BerandaTafsir TematikTafsir Tarbawi: Pendidik Wajib Saring Sebelum Sharing Informasi

Tafsir Tarbawi: Pendidik Wajib Saring Sebelum Sharing Informasi

Di era post truth, perkembangan media informasi semakin tidak terbendung. Merebaknya berita hoax menjadi santapan kita sehari-hari. Alih-alih menelusuri kebenaran berita tersebut, justru waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk hal-hal yang produktif harus tersita dengan aktivitas mencari kebenaran berita tersebut (klarifikasi/ tabayyun). Terlebih ulah sebagian orang yang share and share tanpa menyaringnya terlebih dahulu keakuratan dan kevalidan informasi tersebut, semakin menambah kepelikan tersendiri. Maka dibutuhkan saring sebelum sharing informasi.

Fenomena ini ternyata juga terjadi pada pendidik atau guru-guru yang kita anggap mempunyai otoritas keilmuan, namun lagi-lagi tidak jarang sebagian dari beliau menjadi korban berita hoax. Karenanya Allah swt dalam firman-Nya Q.S. al-Hujurat [49]: 6, memperingatkan kita khususnya dalam konteks tulisan ini adalah seorang pendidik untuk menyaring berita yang telah didapat agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. (Q.S. al-Hujurat [49]: 6)


Baca juga: Tafsir Ahkam: Selain Haram, Apakah Khamr Itu Najis?


Tafsir Surat al-Hujurat Ayat 6

Dalam Kitab Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karangan al-Suyuthi diterangkan bahwa asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan pemilahan informasi pada masa sahabat. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad dengan sanad yang baik bersumber dari al-Harits bin Dlirar al-Khuza’i, bahwa al-Harits menghadap Rasulullah saw dan beliau mengajaknya untuk memeluk Islam. Harits pun berkenan dan berikrar menyatakan diri masuk Islam.

Kemudian rasul saw mengajaknya untuk menunaikan zakatnya, dia menyanggupinya. Dan berkata, “Wahai Rasulullah saw, aku akan pulang ke masyarakatku untuk mensyiarkan Islam dan mengajak mereka untuk memeluk Islam serta menunaikan zakat.” Singkat cerita, masyarakatnya berkenan memeluk Islam dan menunaikan zakat.

Al-Harits meminta kepada Rasul saw untuk mengirimkan utusan untuk mengambil zakat masyarakat yang telah ia kumpulkan. Namun, utusan itu tidak kunjung datang dan al-Harits menduga bahwa Rasulullah saw marah kepadanya.


Baca juga: Al-Quran Sebagai Obat, Bagaimana Memahaminya?


Lalu ia berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya Rasul saw telah menetapkan seseorang utusan untuk mengambil zakat kalian, dan beliau saw tak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi, saya tidak mengetahui mengapa beliau saw menangguhkannya? Mungkinkah beliau marah? Mari kita berangkat menghadap Rasulullah saw.”

Padahal sejatinya tidak begitu, Rasulullah saw telah mengutus al-Walid bin ‘Uqbah. Namun Walid tatkala berangkat hatinya merasa gentar, dan kembali pulang sebelum sampai ke tempat yang dituju. Ia lantas melaporkan (laporan palsu) bahwa al-Harits tidak mau menyerahkan zakat, bahkan mengancam akan membunuhnya.

Kemudian, Rasulullah saw mengutus kembali seorang sahabat ke sana. Di tengah jalan, utusan itu berpapasan dengan al-Harits. Lalu ditanya oleh al-Harits, “kepada siapa engkau diutus?”. Dia menjawab, “Kami diutus kepadamu”. Al-harits bertanya, “Mengapa?”, Mereka menjawab, “Sesungguhnya Rasul saw telah mengutus al-Walid, namun ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat, bahkan hendak membunuhnya.”

Al-Harits menimpali, “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihat seseorang yang datang kepadaku.” Ketika mereka sampai di hadapan Rasul saw, bertanyalah beliau, “Mengapa engkau menahan zakat dan hendak membunuh utusanku?” Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.”

Maka turunlah ayat ini sebagai peringatan kepada kaum mukmin agar tidak hanya menerima keterangan dari pihak sebelah saja, akan tetapi harus balancing (seimbang). Hal ini diriwayatkan pula oleh at-Thabrani, dari Jabir bin ‘Abdillah, ‘Alqamah bin Najlah, dan Ummu Salamah. Pun diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dari al-‘Aufi, dari Ibnu ‘Abbas. Selain dari Ibnu Jarir, juga meriwayatkan dari sumber lain yang mursal.


Baca juga: Kiai Bisri Mustofa: Sang Penggubah Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz


Al-Baghawy misalnya menisbahkan kata fasiq kepada Walid bin ‘Uqbah, sedangkan redaksi fatabayyanu an tushibu dimaknainya dengan kay laa tushibu bil qatli wal qitaali (sehingga terjadi perpecahan dan saling membunuh satu sama lain).

Adapun Ibnu Asyur dalam at-Tahrir wa at-Tanwir mendefinisikan kata tabayyun sebagai tathlub al-bayan wahuwa dzuhur al-umurri, wa al-tatsabbata al-taharry wa tathlubu al-tsabat wahuwa al-shidqu (mencari keterangan sehingga tampak suatu perkara, dan melakukan investigasi (klarifikasi) sehingga menemukan kebenaran).

Pendidik Wajib Saring Sebelum Sharing Informasi

Ayat di atas menyimpulkan bahwa dalam konteks pendidikan, seorang pendidik harus mampu memiliki kompetensi untuk menyaring (memfilter) informasi yang akan disajikan kepada peserta didik. Sebab informasi itu akan membawa pengaruh alam bawah sadarnya sehingga seorang pendidik harus cermat dan teliti dalam menyajikan sebuah materi atau menyampaikan sebuah informasi sebagai suatu pengantar pembelajaran.

Jika seorang pendidik saja tidak mampu bersikap arif dan bijak dalam hal tersebut, entah hal buruk apa yang akan terjadi pada peserta didiknya. Jangan sampai ia tergolong apa yang disabdakan Nabi saw, laa dharara wa laa dhirara (jangan berbuat sesat dan menyesatkan). Wallahu A’lam.

 

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...