Teori ‘Horizon of Expectation’ Hans Robert Jauss dan Resepsi Terhadap Al-Quran

Horizon of Expectation
Resepsi Terhadap Al-Quran

Horizon of Expectation adalah satu teori resepsi yang dicetuskan oleh Hans Robert Jauss. Teori ini sangat menarik untuk dibawa ke ranah kajian living Qur’an. Suriani dalam Eksistensi Qur’anic Centre dan Ekspektasi sebagai Lokomotif Living Qur’an di IAIN Malang menjelaskan, bahwa kehidupan sehari-hari umat muslim selama melakukan pembacaan terhadap Al-Qur’an telah menciptakan persepsi dan perilaku yang beragam, baik dari segi teologis, filosofis, psikologis ataupun kultural. Maka dalam hal ini, perspektif teoritik dari seorang sastrawan berkebangsaan Jerman tersebut benar-benar menemukan konteksnya.

Tentang Hans Robert Jauss

Jauss lahir di Wurttemberg-Jerman pada 12 Desember 1921. Ia hidup di tengah-tengah keluarga yang bekerja sebagai pendidik. Nama Jauss semakin melambung ketika ia berhasil mengembangkan hermeneutika Gadamer dengan memunculkan konsep cakrawala ‘harapan’. Konsep ini kemudian dikenal dengan teori Horizon of Expectation. Bagi Jauss, sebuah teks tidak akan memiliki arti tanpa ada reaksi. Karena itu, teks akan bernilai jika ada timbal balik dari orang-orang yang membacanya.

Hans Robert Jauss
Hans Robert Jauss

Tahun 1948, Jauss menekuni studi dalam bidang filsafat, filologi, sejarah dan Germanistik Roman (sastra dan linguistik Jerman) di Heidelberg University. Ia tinggal di sana sampai tahun 1954. Dalam kurun tahun itu, Jauss juga melakukan perjalanan studi ke Paris dan Perugia. Sosok yang paling berpengaruh terhadap pemikiran seorang Jauss adalah Martin Heidegger dan Hans Georg Gadamer.

Teori resepsi yang merupakan penerapan historis dari tanggapan pembaca terutama berkembang di Jerman ketika Jauss menerbitkan satu tulisannya berjudul Literary Theory as a Challenge to Literary Theory tahun 1970. Perhatian Jauss mengarah pada respon pembaca dalam penerimaan sebuah teks. Apa yang disorot oleh Jauss bukan sekedar tanggapan seorang pembaca tertentu pada waktu tertentu, melainkan juga pada perubahan-perubahan tanggapan berikut evaluasi pembaca terhadap teks yang sama, atau teks berbeda dalam kurun waktu berbeda pula.

Sebagai seorang ahli sastra, mulanya Jauss tertarik pada sastra-sastra kuno. Ia menilai, sastra lama merupakan produk masa lalu yang memiliki relevansi dengan masa sekarang; dalam arti, ada nilai-nilai tertentu bagi orang yang membacanya. Untuk menggambarkan relevansi itu, Jauss mengenalkan teorinya yaitu Horizon of Expectation. Horizon ‘harapan’ memungkinkan terjadinya penerimaan dalam gejolak batin pembaca terhadap sebuah obyek literer. Rupa-rupanya, Jauss ingin menata ulang sejarah sastra yang terkesan monoton pada pemaparan biografi pengarang dan sebatas mengulas genre.

Apa itu Horizon of Expectation?

Sederhananya, Horizon of Expectation bisa diartikan dengan horizon ekspektasi atau ‘harapan’. Kajian Fawaid dalam Survei Bibliografi Kajian Tafsir dan Fikih di Pondok Pesantren (Kajian atas Materi Radikalisme dalam Literatur Persantren dan Respon Kiai Terhadapnya dan Nurgianto dalam Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia, memberi pemahaman bahwa apa yang hendak didalami oleh Jauss dengan teorinya adalah perbedaan persepsi terhadap sebuah teks berdasarkan cakrawala ‘harapan’ seorang pembaca.

Seperti yang dikatakan Rahima dalam Literature Reception (A Conceptual Overview), ketika menggunakan teori Horizon of Expectation, Jauss melihat bagaimana posisi pembaca dalam memahami sebuah teks sesuai dengan penilaian yang ada dalam benak mereka. Selain itu, Jauss juga melihat bagaimana ekspresi dan aktifitas pembaca setelah memberikan penilaian terhadap teks itu sendiri. Model teori Jauss ini leluasa mengkaji dimensi pembaca sehingga peran teks sudah dianggap tidak lagi penting.

Jika membaca Translator’s of Horizon of Expectation and the Inevitabelity of Retanslation of Literary Work yang ditulis Zhang, pada dasarnya ada dua jenis horizon harapan. Pertama, horizon pengalaman sempit berdasarkan ekspektasi yang berkaitan dengan teks dan aturan mainnya; genre, gaya dan bentuk teks. Kedua, horizon pengalaman luas berdasar pengalaman kehidupan sehari-hari tentang seluruh dunia sosial-budaya dari suatu kelompok atau individu. Entah berperan sebagai penulis, pembaca pertama, atau pembaca kedua dan seterusnya.

Kajian Living Qur’an dalam Kacamata Teori Horizon of Expectation

“Tanpa manusia, Al-Quran tidak bisa ‘berbicara’ apa-apa.” Pernyataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ini terasa mengena ketika dihubungkan dengan teori Horizon of Expectation milik Jauss yang sedari awal memang tidak melibatkan peran teks sama sekali. Sehubungan dengan ini, teori yang digagas Jauss ini menarik kiranya untuk diketengahkan. Sebelum berinteraksi dengan Al-Qur’an, setiap pembaca pasti memiliki horizon-horizon ‘harapan’. Ekspektasi antara satu dengan yang lainnya tentu berbeda-berbeda pula. Menurut Mahtubah dalam Resepsi Masyarakat Madura terhadap QS. Al-Ikhlas dalam Tradisi Kompolan Sabellesen, kadar ‘harapan’ di sini sangat erat kaitannya dengan latar belakang pendidikan, pengalaman, dan perjalanan hidup.

Dalam satu tulisannya bertajuk The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi, Ahimsa memetakan setidaknya sepuluh pemaknaan (resepsi) atas Al-Qur’an. Di luar itu, ia juga tidak menutup kemungkinan jika ada pemaknaan-pemaknaan lain. Ragam resepsi ini kalau meminjam perspektif Jauss yang diulas Zhang dalam Translator’s of Horizon of Expectation and the Inevitabelity of Retanslation of Literary Work, maka akan menghasilkan tiga tipologi resepsi; 1) praksis reseptif-eksegesis, 2) praksis reseptif-estetis, dan 3) praksis reseptif-komunikatif.

Pertama, praksis reseptif-eksegesis. Tipologi pertama ini berkaitan dengan interpretasi terhadap makna teks. Mereka yang mengangap Al-Qur’an sebagai teks yang berisi keilmuan (keagamaan atau umum), akan berorientasi untuk memahami dan mendalami makna-makna yang dikandung Al-Qur’an. Hakim dalam Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al-Quran dengan Pembacanya mencontohkannya dengan fenomena pembacaan dan penjabaran kitab-kitab tafsir Nusantara. Baik yang berbahasa Arab, Indonesia, atau bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Melayu, Madura, Bugis dan lain-lain.

Kedua, praksis reseptif-estetis. Al-Quran bukanlah sekedar kitab biasa. Sebagian muslim menilainya sebagai suatu maha ‘seni’. Keistimewaan ini tentu amat berharga bagi siapa saja yang berkecimpun dalam dunia seni. Karena itu, mereka mencoba membangun interaksi dengan Al-Qur’an melalui cara-cara yang estetis. Fenomena unik ini bisa kita jumpai pada kalangan pegiat kaligrafi Al-Qur’an, tradisi musabaqah tilawatil Qur’an (MTQ), dan variasi irama qira’at al-Qur’an.

Ketiga, praksis reseptif-komunikatif. Sebagai penikmat sastra, Jauss sendiri lebih cenderung pada resepsi yang terakhir ini. Bagaimana seorang pembaca berkomunikasi secara intensif dengan teks sehingga melahirkan ‘kenikmatan’ yang berkesan saat lisan melantunkannya. Ketika membaca teks, pembaca membawa perasaan tertentu yang membekas, menyentuh dan mampu mempengaruhi ekspektasi mereka. Ekspektasi itulah yang kemudian menggerakkan pembaca dalam melakukan tindakan.

Dalam kajian living Qur’an, model tipologi ketiga ini terlihat jelas dari resepsi umat Islam yang menganggap fungsi Al-Quran sebagai penyembuh luka, tombo ati, sekaligus pembawa kabar gembira. Praktik nyata dari fenomena ini adalah ruqyah, terapi Al-Qur’an untuk pasien di rumah sakit, pembacaan surah-surah tertentu dan lain sebagainya. Wallahu A’lam.