Allah swt. telah menganugerahkan nikmat yang tak terhingga jumlahnya kepada makhlukNya, termasuk manusia. Dalam Surah Annahl ayat 18, disebutkan bahwa manusia tidak akan mampu menghitung nikmat Tuhan. Sebagai seorang hamba yang telah mendapat nikmat, kita diwajibkan untuk bersyukur atas nikmat dan fasilitas yang kita terima selama hidup di dunia.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mensyukuri nikmat Tuhan. Menurut Imam al-Ghazali, mensyukuri nikmat tuhan terdiri dari tiga komponen. Pertama, ilmu, artinya sadar dan yakin bahwa nikmat yang Dia peroleh merupakan anugrah Tuhan. Kedua, hal (keadaan), artinya gembira dan suka cita atas nikmat yang dia terima. Ketiga, amal, yakni menggunakan nikmat tersebut untuk kebaikan dan hal-hal yang diridai Allah. [Ihya’ Ulum al-Din, juz 4, hlm. 81]
Baca juga: Tafsir Ayat-ayat Syukur: Hiduplah dengan Bahagia!
Masih menurut Imam al-Ghazali, bersyukur dengan amal perbuatan dapat dilakukan dengan hati, lisan, dan aksi nyata. Mengucap “alhamdulillah” dan berbuat kebaikan merupakan salah satu cara mengekspresikan rasa syukur kepada Sang Pemberi Nikmat. Selain itu, menceritakan dan menampakkan nikmat juga menjadi salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah. Inilah yang lumrah disebut sebagai tahadduts bi al-ni’mah.
Tafsir Surah Adduha ayat 11
Tahadduts bi al-ni’mah dapat berarti menceritakan nikmat yang telah diterima dengan tujuan agar setiap orang yang mendengarnya dapat mengambil hikmah. Menceritakan nikmat dengan tujuan di atas merupakan salah satu bentuk syukur yang diperintahkan dalam agama. Allah swt. berfirman:
وأمَّا بنعمةِ ربك فحدِّث
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).” Q.S. Adduha [93]: 11
Dari penggalan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa Allah swt. memerintahkan manusia untuk menyebut-nyebut nikmatNya sebagai ungkapan rasa syukur. Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Syekh Ibnu Ajibah bahwa Nabi saw. Bersabda: “tahadduts bi al-ni’mah merupakan bentuk rasa syukur.”
Oleh karena itu, ada sebagian ulama salaf mengatakan, “Saya telah mendapat nikmat begini-begini,” “Saya telah melakukan solat sekian rakaat,” dan lain-lain. Hal ini boleh dilakukan dengan tujuan syukur atau supaya diikuti orang lain, bukan dalam rangka riya atau pamer. [al-Bahr al-Madid, jilid 8, hlm. 489].
Baca juga: Kegundahan Nabi Muhammad Saw Dibalik Turunnya Surah Ad-Dhuha
Menurut Imam al-Razi, seseorang boleh berbangga dan menceritakan perilaku terpuji serta kebaikan yang dilakukan jika ia menduga kuat bahwa orang lain akan mengikuti perilaku dan kebaikannya. [Tafsir al-Kabir, jilid 32, hlm. 270]
Imam Mujahid, seorang mufasir dari kalangan tabi’in, menjelaskan maksud dari tahadduts bi al-ni’mah. Beliau mengatakan:
هُوَ الْعَمَلُ الصَّالِحُ يَعْمَلُهُ الرَّجُلُ فَيُحَدِّثُ بِهِ إِخْوَانَهُ مِنْ أَهْلِ ثِقَاتِهِ لِيَسْتَنَّ بِهِ وَيَعْمَلَ مِثْلَهُ
“Tahadduts bi al-ni’mah adalah kondisi dimana seorang hamba telah meelakukan suatu kebaikan lantas ia ceritakan kepada orang sekitar yang ia percaya. Tujuannya agar orang tersebut melakukan kebaikan seperti yang ia lakukan.” [Tafsir Mujahid, jilid 1, hlm. 735]
Menurut Imam al-Ghazali, menerapkan tahadduts bin al-ni’mah tidak harus dengan menceritakannya secara langsung secara verbal. Bahasa tubuh dan perilaku yang menunjukkan rasa syukur serta dapat menggugah dan memotivasi orang lain untuk melakukan kebaikan juga dapat dikategorikan sebagai tahadduts bin al-ni’mah. Misalnya, dengan melakukan sedekah secara terang-terangan yang diniati sebagai bentuk rasa syukur dan memotivasi orang lain. [Ihya Ulum al-Din, jilid 1, hlm. 228-229]
Dengan lebih pragmatis, Imam al-Maraghi menjelaskan bahwa tahadduts bi al-ni’mah bukan hanya soal menceritakan nikmat kepada orang lain. lebih dari itu, ia sebenarnya mengandung arti agar kita memperbanyak pemberian dan uluran tangaan kepada kaum papa. Selain itu, kita juga dituntut untuk memberikan bimbingan kepada orang lain terkait nikat ukhrawi yang kita terima. [Tafsir al-Maraghi, jilid 30, hlm. 187]
Baca juga: Penegasan Alquran Terkait Perbedaan antara Pamer dan Tahadduts bin Ni’mah
Menurut beliau, orang kikir biasanya menyembunikan harta dan nikmat yang dia peroleh dengan tujuan agar dia punya alasan untuk tidak memberi. Berbeda dengan orang-orang dermawan, mereka akan senantiasa menunjukkan nikmat yang diperoleh dengan cara mendermakannya.
Dengan demikian, menyebut-nyebut nikmat dan kebaikan merupakan salah satu cara mengekspresikan rasa syukur kepada Sang Pemberi Nikmat. Selain menampakkan nikmat dengan bahasa lisan, diharapkan pula agar kita dapat melakukan aksi nyata dengan nikmat tersebut. Hal ini karena tahadduts bi al-ni’mah bukan hanya sekedar menceritakan kebaikan, tetapi juga mendayagunakannya agar manfaatnya dapat dirasakan orang lain.
Meski demikian, kita harus waspada. Jangan sampai tahadduts bi al-ni’mah kemudian menimbulkan rasa pamer yang dilarang agama. Oleh karenanya, perlu untuk melakukan perbaikan niat setiap saat agar tidak terjerumus kedalam hal-hal yang dilarang. Wallahu ‘alam.