Tafsir Tarbawi: Keharusan Berpikir Kritis Bagi Pendidik dan Peserta Didik

keharusan berpikir kritis bagi pendidik dan peserta didik
keharusan berpikir kritis bagi pendidik dan peserta didik

Dalam rangka memperingati hari guru di era yang serba disrupsi, ada baiknya pendidikan Islam, khususnya pendidik dan peserta didik mengarusutamakan kembali penalaran kritis dalam setiap pembelajarannya. Berpikir kritis menempati peran sentral dalam Kurikulum 2013. Sebab, hanya dengan berpikir kritis, seseorang tidak terjebak, atau bahkan terbuai dan termakan narasi-narasi dan konten-konten yang dapat menjerumuskan ke dalam hal-hal yang kontraproduktif. Keharusan bersikap kritis, selalu mempertanyakan sesuatu dan tidak asal bantah-membantah tanpa dibarengi fakta ilmiah telah dilukiskan oleh-Nya dalam Q.S. Ali Imran [3]: 66. Berikut ulasannya di bawah ini.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Empat Kompetensi Yang Harus Dimiliki oleh Pendidik

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 66

هٰٓاَنْتُمْ هٰٓؤُلَاۤءِ حَاجَجْتُمْ فِيْمَا لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ فَلِمَ تُحَاۤجُّوْنَ فِيْمَا لَيْسَ لَكُمْ بِهٖ عِلْمٌ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

Begitulah kamu. Kamu berbantah-bantahan tentang apa yang kamu ketahui, tetapi mengapa kamu berbantah-bantahan (juga) tentang apa yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (Q.S. Ali Imran [3]: 66)

Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Quran menjelaskan asbabun nuzul ayat di atas ialah bahwa masing-masing pihak Yahudi dan Nasrani saling mengklaim bahwa Nabi Ibrahim adalah bagian dari golongannya. Hal ini kemudian dibantah dan dieliminir oleh Allah swt bahwa Ibrahim ialah kekasih-Nya, ia bukan dari golongan Yahudi dan Nasrani, melainkan seorang muslim yang hanif (hanifan musliman) sebagaimana ayat selanjutnya (Surat Ali Imran ayat 67).

Kemudian Ibn Katsir menukil riwayat dari Muhammad bin Ishaq Ibn Yasar, ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abu Muhammad Maula Zaid bin Sabit, Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas yang bercerita bahwa sekelompok orang Nasrani Najran dan Pendeta Yahudi berkumpul di hadapan Rasulullah saw, lalu mereka saling bantah-membantah, tuduh-menuduh dan mengklaim bahwa Nabi Ibrahim adalah golongannya.

Hal senada juga disampaikan Al-Mawardi dalam al-Nukat wa al-‘Uyun terkait asbabun nuzul ayat ini,

وسبب نزول هذه الآية أن اليهود والنصارى اجتمعوا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم، فتنازعوا في أمره فقالت اليهود: ما كان إلا يهودياً، وقالت النصارى: ما إلا نصرانياً، فنزلت هذه الآية تكذيباً للفريقين بما بيَّنه من نزول التوراة والإنجيل من بعده

“Asbabun nuzul ayat ini ialah karena orang-orang Yahudi dan Nasrani berkumpul dengan Rasulullah saw., mereka berselisih tentang dia (Nabi Ibrahim), dan golongan Yahudi berkata: Dia seorang Yahudi, dan orang-orang Nasrani berkata: Dia seorang Nasrani. Maka ayat ini diturunkan sebagai penyangkalan dari dua kelompok dalam apa yang mereka jelaskan tentang wahyu Taurat dan Injil setelah dia.

Lalu Allah berfirman, “Ya Ahlal kitabi lima tuhajjuna fi ibrahim” (Hai Ahli Kitab, mengapa kalian berbantah-bantahan tentang Ibrahim) (Q.S. Ali Imran [3]: 65) hingga akhir ayat dipungkasi dengan redaksi afala ta’qilun (apakah kalian tidak berpikir).

Baca Juga: Belajar Menjadi Pendidik Profesional Melalui Kisah Dakwah Nabi Yunus

Tidak jauh berbeda, Tafsir Kemenag menafsiri kalimat fima lakum bihi ‘ilmun adalah perkara yang diketahui oleh Ahlul kitab adalah perihal Nabi Musa, Nabi Isa sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya. Sementara itu, perkara yang tidak mereka ketahui adalah perihal Nabi Ibrahim sebab namanya tidak ditemukan dalam kitab mereka.

Mufassir klasik kenamaan, Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan, menekankan bahwa janganlah kalian berdebat dan bertengkar tentang apa yang tidak kalian ketahui, sebab hanya menguras waktu dan energi yang sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk mengerjakan sesuatu yang lebih produktif.

فلـم تـجادلون وتـخاصمون فـيـما لـيس لكم به علـم، يعنـي الذي لا علـم لكم به من أمر إبراهيـم ودينه، ولـم تـجدوه فـي كتب الله، ولا أتتكم به أنبـياؤكم، ولا شاهدتـموه فتعلـموه

“Jadi mengapa kamu berdebat dan bertengkar tentang apa yang tidak kamu ketahui, yaitu  kamu tidak memiliki pengetahuan (ilmu) tentang urusan dan agama Ibrahim, sedang kamu juga tidak mendapatinya dalam kitab-kitab Allah, juga tidak dibawakan oleh para nabimu kepadamu, engkau juga tidak menyaksikannya dan terlebih mempelajarinya”. (al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan).

Qatadah sebagaimanan dinukil al-Tabari, mengatakan ‘ilm yang dimaksud ayat tersebut ialah fima syahadtum wa ra-aitum wa ‘ayantum (di dalam kesaksianmu, pengetahuanmu, dan penglihatanmu). Kemduian, Al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf dan al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, sepakat memaknai redaksi ha-antum ha-ulai hajajjtum adalah merujuk pada ayat sebelumnya (ayat 65),

جملة مستأنفة مبينة للجملة الأولى، يعني أنتم هؤلاء الأشخاص الحمقى وبيان حماقتكم وقلة عقولكم أنكم جادلتم

“Kalimat lanjutan yang menunjukkan kalimat pertama, maksud saya, kalian (orang Nasrani dan Yahudi) adalah orang-orang bodoh ini, dan pernyataan kebodohan tersebut ditunjukkan dengan miskinnya penggunaan akal kalian yang mana berdebat tentang sesuatu yang tidak kalian ketahui”.

Tidak cukup itu, al-Zamakhsyari menafsiri redaksi fi ma lakum bihi ‘ilmun, dengan kitab Taurat dan Injil. Dan makna falima tuhajjuna fima laisa lakum bihi ‘ilmun, oleh al-Zamakhsyari dimaknai dengan tidak ada penyebutan dia (nabi Ibrahim) dalam kitab agama kalian masing-masing tentang Ibrahim. Lanjut al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, memaknai hajjajtum fi ma lakum bihi ‘ilm dengan,

هو أنهم زعموا أن شريعة التوراة والإنجيل مخالفة لشريعة القرآن فكيف تحاجون فيما لا علم لكم به وهو ادعاؤكم أن شريعة إبراهيم كانت مخالفة لشريعة محمد عليه السلام

“Mereka mengklaim bahwa hukum Taurat dan Injil bertentangan dengan hukum Alquran. Lantas, bagaimana kalian dapat berdebat tentang apa yang tidak kalian ketahui, sedang kalian sendiri mengklaim bahwa syariat Nabi Ibrahim bertentangan dengan syariat Nabi Muhammad, saw?”

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Nalar Induktif bagi Kemajuan Pendidikan Islam

Keharusan Berpikir Kritis bagi Pendidik dan Peserta Didik

Dalam konteks pendidikan, bersikap kritis dan mempertanyakan segala sesuatu merupakan hal yang penting untuk terus dipupuk dan ditanamkan sejak dini dalam peserta didik. Hal ini nantinya juga menyangkut pada kemampuan literasi digital pendidik dan peserta didik. Namun, bukan berarti bersikap kritis kemudian menskepstiskan segala sesuatu, tidak. Melainkan dalam rangka agar penggunaan akal dalam mencerna segala bentuk informasi menjadi terasah dan tajam.

Kata ‘kriti’k sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Merriam-Webster, adalah tindakan yang mengekspresikan ketidaksetujuan (the act of expressing disapproval) terhadap sesuatu atau informasi dan atau membuat penilaian (menelaah, mempertanyakan) yang cermat tentang kualitas sesuatu tersebut (the activity of making careful judgments about the good and bad qualities). Jadi, berpikir kritis dalam Islam merupakan sebuah keharusan. Salah satu faktor kejayaan Peradaban Islam di masa lampau adalah hadirnya penalaran kritis dalam setiap fan keilmuan.

Sesungguhnya berpikir kritis telah dicontohkan oleh al-Ghazali. Kita tahu bahwa al-Ghazali sebelum “menekuni” tasawuf dan loyalis tasawuf, ia selalu gelisah ketika segala sesuatu yang ia pelajari tidak menemukan apa yang dia cari selama ini. Perasaan gelisah ini kemudian ia lukiskan dalam al-Munqidz min al-Dhalal. Di dalam kitab ini, ia berkeluh kesah tentang pencarian jawaban dari se-abreg pertanyaan dalam benaknya. Bahkan, beliau tidak mudah percaya dan taqlid buta kepada suatu pendpaat yang dianut oleh mayoritas orang sebelum ia betul-betul meneliti keabsahan dan kevalidan pendapat tersebut.

Kejadian serupa juga dialami Ulil Abshar Abdalla, intelektual muda NU yang sekarang telah “taubat” dari pemikiran “Islam Liberal” dan saat ini menjadi “penerus” Ghazalian dengan ngaji Ihya di laman facebooknya. Sebagaimana penuturan Gus Ulil dalam Alif.ID, ia tumbuh dalam lingkungan Islam tradisional (NU) dan menghirup oksigen kultural bernama tawadlu’ (ethics of humility), sehingga tidak suka menghakimi pihak lain yang berbeda, minimal mengkritisinya. Sebab hal itu ditabukan dalam kultur di mana ia tumbuh, kecuali jika “diprovokasi” secara tidak proporsional.

Kita tidak akan membahas bagaimana perjalanan keilmuan al-Ghazali dan Gus Ulil, namun yang dapat diteladani dari beliau berdua adalah sejak muda, mereka sudah terlatih untuk berpikir dan bersikap kritis, sehingga tidak mudah percaya terhadap suatu informasi, narasi-narasi dakwah yang acapkali mengafirkan sesama maupun konten-konten pembelajaran yang mengarah ke sana. Penting kiranya, bagi pendidik dan peserta didik, sekali lagi, untuk membudayakan berpikir dan bersikap kritis.

Dengan demikian, pendidik dan peserta didik serta praktisi dan penggiat pendidikan, hendaknya selalu menjadi pembaca aktif, bukan pembaca pasif. Artinya, bacaan yang dibaca atau informasi yang dibaca dan materi yang diajarkan oleh seseorang selalu ditelaah terlebih dahulu. Sebab, di tengah derasnya arus informasi saat ini yang mana media sosial selalu merangsek setiap saat, maka diperlukan kejelian dan ketelitian di dalam menelan informasi tersebut. Maka, dalam konteks ini, berpikir kritis menemukan titik signifikansinya di sini. Selamat Hari Guru. Wallahu A’lam.