BerandaTafsir TematikTelaah Lafaz ‘Wailun’ di Awal Surah: Dosa Menyangkut Hak Manusia

Telaah Lafaz ‘Wailun’ di Awal Surah: Dosa Menyangkut Hak Manusia

Lafaz ‘wailun’ sangat banyak disebutkan dalam Alquran, terutama di pertengahan surah seperti dalam surah Alma’un [107]: 4, Aththur [52]: 11, Almursalat [77]: 49, Albaqarah [2]: 79, dan lain-lain.

Namun pada tulisan ini, difokuskan pada lafaz wailun di ayat pertama yang sekaligus menjadi pembuka surah. Ada dua surah dalam Alquran yang dibuka dengan lafaz wailun, yaitu dalam surah Alhumazah dan surah Almuthaffifin. Keduanya sama-sama berisikan ancaman terhadap perbuatan dosa menyangkut hak manusia.

Makna Wailun

Dalam Lisanul ‘Arab, sebutan al-wail diperuntukan bagi orang yang terjerumus dalam kebinasaan dan azab. Senada dengan itu, Ibnu Hajar juga mengartikan al-wail sebagai azab (Fathul Bari, 5/350).

Ada pula yang mengartikan al-wail sebagai nama neraka. Misalnya pendapat Ibnu ‘Abbas dalam tafsir al-Qurthubi ketika menafsirkan surah Almuthaffifin yang mengartikan wailun sebagai nama sebuah lembah di neraka jahanam yang mengalir di dalamnya sungai nanah.

Baca Juga: Tafsir Surat al-Ma’un ayat 4-7 : Celakalah Mereka yang Lalai dari Sholat

Begitupun Sa’id bin Musayyab dalam tafsir al-Baghawi saat menafsirkan Albaqarah [2]: 79 yang menggambarkan wailun sebagai  sebuah lembah di neraka jahanam, yang jika gunung-gunung di dunia di masukkan ke sana maka semuanya akan meleleh.

Secara lebih rinci, Imam Al-Qurthubi mengumpulkan sedikitnya tiga makna dari lafaz wailun: Pertama, الْخِزْيُ yang berarti kehinaan; kedua, الْعَذَابُ yang berarti azab; ketiga, الْهَلَكَةُ yang berarti kebinasaan.

Sehingga ketika Allah menyebut wailun, maka terkumpul padanya tiga kecelakaan: yaitu kehinaan, azab, dan kebinasaan (Tafsir Al-Qurthubi, 20/181). Adapun menurut Al-Maraghi, bahwa penyebutan wailun menunjukan betapa buruknya perbuatan yang disebut setelah lafaz wailun tersebut (Tafsir Al-Maraghi, 30/237).

Baca Juga: Tafsir Surat Al Humazah Ayat 1-9

Hak Manusia dalam Surah Alhumazah dan Almuthaffifin

Dalam surah al-Humazah, Allah menyebutkan wailun yang diperuntukan bagi humazah dan lumazah. Dalam tafsir Ibnu Katsir, menukil Imam Ar-Rabi’ ibnu Anas, al-humazah artinya mengejek di hadapan, sedangkan al-lumazah mengejek dari belakang.

Menurut Mujahid, humazah adalah mencela orang lain dengan tangan dan mata, sedangkan lumazah dengan lisannya. Sedangkan Ibnu ‘Abbas berpendapat, humazah dan lumazah artinya tukang menjatuhkan orang lain lagi pencela (Tafsir Ibnu Katsir, 4/481).

Hak manusia yang dimaksud dalam surah Alhumazah adalah menyangkut harga diri orang lain, sehingga Allah mengancam dengan wailun, yaitu bagi yang suka mencela, mengumpat, dan menghina orang lain baik ucapan maupun perbuatan. Setelah mengecam dengan keras perbuatan tersebut, lalu Allah menyebutkan penyebabnya di ayat selanjutnya, yakni yang suka mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.

Menurut Wahbah Az-Zuhaili, humazah dan lumazah itu adalah orang yang mencela orang lain serta merasa lebih hebat ​​​​​​​dari mereka, sebab kekagumannya kepada diri sendiri dengan harta yang telah ia kumpulkan. Dengan kata lain, karakter mengumpulkan harta tersebut, adalah penyebab dia merasa lebih hebat dibandingkan dengan orang lain (Tafsir Al-Munir, 30/399).

Dari pemaparan di atas, dosa menyangkut hak manusia dalam surah Alhumazah adalah menyangkut harga diri orang lain. Sehingga, terdapat ancaman keras bagi yang suka mencela, menghina, dan mengumpat orang lain.

Sedangkan di surah Almuthaffifin, kata wailun ditujukan kepada orang yang mengurangi timbangan. Menurut Ibnu Katsir, Almuthaffifin artinya berbuat curang ketika menakar dan menimbang.  Allah membinasakan kaum Nabi Syu’aib karena mereka curang dalam takaran dan timbangan (Tafsir Ibnu Katsir, 7/508).

Hak manusia dalam surat Almuthaffifin adalah menyangkut harta orang lain, maksudnya adalah ancaman bagi pelaku yang melalukan kecurangan dan penipuan dalam berdagang. Bayangkan jika kecurangan dilakukan terus menerus, tentu ia tidak hanya berdosa akibat harta yang tidak halal, tapi juga ada hak orang lain yang tidak ditunaikan dengan benar.

Baca Juga: Tuntunan Al-Quran dalam Melaksanakan Tahapan Taubat dari Dosa-Dosa

Cara Bertaubat

Baik surah Almumazah maupun surah Almuthaffifin, keduanya sama-sama berisikan ancaman terhadap perbuatan dosa yang menyangkut hak-hak manusia. Dibukanya kedua surah tersebut dengan lafaz wailun menunjukan warning akan bahayanya perbuatan dosa tersebut namun seringkali dosa tersebut diremehkan oleh manusia.

Dosa terkait hak manusia sangatlah berat. Sampai-sampai Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, jika engkau meninggal dunia dengan membawa 72 dosa antara engkau dan Allah, itu masih lebih ringan bagimu, daripada engkau bertemu Allah dengan membawa satu dosa antara engkau dengan hamba-Nya. (Tanbihul Ghafilin, 380)

Apa yang diungkapkan Sufyan Ats-Tsauri di atas tidaklah berlebihan, karena dosa menyangkut hak manusia tidak cukup terhapus hanya dengan istighfar dan taubat serta amal saleh, tetapi harus ada ishlah dengan pihak terkait. Atau jika tidak, mereka yang dizalimi tersebut akan menuntut di akhirat nanti.

Menurut Imam Nawawi, para ulama mengatakan bahwa syarat taubat itu ada tiga: menjauhi maksiat tersebut, menyesalinya, dan harus ada itikad untuk tidak mengulanginya. Itu hanya berlaku bagi dosa seorang hamba dengan Allah. Sedangkan dosa hamba menyangkut hak manusia harus memenuhi satu syarat lagi, yaitu memenuhi hak orang tersebut (Riyadhus Shalihin, 41-42).

Jika hak itu berupa harta dan kepemilikan, maka harus dikembalikan. Jika menyangkut tuduhan, celaan, hinaan, maka harus meminta maaf dan mengembalikan nama baiknya. Itulah mengapa, Rasul menggambarkan definisi muflis (kebangkrutan) yang sesungguhnya adalah bagi orang yang banyak berdosa dengan hak manusia, akibat banyak yang menuntutnya di akhirat dan menghanguskan pahala amal baiknya untuk melunasi hak tersebut.

Wallah a’lam

Shopiah Syafaatunnisa
Shopiah Syafaatunnisa
Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

QS. Al-Isra’ (17) Ayat 36: Taklid yang Diharamkan!

0
Taklid dapat dipahami sebagai suatu bentuk perilaku seseorang yang mengikuti suatu perintah atau menerima pendapat dari orang lain tanpa memiliki pemahaman yang didasari dengan...