BerandaTokoh TafsirTokoh Tafsir DuniaTafsir Yahya bin Salam, Tafsir Tertua yang Terlupakan

Tafsir Yahya bin Salam, Tafsir Tertua yang Terlupakan

Al-Qur’an sebagaimana fitrahnya, mengakomodir beragam interpretasi (hammalatun lil wujuh). Oleh sebab itu, satu ayat saja bisa memunculkan beragam makna, rasa ataupun hukum yang berbeda-beda, sesuai dengan siapa yang membaca dan yang menafsirkannya. Itulah fitrah al-Qur’an, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah Darraz dalam al-Naba’ al-‘Adzim nya, bahwa al-Qur’an laksana berlian, setiap sudutnya akan memancarkan cahaya yang berbeda dengan sudut lainnya, bisa jadi orang lain akan menemukan cahaya yang lebih banyak, daripada cahaya yang kita temukan dari sudut yang berbeda.

Maka, sudah ribuan kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama guna mengungkap makna-makna yang terkandung dalam kalam Ilahi itu. Mulai dari zaman sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in hingga zaman kita saat ini. Interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an selalu mampu menghadirkan makna yang baru. Kitab-kitab tafsir terus bermunculan dengan berbagai macam pendekatan, sudut pandang, keahlian, disesuaikan utuk menjawab tantangan yang berbeda-beda pada setiap zamannya.  

Tentu saja, diantara kitab tafsir yang paling fenomenal dan masyhur adalah Jami’ al-bayan fi ta’wil al-Qur’an atau lebih dikenal dengan tafsir al-Thabari. Ketenaran tafsir Thabari hingga seantero negeri, menurut al-Dzahabi dalam tafsir wa al-mufassirun, paling tidak karena ia memiliki dua keistimewaan “lahu al-awwaliyah baina kutub al-tafsir, awwaliyah zamaniyyah wa awwaliyah min nahiyat al-fanni wa al-shina’ah”. Pertama, ia dianggap sebagai tafsir tertua, terlengkap yang sampai kepada kita. Kedua, ia memiliki metode penafsiran yang tidak pernah dilakukan oleh mufassir sebelumnya. Metode ini yang belakangan kita sebut sebagai ittijah al-atsari al-nadzari.

Baca Juga: Empat Penyebab Kemunduran Ilmu Tafsir Menurut Ibnu Asyur

Para mufassir sebelum Thabari terklasifikasi menjadi dua. Mereka yang menafsirkan menggunakan riwayat-riwayat seperti hadis-hadis Nabi dan perkataan sahabat atau tab’in saja, sehingga disebut al-ittijah al-atsari. Selanjutnya, mereka yang menafsirkan al-Qur’an fokus terhadap sisi bahasanya saja, seperti nahu, sharf dan balaghahnya, sehingga disebut dengan al-ittijah al-lughawi. Kehadiran Thabari dianggap orang pertama yang menggabungkan kedua gaya tersebut. Tidak hanya itu, Ia juga tidak sungkan untuk mengkritik atau mentarjih riwayat-riwayat yang menurutnya lemah atau tidak sesuai dengan makna ayat. Itulah mengapa tafsirnya dijuluki al-tafsir bi al-ittijah al-atsari al-nadzari.

Namun ternyata, pendapat jumhur ahli tafsir mengenai apa yang telah disebutkan di atas, mendapatkan kritikan dari salah satu ulama Tunisia, Fadhil ibn Asyur. Ia adalah putra Tahir ibn Asyur, ‘alim jalil penulis tafsir Tahrir wa al-Tanwir. Dalam kitabnya al-Tafsir wa Rijaluhu, Fadhil mengatakan “anna aqdam al-tafasir al-maujudah al-yaum ‘ala al-ithlaq huwa tafsir yahya bin salam” (bahwa kitab tafsir tertua yang ada dihadapan kita hari ini secara mutlak adalah tafsir yahya bin salam).

Kalimat itu, kemudian diberi penjelasan oleh muridnya, Hind Chalabie, dalam muqaddimah tafsir yahya bin salam min surat al-nahl ila surat al-saffat, bahwa yang dimaksud kalimat aqdamiyyah adalah tafsir tertua/paling awal yang membahas secara komprehensif seluruh surat dan ayat al-Qur’an sesuai dengan metode/ittijah al-atsari al-nadzari sebagaimana yang dilakukan oleh al-Thabari.  

Ada beberapa alasan yang cukup kuat menurut Hind Chalabie untuk mendukung pernyataan gurunya itu. Pertama, masa hidup Yahya bin Salam dari 124 H hingga 200 H, sedangkan Thabari dari 224 H sampai 310 H. Hal ini mengindikasikan bahwa ibn Salam hidup satu generasi sebelum al-Thabari. Kedua, ada indikasi kuat bahwa al-Thabari terpengaruh oleh model penafsiran ibn Salam. Karena ada banyak sekali kemiripan dalam tafsirnya dengan tafsir ibn Salam, baik dari segi metode, riwayat, banyaknya kesamaan penukilan sanad, hingga kesamaan dalam pemilihan qira’at. Kemungkinannya adalah, al-Thabari merujuk kepada naskah guru-gurunya ketika menimba ilmu di Mesir. Sementara guru-gurunya adalah murid-murid dari ibn Salam. Ketiga, terbukti di beberapa riwayat dalam tafsir al-Thabari sendiri, ia menukil pendapat ibn Salam melalui gurunya ‘Abdullah bin ‘Abd al-Hakam.  Abdullah bin ‘Abd al-Hakam adalah seorang ulama ahli fikih Mesir yang pernah menjadi murid langsung ibn Salam.

Yahya bin Salam dan Tafsirnya

Yahya bin Salam bin Abi Tsa’labah al-Taimi ialah ulama asal Kufah yang lahir pada 124 H dan wafat pada 200 H. Ia menghabiskan masa mudanya untuk menimba ilmu di berbagai daerah kepada para tabi’ tabi’in dan ulama terkemuka pada zamannya seperti, Hasan bin Dinar, Sufyan al-Tsauri, Imam Malik, al-Laits bin Sa’d dan lain-lain. Terakhir, ia melakukan pengembaraan ke Qairawan, salah satu provinsi di Negara Tunisia saat ini. Di daerah inilah ini menetap selama 20 tahun untuk mengajarkan ilmunya. Di sini pula ia menyampaikan kajian-kajian tafsir dan menulis tafsirnya sendiri. Murid-muridnya datang tidak hanya dari Qairawan itu sendiri, melainkan dari berbagai wilayah masyriq wal maghrib.

Diantara karya-karya ibn Salam adalah: kitab al-tasharif, kitab al-jami’, kitab al-asyribah, ikhiyarat fi al-fiqh, dan terakhir yang menjadi pembahasan saat ini, tafsir yahya bin salam. Manuskrip kitab ini hanya terdapat di tiga perpustakaan yang berada di Tunisia; perpustakaan Nasional Tunis, perpustakaan Hasan Husni ‘Abd al-Wahab dan perpustakaan al-‘Abdaliyyah.  

Baca Juga: Rahasia Penggandengan Lafaz Salat dan Zakat dalam Alquran

Secara metodologi penulisan tafsirnya, ibn Salam tidak jauh berbeda dari para pendahulunya yang berpegang pada riwayat, sanad, bahasa dan ilmu al-Qur’an. Akan tetapi ia memasukkan unsur-unsur baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya sehingga membuat tafsir ini dianggap sebagai tafsir al-atsari al-nadzari yang nantinya menjadi pijakan bagi al-Thabari dalam tafsirnya. Unsur-unsur tersebut ialah; 1) memperbanyak riwayat dalam menjelaskan satu ayat. 2) memperluas penafsiran dengan menyertakan hukum-hukum syar’i, hadis-hadis kisah, dan juga memaparkan peristiwa guna memperjelas ayat. 3) menjelaskan i’rab ayat dan alasannya. 4) menjelaskan keteraturan ayat dan efeknya pada makna. 5) kritik dan tarjih di antara riwayat-riwayat yang ada.

Al-Jam’u Wa al-Taufiq

Mencermati kritikan dari Syekh Fadhil ibn ‘Asyur yang kemudian dikuatkan oleh muridnya Hind Chalabie melalui argumen-argumennya, mengenai tafsir yang paling tua menghimpun seluruh ayat dan surat yang ada dalam al-Qur’an, rasanya sulit bagi kita untuk menyangkalnya. Namun bagi penulis sendiri kedua hal ini bukanlah hal yang harus saling dihadapkan dan dipertentangkan. Kita bisa menggunakan salah satu metodologi dalam ilmu hadis ketika sebuah hadis seolah terjadi pertentangan, yaitu al-jam’u wa al-taufiq (kompromi).

Bahwa pendapat yang mengatakan tafsir al-Thabari adalah yang tertua dan pelopor tafsir al-atsari al-nadzari, ini benar, namun pada masanya. Sebab mungkin informasi mengenai tafsir Yahya bin Salam belum sampai kepadanya, atau manuskripnya belum di tahqiq pada saat itu. Sementara yang mengatakan tafsir Yahya bin Salam lah yang paling tua dan sekaligus pelopor tafsir al-atsari al-nadzari, ini juga benar, pada saat ini. Karena pendapatnya muncul setelah ia mendapatkan informasi mengenai tafsir ini, atau setelah manuskrip kitab ini di tahqiq. Wallahu a’lam.

Idris Ahmad Rifai
Idris Ahmad Rifai
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Zaitunah Tunisia dan Khadim PCINU Tunisia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu....