Pendidikan keluarga (family education) memegang peranan sentral dalam membentuk kepribadian manusia. Yaitu pendidikan pertama berasal dari pendidikan keluarga. Di dalam keluarga pula, manusia mengalami pengalaman pertamanya seperti kebahagiaan, kesedihan, berkomunikasi, dan sentuhan kasih sayang. Era pandemi Covid-19, tampaknya sudah saatnya kita melembagakan pendidikan keluarga (family education).
Peran serta orang tua sangat dibutuhkan dalam mengantar putra-putrinya menuju manusia seutuhnya, bukan manusia-manusiaan. Karenanya sangat tepat bila dikatakan bahwa pendidikan keluarga adalah pondasi dasar menuju pendidikan selanjutnya. Perintah melembagakan pendidikan keluarga ini telah dilukiskan dalam firman-Nya surat at-Tahrim [66]: 6,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. at-Tahrim [66]: 6)
Tafsir Surat at-Tahrim Ayat 6
Pada pembahasan ini saya akan memfokuskan pada redaksi kunci yakni quu anfusakum wa ahlikum naaran sebagai basis pendidikan keluarga. Para ulama tafsir menafsirkan redaksi ini sangat beragam, namun pada intinya mereka menekankan betapa pentingnya pendidikan keluarga.
Ibnu Katsir misalnya memaknai redaksi ini dengan ajakan untuk mendidik dan mengajari keluarga. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa taatilah Allah swt dan hindari perbuatan yang dapat memicu murka-Nya, serta perintahkanlah keluargamu untuk berdzikir, niscaya Allah akan menyelamatkanmu dan keluargamu dari api neraka.
Sedangkan al-Baghawy dalam Ma’alim at-Tanzil menjelaskan dengan menukil dari perkataan ‘Atha bin Ibnu ‘Abbas, jauhilah larangan Allah dan amalkan segala yang diperintahkan-Nya. Wa ahlikum naaran ia memaknainya bahwa kerjakanlah kebaikan, jauhilah keburukan, kerjakan yang menjadi perintah-Nya dengan penuh tata krama dan bertakwalah sehingga kamu terselematkan dari api neraka.
Baca juga: Dua Bentuk Apresiasi dalam Pendidikan Islam
Adapun al-Qurthuby lebih merincikan lagi bahwa perintah itu tidak hanya menjaga dirimu saja, tapi juga menjaga keluarga termasuk menjaga perbuatan dari hal-hal buruk, menjaga perkataan dan perbuatan yang dapat mengusik dan menyinggung perasaan orang lain. Mengutip perkataan al-Qusyairi bahwa tatkala turunnya ayat di atas, Umar bertanya kepada Rasulullah saw, “Rasul, kami menjaga diri sendiri. Lantas bagaimana kami menjaga mereka?”. Nabi menjawab,
تَنْهَوْنَهُمْ عَمَّا نَهَاكُمُ اللهُ وَتَأْمُرُوْنَهُمْ بِمَا أَمَرَ اللهُ
“Laranglah mereka dari hal yang dilarang oleh Allah, dan perintahkan mereka dengan sesuatu yang Allah perintahkan.”
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Spirit Integrasi-Interkoneksi Keilmuan dalam Pendidikan Islam
Begitu pula at-Thabary, memaknainya dengan kerjakanlah sesuatu yang merupakan bagian dari rumpun amal kebaikan dan jauhilah keburukan, serta taatilah Allah swt. Sebagaimana penafsiran yang dijelaskan dalam Rawa’i al-Bayan,
قِيْلَ فِيْ التَّفْسِيْرِ أَيْ أَدَّبُوْهُمْ وَعَلِّمُوْهُمْ
“dikatakan di dalam kitab tafsir bahwa yang dimaksud (quu anfusakum wa ahlikum naaran) adalah didik dan ajarilah mereka.”
Mufassir kenamaan dari kalangan Tabi’in, Mujahid menyampaikan bahwa perintah untuk memelihara diri dan keluarga dari api neraka berkelindan dengan perintah bertakwa kepada Allah swt beserta perintah kepada keluarganya pula.
Penafsiran serupa juga diutarakan oleh ‘Ali al-Shabuny dalam Shafwah at-Tafasir bahwa,
أَيْ يَامَنْ صَدَقْتُمْ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَأَسْلَمْتُمْ وُجُوْهَكُمُ للهُ، اِحْفَظُوْا أَنْفُسَكُمْ وَصُوْنُوْا أَزْوَاجَكُمْ وَأَوْلَادَكُمْ، مِنُ نَارٍ حَامِيَةٍ مُسْتَعِرَةٍ، وَذَلِكَ بِتَرْكِ الْمَعَاصِيْ وَفِعْلَ الطَّاعَاتِ، وَبِتَأْدِيْبِهِمْ وَتَعْلِيْمِهِمْ
“Wahai seseorang, benarkanlah Allah dan Rasul-Nya sehingga keselamatan tetap kepadamu di sisi Allah, jagalah dirimu dan tolonglah istri dan serta anak-anakmu, dari api neraka hamiyah, demikian pula tinggalkan maksiat dan berbuat ketaatan, didiklah mereka dengan adab dan berilah pengajaran kepada mereka.”
Pendidikan Pertama Berasal dari Pendidikan Keluarga
Kehidupan keluarga dianalogikan sebagai satu bangunan, maka ia harus didirikan di atas satu pondasi yang kokoh dengan material bahan bangunan serta perekat yang kokoh pula. Keluarga adalah satuan terkecil dari suatu negara. Bangsa yang baik ditopang oleh keberlangsungan keluarga yang baik pula.
Keluarga juga menjadi ujung tombak garda terdepan dalam membentuk dan menempa karakter kepribadian seorang manusia. Karakter seorang anak yang berasal dari keluarga harmonis, tentu berbeda dengan anak yang berasal dari keluarga broken home. Maka, peran ayah dan ibu atau suami dan istri mutlak diperlukan, keduanya tidak boleh mengunggulkan ego satu sama lain, melainkan harus kerjasama untuk membina rumah tangga yang harmonis sesuai tuntunan agama Islam.
Dari ayah ibu, seorang anak mempelajari sifat-sifat mulia seperti kebahagiaan, kasih sayang, kepedulian terhadap sesama, rasa tanggungjawab, dan sebagainya. Kepincangan dalam memina keluarga, menyebabkan kepincangan pula terhadap anak-anak.
Baca juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi
Maka tidak heran jika kita masih menemui fenomena peserta didik yang berbuat tidak senonoh, bertindak asusila, depresi, mood swing, terjerat kasus narkoba, pemerkosaan hingga berujung pada pembunuhan, itu semua adalah imbas dari ketidakoptimalan fungsi keluarga, meskipun tidak menafikan faktor lain seperti lingkungan.
Sebagaimana pesan ayat di atas bahwa didik dan ajarilah keluargamu (istri, dan anak-anak) untuk selalu bertakwa kepadanya dengan mengajarkan shalat, sedekah, membaca Alquran, dan perbuatan kebaikan lainnya agar kamu dan keluargamu terhindar dan terselamatkan dari api neraka.
مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk menunaikan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka saat mereka berusia sepuluh tahun, pisahkan tempat tidur di antara mereka.” (H.R. Abu Daud)
Bukankah Alquran mengabadikan doa Nabi Ibrahim agar menjadi bahan refleksi kita dalam membina kehidupan rumah tangga, rabbana hablana min azwajina wadzurriyatina qurrata ‘ayun waj’alna lil muttaqina imaman (Ya rabb, anugerahkanlah kepada kami istri dan anak-anak kami sebagai penyenang dan penyejuk hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang yang bertakwa).
Demikianlah, betapa besar peranan pendidikan keluarga dalam membentuk kepribadian manusia yang akram dan shalih, dan betapa keberhasilan kita secara personal atau kolektif, baik pribadi atau sebagai bangsa, di dunia atau akhirat kelak, ditentukan oleh keberhasilan kita dalam membina keluarga masing-masing. Wallahu A’lam.