Teori Gerakan Ganda dan Ma’nā cum Maghzā: Serupa, tapi Tak Sama

Gerakan Ganda dan Ma’nā cum Maghzā: Serupa, tapi Tak Sama
Sahiron Syamsuddin (Sumber: AIAT).

“Alquran adalah kitab yang memancar darinya aneka ilmu keislaman, karena kitab suci itu mendorong untuk melakukan pengamatan dan penelitian. Kitab suci ini juga dipercaya oleh umat Islam sebagai kitab petunjuk yang hendak dipahami. Nah, dalam konteks itulah lahir usaha untuk memahaminya, lalu usaha dan hasil usaha itu membuahkan aneka disiplin ilmu dan pengetahuan baru yang sebelumnya belum dikenal atau terungkap” (Shihab, 2013, p. 5).

“Sebagai kitab suci, Alquran merupakan sekumpulan kata-kata Ilahi yang diturunkan secara verbal, termasuk di dalamnya memuat makna dan ide-ide moral, dan secara fungsional, ditujukan sebagai petunjuk kepada semua manusia (hudan li an-nas)” (Rahman, 1979, p. 30).

Begitulah dua narasi berkenaan definisi Alquran yang tersebar luas dan mafhum di kalangan masyarakat. Pemahaman atas definisi tersebut telah mengantarkan umat Islam, terutama para pemikir Islam kontemporer, untuk mendialogkan Alquran sebagai teks yang terbatas dengan realitas dan problem sosial-keagamaan kekinian, yang senantiasa berkembang secara dinamis.

Keinginan tersebut, pada saat yang bersamaan, juga memunculkan tawaran metodologis baru dalam mencapai makna yang sesuai dengan gerak laju kekinian. Alasan mendasarnya, bahwa meskipun Alquran hadir dalam konteks dan lokalitas tertentu, ia pada dasar mengandung nilai-nilai universal, sebagaimana termaktub dalam definisi di atas, akan senantiasa relevan dengan untuk ruang dan waktu yang tak terbatas.

Dua nama yang cukup santer terdengar, di antara banyak nama lainnya, setidaknya di kalangan para intelektual kontemporer, adalah Fazlur Rahman dan Sahiron Syamsuddin. Keduanya memiliki tawaran metodologis yang dianggap efektif dalam mencapai makna sedekat mungkin dengan yang dikehendaki oleh Alquran. Fazlur Rahman dengan Gerakan Ganda, sementara Sahiron Syamsuddin dengan Ma’nā cum Maghzā.

Tulisan ini tidak hendak menjelaskan secara terperinci tentang kedua teori tersebut. Untuk mengetahui secara terperinci ihwal teori Gerakan Ganda dapat dilihat melalui Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Rahman, 1982, pp. 6–8) dan Islamic Methodology in Historis (Fazlur Rahman, 1964, p. 86). Mutakhir, ulasan ringkas ihwal tawaran tersebut dapat dilihat melalui tulisan Muhammad Bachrul Ulum di sini.

Sementara itu, ulasan Ma’nā cum Maghzā dapat dilihat melalui Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran Kontemporer (Syamsuddin, 2017, pp. 141–143), Transformative readings of sacred scriptures: Christians and Muslims in dialogue (Sinn et al., 2017, pp. 100–101), dan Pendekatan Ma’nâ-Cum-Maghzâ atas Alquran dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer (Syamsuddin (ed.), 2020). Mutakhir, ulasan ringkas ihwal tawaran tersebut juga dapat dilihat melalui tulisan Dede Eva Apipah Awaliyah di sini.

Lebih lanjut, tulisan ini hendak melihat beberapa persamaan, juga perbedaan yang ada di dalam kedua tawaran metodologis tersebut. Alasan mendasarnya, bahwa muncul pemahaman di kalangan intelektual muslim, dan yang paling dekat di kalangan lingkup diskusi mahasiswa sejawat penulis, yang menganggap kedua tawaran tersebut “sama”.

Baca juga: Relevansi Prinsip Hermeneutika Gramatikal Schleiermacher dengan Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza

Serupa?

Sekilas, jika diperhatikan, antara Gerakan Ganda Fazlur Rahman dan Ma’nā cum Maghzā Sahiron Syamsuddin memang memiliki beberapa persamaan dalam beberapa titik.

Pertama, keduanya menggunakan alat bantu displin keilmuan hermeneutika. Penggunaan disiplin keilmuaan ini merupakan tren baru dalam diskursus penafsiran Alquran kontemporer. Disiplin keilmuan ini hadir untuk membantu memberikan makna atas teks Alquran agar senantiasa relevan untuk realitas kekinian. Mekanismenya, memberikan keseimbangan pada teks, penggagas (author), dan pembaca (audience).

Hadirnya disiplin keilmuan ini dalam diskursus penafsiran Alquran masih menemui perdebatan yang cukup serius hingga kini. Setidaknya ada tiga tanggapan atas penggunaan disiplin ini dalam menafsirkan Alquran.

Tanggapan pertama, menerima sepenuhnya. Argumentasinya, bahwa tawaran metodologis, berikut juga karya tafsir yang dihasilkan pada masa klasik, dianggap tidak lagi mampu untuk menjawab problem kekinian. Penyebab utamanya, dari tawaran metodologis, juga tafsirnya, banyak terdapat krisis, anomali, dan keterpasungan madzhab tertentu. Karenannya, diperlukan angin segar melalui hermeneutika agar teks tidak mati dan untuk menjaga semangat dari teks itu sendiri.

Tanggapan kedua, menolak seluruhnya. Argumentasi penolakannya berkisar bahwa, tawaran metodologi klasik jauh lebih efektif dibandingkan dengan hermeneutika. Lebih dari itu, hermeneutika pada mulanya digunakan untuk menafsirkan Bibel, yang secara mendasar, memiliki perbedaan dengan Alquran, baik sifat, sejarah, dan autensitasnya.

Tanggapan ketiga, menerima sebagian konsepnya. Argumentasinya berkisar pada bahwa hermeneutika serupa dengan takwil dalam disiplin keilmuan Islam klasik. Lebih lanjut, bahwa dalam disiplin keilmuan ini memiliki banyak macamnya. Maka, tidak semua hermeneutika adalah disiplin keilmuan yang keliru. Yang terpenting adalah selama penggunaan ini bertujuan untuk membantu menjelaskan firman-firman Allah Swt. dalam Alquran, itu tidak masalah.

Kedua, persamaan dalam hal metodologis. Sederhananya, kedua tawaran ini berkisar pada dua komponen utama. Komponen pertama, kedua tawaran ini menghendaki untuk masuk sedalam mungkin pada horizon teks (Alquran), baik secara gramatikal bahasa maupun historisitas teks itu sendiri (latar tempat, pun juga sebab turunnya). Tujuannya untuk dapat melihat secara komprehensif ihwal pesan/makna (ratio-legis dalam Fazlur Rahman dan maghza dalam Sahiron Syamsuddin) yang terkandung dalam teks itu.

Komponen kedua, setelah masuk ke dalam horizon teks, langkah selanjutnya adalah tindakan menarik pesan/makna yang terkandung dalam teks itu dan penerapannya pada realitas kekinian untuk menjawab problem kemasyarakatan.

Baca juga: Delapan Tema Pokok Al-Quran Menurut Fazlur Rahman (1)

Tak Sama?

Selain memiliki beberapa persamaan, kedua tawaran tersebut juga memiliki beberapa perbedaan, yang setidaknya dapat diketahui melalui karya-karya yang disebutkan di atas. Pertama, ihwal signifikansi. Dalam Gerakan Ganda, sebagaimana dalam catatan Sahiron Syamsuddin, ditemui adanya hal yang dilupakan —jika dapat dikatakan demikian— oleh Fazlur Rahman, yakni penjelasan konkrit ihwal persoalan signifikansi.

Signifikansi, secara sederhana, merupakan pesan utama dari teks, yang dalam hal ini adalah Alquran. Adapun dalam hal ini, Sahiron Syamsuddin mempertanyakan, bahwa signifikansi yang dimaksud oleh Fazlur Rahman adalah sigfikansi yang dipahami masa Nabi saw. atau saat teks tersebut ditafsirkan ulang.

Penjelasan tentang bentuk signifikansi ini menjadi penting untuk membedakan, pun menjelaskan bahwa makna literal memiliki sifat monoteisme, tunggal, objektif, dan historis-statis. Sedangkan pemaknaan atas signifikansi teks bersifat dinamis, plural, subjektif—kadang intersubjektif, dan historis-dinamis.

Kedua, Fazlur Rahman menggunakan makna yang didapatkan dalam ratio-legis hanya sebagai pijakan; tidak lagi dianggap sebagai pesan utama Alquran. Sebaliknya, Sahiron Syamsuddin menganggap bahwa keduanya, makna literal, juga histroris, merupakan hal penting sebagai bahan pertimbangan.

Ketiga, sasaran. Tentang ini kita akan melihat bahwa Gerakan Ganda Fazlur Rahman hanya ditujukan untuk menafsirkan Alquran dalam bidang legal verses (ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum). Sementara ihwal yang lain, semisal tentang ketuhanan, Fazlur Rahman menggunakan metode sintetik dan kronologi. Adapun Ma’nā cum Maghzā memiliki sasaran sebaliknya. Ia dapat digunakan dalam keseluruhan ayat Alquran, kecuali al-hurūf al-muqatta’a. Wallahua’lam.

Baca juga: Tafsir Kontekstual Gus Dur Seputar Moderasi Islam