir informasi dan disrupsi, menuntut adanya transformasi dan inovasi demi masa depan generasi penerus yang lebih baik. Selama ini, kita masih banyak menjumpai pengajaran konten pendidikan Islam, seperti Alquran-hadis, fikih, sejarah kebudayaan Islam, dan akidah akhlak, “acapkali” diajarkan tak ubahnya pendidikan militeristik, yaitu doktriner.
Memang, tak dapat dipungkiri, ada beberapa bagian tertentu dari konten pendidikan Islam yang berbau teologis dan menuntut aspek “keimanan” terlebih dahulu daripada rasionalitas-empiris. Namun, seiring berjalannya waktu, pengajaran militeristik-doktriner yang diaplikasikan dalam pembelajaran pendidikan Islam ternyata menimbulkan problematika yang serius dan melahirkan kesenjangan dan ketimpangan dalam dunia pendidikan Islam. Pengajaran ini dalam literatur Islam klasik (turats) disebut bayani dan ‘irfani.
Ketimpangan dan serentetan kesenjangan itu ialah miskinnya penalaran sebagian peserta didik kita –untuk tidak mengatakan semuanya– dalam mencerna, mengolah, dan memproses informasi yang ada. Ini menyebabkan fenomena intoleransi, radikalisme, ekstremisme, terorisme, degradasi moral, kurang ajar kepada guru, asal komentar di medsos, dan sejenisnya, terus menyeruak-menggelinding dan menjadi “dosa besar” dalam pendidikan, tidak terkecuali pendidikan Islam.
Karena itu, artikel ini menelaah betapa pentingnya mengarusutamakan kembali epistemologi burhani dalam pendidikan Islam dengan merujuk pada tafsir Q.S. Alqasas: 75 yang akan diulas di bawah ini.
Tafsir Surah Alqasas Ayat 75
وَنَزَعْنَا مِنْ كُلِّ اُمَّةٍ شَهِيْدًا فَقُلْنَا هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ فَعَلِمُوْٓا اَنَّ الْحَقَّ لِلّٰهِ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَفْتَرُوْنَ ࣖ
Kami datangkan dari setiap umat seorang saksi, lalu Kami katakan, “Kemukakanlah bukti kebenaranmu!” Maka, tahulah mereka bahwa yang hak itu milik Allah dan lenyaplah dari mereka apa yang dahulu mereka ada-adakan (Q.S. Alqasas [28]: 75).
Yang dimaksud dengan saksi pada ayat ini adalah rasul yang telah diutus kepada mereka ketika di dunia. Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan memaknai kata burhan di atas sebagai berikut,
هاتوا حجتكم علـى إشراككم بـالله ما كنتـم تشركون مع إعذار الله إلـيكم بـالرسل وإقامته علـيكم بـالـحجج
Kemukakanlah argumentasimu sebagai dalih (pembelaan diri) untuk menyekutukan Allah, atas apa yang kalian sekutukan di hadapan utusan Kami (rasul).
Dalam pemaknaan lain, dari Mujahid, misalnya, yang dimaksud burhan di dalam ayat tersebut ialah hujjatukum lima kuntum ta’buduna wa taquluna (argumentasi mereka tentang apa yang mereka sembah dan ucapkan).
Penafsiran berikutnya dikemukakan Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Quran al-Adzim. Ibn Katsir menafsirkan ayat di atas bahwa apa yang diterangkan dalam ayat ini adalah seruan pula yang mengandung makna cemoohan dan kecaman bagi orang yang menyembah tuhan selain Allah.
Ibn Katsir kemudian menukil pendapat Mujahid terkait makna burhan di atas dengan didahului makna saksi dalam ayat ini. Menurut Mujahid, term syahidan (saksi) dalam ayat ini ialah rasul, yaitu saksi yang membenarkan apa yang mereka katakan, bahwa Allah mempunyai sekutu-sekutu. Sekutu-sekutu tersebut faktanya tidak dapat berbicara dan tidak dapat pula mengemukakan jawabannya. Maka, lenyaplah sekutu-sekutu itu dan tidak bisa memberi suatu kemanfaatan kepada mereka.
Tidak jauh berbeda dengan Ibn Katsir, Al-Qurtuby dalam Jami’ li Ahkam Al-Quran menafsiri kata burhan di atas dengan hujjatukum (bukti atau argumentasi yang valid). Di samping itu, al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, menafsiri makna syahidan di atas dengan para nabi yang bersaksi bahwa mereka telah menyampaikan dalil kepada manusia. Di lain itu, al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain, mengemukakan bahwa makna hatu burhanakum adalah “katakanlah menurut apa yang kalian katakan tentang syirik.”
Makna burhan berikutnya adalah ‘ala shihhati ma kuntum tad’una min al-syarik, yaitu “kemukakanlah kebenaran dari sekutu yang kalian sembah.” Ini sebagaimana dipaparkan Ismail Haqqi dalam Ruh al-Bayan. Selanjutnya, pendapat Makki bin Abi Thalib dalam Tafsir Hidayah ila Bulugh al-Nihayah. Menurutnya, burhan adalah suatu argumentasi tentang perbuatan syirik mereka kepada Allah.
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Epistemologi Bayani dalam Pendidikan Islam
Urgensi Epistemologi Burhani dalam Pendidikan Islam
Sebagaimana penuturan Abdul Mukti Rouf dalam Kritik Nalar Arab Muhammad Abid al-Jabiri, istilah burhan sebenarnya berasal dari bahasa Persia; “baran” (kalahkan alasan mereka). Namun, setelah diarabisasi menjadi “baraha” dan “burhan”. Oleh Ibn Manzur dalam Lisan al-Arab, burhan dimaknai sebagai hujjah, dalil, dan alasan. Senada dengan itu, al-Jabiri dalam Bunyah al-‘Aql al-‘Araby mendefinisikan burhan sebagai al-hujjah al-fashilah al-bayaniyyah (argumentasi yang kuat dan jelas).
Jadi, epistemologi burhani –dalam kerangka pendidikan Islam– adalah menunjuk pada suatu metode berpikir berdasarkan pada pandangan dunia (worldview) tertentu yang sumbernya berasal dari intelektual manusia (yaitu indera, eksperimen, dan mekanisme logika). Jika nalar bayani, seperti yang telah dijelaskan dalam artikel terdahulu, bersumber dari teks keagamaan (dilalah al-nash), nalar ‘irfani pada intuisi, maka epistemologi burhani bertumpu pada rasio (dilalah al-‘aql).
Mekanisme epistemologi burhani bekerja sebagaimana mekanisme bayani. Ambil contoh, jikalau epistemologi bayani menggunakan kias sebagai kerangka berpikirnya, maka demikian pula epistemologi burhani. Sungguhpun demikian, kias yang digunakan epistemologi burhani tidak dalam konteks teks keagamaan (religious text), melainkan bertumpu pada rasio atau penalaran dan eksperimentasi. Tahapannya sebagai berikut; tahapan pengertian atau pengenalan (ma’qulat), tahapan pernyataan atau perbandingan (‘ibarat), dan tahapan penalaran (tahlilat).
Jika dikontekstualisasikan dengan realitas pendidikan Islam, maka struktur kurikulum dan materi pembelajaran –meminjam istilah Masdar Hilmy dalam Pendidikan Islam dan Tradisi Ilmiah– harus mengapresiasi pengembangan nalar burhani yang menjadi basis pengetahuan inquiry, baik di tingkat penalaran dasar maupun terapan. Harus diakui, selama ini, struktur kurikulum dan konten pembelajaran pendidikan Islam lebih banyak didominasi nalar bayani dan ‘irfani, ketimbang burhani.
Nalar burhani lebih banyak melatih peserta didik untuk berpikir secara induktif dan berbasis penalaran empiris. Tentu hal ini berbeda dengan nalar bayani dan ‘irfani yang cenderung mengetengahkan kemampuan berpikir deduktif alias doktriner, sebuah sistem pengetahuan yang kadang kala miskin penalaran. Dalam konteks inilah, pengarusutamaan kembali epistemologi burhani atau induktif-saintifik-inquiry sebagai kerangka berpikir menjadi penting di era disrupsi teknologi dan pandemi. Wallahu a’lam.
Baca juga: Mengenal Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Penggagas Epistemologi Tafsir Metalinguistik (1)