Terjemahan Tafsir Jalalain Berbahasa Madura

terjemahan tafsir jalalain bahasa madura
terjemahan tafsir jalalain bahasa madura. Sumber: jurnal Suhuf

Barangkali Tafsir Jalalain menjadi salah satu tafsir terhadap ayat-ayat Alquran yang memperoleh apresiasi positif dan besar di kalangan umat Islam nusantara. Dalam buku Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia (2003) yang ditulis Nashruddin Baidan, Tafsir Jalalain mulai dikenal oleh kalangan muslim nusantara sekira pada abad ke-16.

Di abad itu mungkin hanya segelintir muslim terpelajar yang mampu mengakses -membaca dan memahami- kitab tafsir tersebut, tetapi fakta yang ditemukan di lapangan, seperti riset yang ditunaikan Martin van Bruinessen menunjukkan antusiasme pada kitab ini sudah relatif marak di era dewasa ini.

Dalam bukunya yang populer, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (1999), Martin menemukan ada sekian pesantren yang masih gandrung mengkaji Tafsir Jalalain, bahkan beberapa pesantren tersebut menggunakan Tafsir Jalalain sebagai salah satu bahan ajar primer.

Fakta lain terhadap kepopuleran kitab Tafsir Jalalain ini, juga bisa ditemukan pada sejumlah karya ulama lokal yang berikhtiar mengalih-bahasakannya. Salah satunya seperti terjemahan Tafsir Jalalain berbahasa Madura, yang berjudul Tarjamah Tafsir al-Jalalain bi al-Lugah al-Maduriyyah oleh Abdul Majid Tamim. Kitab tersebut mengalih-bahasakan Tafsir Jalalain ke dalam bahasa Madura dengan huruf pegon.

Kendati penerjemahan ini tidak utuh, namun nama Abdul Majid Tamim dicatat Martin sebagai salah satu figur penting. Hal ini lantaran ia dinilai menjadi salah satu penghubung mata rantai intelektual dari kitab klasik karya ulama Timur Tengah dengan masyarakat lokal Madura.

Baca Juga: Mengenal Majid Tamim, Mufasir dan Penerjemah Kitab Klasik dari Madura

Figur Abdul Majid Tamim

Ulama Madura kelahiran Pamekasan, 22 Juni 1919 ini memiliki nama lengkap Raden Abdul Majid Tamim bin Raden Haji Moh. Tamim. Ayahnya, Moh. Tamim merupakan ulama berpengaruh di Pamekasan pada masanya. Lebih lanjut, jika ditarik ke atas melalui jalur ayahnya, Abdul Majid Tamim masih keturunan Sunan Giri dari jalur Pangeran Kulon I.

Adapun sanad keilmuannya, Abdul Majid Tamim tercatat pernah menjadi santri di Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan langsung KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul ‘Ulama. Di pesantren tersebut, dia menekuni sekian keilmuan Islam sebelum akhirnya kembali ke Pamekasan.

Beberapa tahun kemudian, pernikahannya dengan Ny. Salman Nuraniyyah, Ketua Muslimat di Kecamatan Kaliwates, Jember membuatnya harus pindah domisili. Meski demikian, terkadang beberapa kali ia kembali mampir ke Pamekasan atau daerah sekitarnya sebagai pendakwah dalam acara keagamaan.

Baca Juga: Mengenal Tafsir Firdaus An-Naim, Tafsir Nusantara Asal Madura

Seputar Kitab Tarjamah Tafsir al-Jalalain bi al-Lugah al-Maduriyyah

Terkait kitabnya, Tarjamah Tafsir al-Jalalain bi al-Lugah al-Maduriyyah, Abdul Majid Tamim hanya selesai sampai di Surah al-Baqarah ayat 1-252 dengan total 181 halaman; Jilid I memuat halaman 1-86 dan, Jilid II berisi halaman 87-181. Kitab ini tidak memuat angka ihwal waktu kitab ini pertama kali ditulis, hanya saja terdapat tahun 1410 H (1989-1990) sebagai angka kitab ini naik cetak.

Jika tahun cetak ini dijadikan patokan sebagai tahun tulis juga, maka akan ditemukan bahwa aktivitas literasi yang terbilang senja. Pasalnya di tahun tersebut, usia Abdul Majid Tamim sudah menyentuh angka sekira 70-an tahun. Usia yang kerap dinilai telah renta dan emoh berbelit-belit menakar-pikir konsepsi keilmuan.

Berdasarkan temuan dari Ahmad Zaidanil Kamil dalam artikelnya, Tafsīr al-Jalalayn and Madurese Language: Locality of the Book of the Translation of Tafsīr Jalalayn in Madurese Language by Abdul Majid Tamim (2020), detail kitab ini berupa; teks Tafsir Jalalain ditulis di bagian atas, terjemah harfiah ditulis model gandul tepat di bawah teks Tafsir Jalalain dengan posisi miring, dan keterangan lokalitas Madura berada di bawah dengan pembatas garis datar.

Di bagian paling bawah ini bisa ditemukan kreatifitas Abdul Majid Tamim sebagai ulama lokal asal Madura. Dia memberi keterangan dengan mempertimbangkan pembacanya dari kalangan masyarakat Masura.

Misalnya saja menggunakan diksi carok (budaya Madura untuk meneguhkan harga diri) sebagai ilustrasi pertumpahan darah di Surah al-Baqarah ayat 30. Diksi ini memang memudahkan pembacanya yang dari Madura untuk memahami muatan di ayat tersebut. Selain itu ada juga diksi lain yang dia gunakan. Semisal beras untuk membayar fidyah bagi orang yang tidak mampu berpuasa. Hal ini sebagai kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat Madura; dia juga menulis istilah ‘pondok pesantren’ dalam tafsirnya sebagai representasi lembaga Islam. Ini juga khas Madura.

Terjemahan Tafsir Jalalain berbahasa Madura oleh Abdul Majid Tamim ini bisa menjadi alternatif bukti penting tentang produk intelektual yang orisinil dari muslim nusantara pada masa lalu. Selain memang, seperti catatan Nashruddin Baidan dan Martin van Bruinessen di muka bahwa, Tafsir Jalalain memang sangat populer.